Pahlawan Devisa Kembali Dieksekusi Mati

INDONESIA kembali berduka, Tenaga Kerja Indonesia (TKI) di Arab Saudi dieksekusi mati oleh pemerintah Arab Saudi tanggal 18 Maret kemarin. Ini merupakan kejadian yang kesekian kalinya terjadi.


Sudah sering kita mendengar banyaknya TKI di eksekusi mati di luar negeri. Tentu yang menjadi pertanyaan adalah sudahkah pemerintah Indonesia melakukan perlindungan dan upaya hukum maksimal untuk melindungi TKI kita?

Pemerintah selalu menggembor-gemborkan bahwa TKI adalah pahlawan devisa karena bisa menghasilkan ratusan triliun per tahun dari TKI tetapi sudahkah pemerintah memperlakukan para TKI yang memiliki banyak jasa tersebut layaknya benar-benar seperti pahlawan devisa?

Pembukaan konstitusi kita dengan tegas menyatakan bahwa Pemerintah Indonesia melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia. Ini artinya bahwa Pemerintah wajib melindungi seluruh elemen masyarakat Indonesia baik dalam negeri maupun luar negeri.

TKI kita memiliki hak untuk mendapatkan perlindungan yang maksimal dari Pemerintah. Eksekusi mati terhadap Muhammad Zaini Misrin Arsyad harus menjadi pelajaran yang sangat berharga bagi pemerintah agar ke depan dapat melakukan langkah-langkah strategis agar hal ini tidak kembali terulang.

Dalam kasus Muhammad Zaini Misrin Arsyad ini yang kiranya perlu menjadi evaluasi ialah bahwa tidak adanya notifikasi atau pemberitahuan kepada pemerintah Indonesia terlebih dahulu sebelum dilakukannya eksekusi mati. Ini menandakan bahwa ada komunikasi yang terputus antara pemerintah Indonesia dengan pemerintah Arab Saudi.

Selain itu yang juga menjadi pelajaran berharga ialah pada saat di pengadilan tingkat pertama Muhammad Zaini Misrin Arsyad tidak didampingi oleh pemerintah dalam melakukan pembelaan hukum, bahkan pemerintah baru mengetahui Muhammad Zaini Misrin Arsyad dihukum mati setelah adanya vonis tingkat pertama di Pengadilan Arab Saudi pada tahun 2008.

Kedua kelemahan ini terjadi karena kurangnya informasi dan pendekatan komunikasi sehingga proses pendataan dan upaya pembelaan menjadi lemah. Seharusnya pemerintah bisa lebih siap dalam proses pendataan dini terkait TKI yang bermasalah dan segera melakukan pendampingan hukum serta melakukan komunikasi yang intensif kepada pihak pemerintah yang menjatuhkan hukuman.

Sekali lagi ini benar-benar perlu menjadi perhatian Pemerintah khususnya Presiden Joko Widodo mengingat dalam pemerintah Presiden Jokowi sudah 3 TKI dieksekusi mati yakni TKI Siti Zainab dari Bangkalan di tahun 2015. Kedua, TKI Karni binti Medi Tarsim yang dieksekusi dalam pekan yang sama, dan yang terakhir ini Zaini Misrin.

Jika merujuk pada keterangan Migrant Care yang disampaikan melalui media bahwa saat ini TKI di Arab Saudi masih ada 21 orang yang terancam hukuman mati. Jumlah yang cukup banyak sehingga kiranya perlu dilakukan upaya hukum yang signifikan untuk membebaskan TKI kita dari ancaman hukuman mati. Jumlah 21 orang tersebut baru jumlah di Arab Saudi belum di negara-negara lainnya. Jumlah ini harus dipastikan sehingga bisa mendapatkan perhatian yang serius.

Badan Nasional Penempatan dan Perlindungan TKI (BNP2TKI) sebagai badan yang memiliki tanggung jawab untuk melakukan perlindungan TKI harus menyiapkan strategi baik jangka pendek, menengah, dan panjang dalam menangani kasus-kasus hukum yang menjerat TKI khususnya yang terkena hukuman mati.

Pada era Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) setelah meluasnya berita terkait dengan hukuman mati TKI, Presiden SBY saat itu langsung menerbitkan Keputusan Presiden No. 17 Tahun 2011 dengan membentuk Satuan Tugas Penanganan Kasus WNI/TKI di Luar Negeri yang Terancam Hukuman Mati (Satgas TKI).

Satgas TKI ini diberi tugas khusus oleh Presiden SBY untuk melakukan upaya hukum semaksimal mungkin agar TKI yang terancam hukuman mati bisa diselamatkan dari hukuman mati tersebut, bahkan pada saat Presiden SBY memberikan pengarahan Presiden SBY mengatakan bahwa ini mission impossible karena menyangkut kedaulatan hukum negara lain tetapi kita harus upayakan semaksimal mungkin untuk melakukan perlindungan terhadap warga negara kita.

Satgas TKI di bawah kepemimpinan Alm. Maftuh Basyuni mantan Menteri Agama saat itu melakukan tindakan pertama untuk merapihkan pendataan dan mengumpulkan informasi baik informasi formal maupun informal untuk mengetahui secara pasti jumlah TKI Indonesia yang terancam hukuman mati.

Proses pendataan dan melakukan sinergitas kerja dengan berbagai elemen pemerintah Indonesia serta melakukan pendekatan dan jalinan komunikasi dengan pihak pemerintah negara lain cukup memakan waktu sehingga awalnya Tugas Satgas TKI itu hanya 6 bulan mulai dari Juli 2011 hingga Januari 2011 diperpanjang oleh Presiden SBY melalui Keputusan Presiden No. 8 Tahun 2012 dengan perpanjangan masa tugas selama 6 bulan. Dalam perpanjangan masa tugas saat itu pendataan yang akurat dan penyusunan langkah strategis sudah berhasil dilakukan, saat itu terdapat 288 orang Indonesia yang terancam hukuman mati.

Ada beberapa strategi pendekatan yang dilakukan saat itu yakni melakukan pendekatan langsung terhadap pemerintah negara yang bersangkutan dan melakukan pendekatan secara hukum (by the law) dengan pihak lawyer di negara yang bersangkutan. Pendekatan kepada pihak pemerintah harus dilakukan oleh tokoh yang dihormati dan menurut hemat saya tidak bisa dilakukan oleh diplomat yang tergolong masih junior atau secara ketokohan tidak terlalu dihormati karena seperti di Arab Saudi sangat memperhatikan ketokohan seseorang.

Begitupun di Negara lain seperti Malaysia, China dan berbagai negara lain. Saat melakukan pendekatan ke Malaysia saat itu Tim Satgas yang ke Malaysia dipimpin oleh Bambang Hendarso Danuri mantan Kapolri yang juga bergelar Tan Sri suatu gelar yang sangat dihormati di Malaysia sehingga akses terbuka dan mudah bagi Satgas TKI bekerja. Begitu pun di China Tim Satgas dipimpin oleh Mantan Jaksa Agung Hendarman Supanji yang juga sangat dikenal dan dihormati oleh pejabat pemerintah china khususnya dalam bidang penegakan hukum.

Selain pendekatan melalui ketokohan yang juga penting adalah melakukan pendekatan hukum, saat itu selain saya bertugas sebagai juru bicara Satgas TKI juga ditugaskan untuk melakukan pendekatan hukum dengan beberapa lawyer di berbagai negara di mana TKI terkena ancaman hukuman mati. Kedua strategi ini dipilih karena di setiap negara selain pendekatan secara personal juga perlu pendekatan hukum sehingga kita bisa memberikan masukan secara hukum kepada pemerintahan negara yang bersangkutan terkait dengan hukum yang berlaku di negaranya.

Jika kedua ini berjalan biasanya pemerintah di suatu negara tidak terlalu sulit untuk membantu. Strategi ini membuahkan hasil yang cukup signifikan dari adanya 288 TKI yang terancam hukuman mati saat itu, Pemerintah Indonesia bisa menyelamatkan sampai 76 orang dari ancaman hukuman mati dalam jangka waktu 1 tahun. Sisanya yang masih terancam hukuman mati saat itu selain memang masih dibutuhkan waktu dalam proses negosiasi dan proses hukum tetapi juga ada karena pelanggaran berat dan sudah merupakan kejahatan internasional seperti menjadi bagian dari bandar/pengedaran narkoba.

Upaya-upaya hukum yang seperti ini (membentuk Satgas TKI) kiranya perlu dipertimbangkan untuk dilakukan oleh Presiden Joko Widodo mengingat masih banyak TKI Indonesia yang terancam hukuman mati. Apabila proses penanganan hukumnya tidak dilakukan dengan baik dan sistematis serta tidak melakukan tindakan yang ekstra maka kejadian ini akan terus menerus berulang dan tentu akan sangat merugikan TKI kita.

Semoga pemerintah bisa mengambil langkah strategis dan upaya yang signifikan tidak hanya mengandalkan struktur di Kementerian Luar Negeri ataupun Struktur di BNP2TKI melainkan melakukan terobosan lintas sektor dengan pembentukan Satuan Tugas yang memiki fokus khusus untuk penyelamatan TKI dari ancaman hukuman mati.

Humphrey Djemat
Penulis adalah Chairman Gani Djemat & Partners, mantan Jurubicara Satgas Penanganan Kasus WNI/TKI di Luar Negeri yang terancam hukuman mati