Negeri Penuh Puja Puji

PEMILIHAN presiden (Pilpres) masih satu tahun lagi, tepatnya, (Rabu,17/4/2019). Suasana pun sudah terasa dari sekarang ini.


Dimulai pemilihan kepala daerah (Pilkada) serentak tahun ini, suksesi itu sudah mewarnai hari-hari. Padahal masih banyak janji yang belum terpenuhi, tapi jauh hari sudah berjanji lagi untuk periode kedua nanti. Gustii.

Puja-puji terhadap istana seakan tidak ada henti. Menumpuknya utang negara, impor beras, impor garam dan lainnya tenggelam oleh foto-foto selfie.

Padahal mereka sudah berjanji dengan membawa nama illahi akan memperbaiki negeri dari hati. Tapi kok jadinya begini. Ini jadi ironi sebuah negeri di tengah pesatnya perkembangan teknologi informasi.

Ditambah lagi dengan isu intoleransi yang akan membuat disintegrasi. Kok jadi begini?.

Profesor, doktor, insyinyur, profesional, agamawan, politisi dan lainnya seolah tumpul ketika harus menjelaskan penguasa negeri.

Bukan masukan konstruktif mereka malah sibuk menjawab kritikan-kritikan pihak oposisi dengan segudang bukti (versi mereka,-red), sehingga akhirnya hoax pun diberi untuk sekedar menjadi bukti. Aduh ngeri kali.

Pun dengan televisi, media online, radio, surat kabar dan media sosial sudah dipastikan akan menjadi bagian dalam konstetasi pesta rakyat ini.

Tidak ada yang salah dari semua itu, apalagi konstitusi kita menjamin kebebasan berpendapat. Sementara media sendiri sudah berubah menjadi sebuah industri yang harus mempertahankan eksistensinya agar tidak merugi.

Yang memihak penguasa, yang memihak selain penguasa dan  yang abu-abu atau cari aman itu pilihan sah pribadi. Semua berkontribusi walau sedikit berhalunisasi berharap negeri ini menjadi tuan di negeri sendiri.

Berdikari atau kata Bung Karno diartikan "berdiri di kaki sendiri" harusnya menjadi benar-benar nyata dan bukan jadi mimpi.

Jargon penguasa negeri tentang konsep "berdikari dan percaya diri" seolah hanya halusinasi. Apa kata Bung Karno terkait "berdikari" hanya sama di bahasa tapi beda di implementasi. Sediiih.

Tiga prinsip berdikari Bung Karno, berdaulat dalam bidang politik, berdikari dalam bidang ekonomi dan berkepribadian dalam kebudayaan itu bukan mimpi. Juga tidak bisa dipreteli.

Bung Karno menyebut, tidak mungkin akan ada kedaulatan dalam politik dan berkepribadian dalam kebudayaan, bila ekonomi tidak berdikari.

Dengan berdaulat dalam bidang politik, Bung Karno menginginkan agar bangsa ini benar-benar berdaulat dan tidak bisa didikte dan dikuasai.

Bangsa ini tidak akan menjadi bangsa mengemis, lebih-lebih kepada kaum imperalis.

Bung Karno, meletakkan kedudukan rakyat sebagai sumber daya sosial bagi pembangunan negeri.

Go to hell with your aid” adalah sikap Bung Karno terhadap bantuan asing, modal asing, bahkan segala yang berbau asing, tingal menjadi histori.

Apa yang dikuatirkan Bung Karno itu sedikit menjadi terbukti yaitu dekadensi moral peguasa, politisi juga para muda-mudi.

Baiknya para profesional dan orang-orang pintar memberi masukan terkait harga diri sesuai literatur resmi kalau itu terkai berdikari. Puja-puji hanya akan meninabobokan sehingga akhirnya banyak bermimpi-mimpi.

Qulil haq walau kana murron, katakan kebenaran walaupun itu terasa nyeri.

Semoga negeri ini terlindungi dari para sengkuni yang selalu puja-puji. [***]