Kerbau Dalam Tradisi Banten

DALAM khazanah kepustakaan ternak, kerbau dianggap memiliki keunggulan lebih dibandingkan dengan ternak besar lain.


Pertama dari segi fisik, kerbau mempunyai daya adaptasi alam yang tinggi. Sebagian ahli menyatakan kerbau jarang terkena penyakit. Lagi pula, tingkat kematian bayi kerbau tergolong rendah.

Kualitas itu dapat pula dilihat dari luas sebarannya di Indonesia, yang menurut Winarto, dalam salah satu artikelnya, Menguak potensi kerbau” (2010), dapat dijumpai dari daerah beriklim kering di kepulauan Nusa Tenggara, daerah persawahan subur di Jawa, daerah rawa di Sulawesi Selatan, Kalimantan dan pantai utara Sumatera sampai ke daerah pegunungan Toraja, Tapanuli Utara dan Tengger, Jawa Timur.

Demikian pula di Provinsi Banten, sepanjang pesisir utara dari Tangerang, Serang sampai ke Cilegon, ternak kerbau masih dominan. Terlebih di daerah pegunungan selatan Banten, antara Pandeglang, Lebak sampai ke pesisir barat dan selatan, penduduk masih setia memelihara dan mempekerjakan kerbau di sawah mereka.

Kedua, dilihat dari segi ekonomi, dari dua jenis utama di Indonesia: kerbau sungai (riverine buffalo) dan kerbau rawa (swam buffalo), kecuali penghasil daging yang banyak disukai masyarakat, susu kerbau pun telah lama dikonsumsi.

Olahan susu kerbau seperti dadih (Sumatera Utara), dadiah, sago puan, gulo puan (Sumatera Selatan dan Sumatera Barat) berakar kuat pada tradisi suku-suku di Indonesia.

Dengan kekecualian di daerah Banten, di mana masyarakat masih asing dengan susu kerbau,menggunakan argumentasi di atasdagaing dan susunya sangat potensial diproduksi dan akan berkontribusi terhadap diversitas pangan, baik untuk konsumen Banten maupun daerah lainnya di Indonesia.

Maka tak heran jika dalam konteks ini, para peneliti semisal Triwulaningsih dan Praharani (2006) dan juga Chalid (2008) menyesalkan mengapa hewan potential ini masih tetap dianaktirikan”, sementara di negara lain telah dikembangkan melalui berbagai aplikasi bioteknologi.

Di Italia misalnya, susu kerbau menjadi bahan utama pembuatan keju Mozarella, yang hilirnya dapat ditemukan pada komposisi penganan khas pizza.
Potensi itu bukan tak mungkin dikembangkan di Provinsi Banten, karena dari segi nilai, norma, tradisi dan agama atau kepercayaan pun, tidak ada larangan untuk beternak dan mengkonsumsi daging dan susu kerbau.

Oleh karenanya pengembangan usaha peternakan kerbau bisa menjadi solusi alternatif dalam rangka menguatkan ketahanan pangan daerah dan menunjang kedaulatan pangan nasional.

Dan lebih-lebih bagi daerah Banten, yang masyarakatnya secara turun-temurun memiliki preferensi khusus pada ternak kerbau, bukan sekadar hewan pekerja”  tetapi juga menjadisumber pangan berbasis sumberdaya lokal.

Masalahnya adalah mengapa peternakan kerbau di Banten belum berkembang secara intensif, sementara kebutuhan akan daging sapi juga belum tercukupi.

Jika visi peternakan kerbau akan diarahkan pada peningkatan swasembada daging, pemanfaatanbioteknologi memang menjadi solusi alternatif, namun fondasi awalnya harus dimulai dari perubahan mentalitas pada pikir, gagasan, dan tindak manusia dalam tatanan masyarakat dan lingkungan budaya yang dikehendaki (by design).

Oleh karena itu, artikel yang pernah diseminarkan tahun 2006 di Rangkasbitung (litbang.pertanian.go.id) ini akan dipublikasikan kembali setelah mendapatkan koreksi.

 Harapan saya, tulisan ini dapat mengupas persoalan mendasar berkenaan dengan aspek-aspek etnografi Banten dalam kaitannya dengan pemeliharaan kerbau.

Untuk memperoleh pemahaman yang komprehensif, aspek-aspek etno-historis kerbau diperlukan untuk memberikan gambaran simtomatik tentangpandangan dan perilaku masyarakat Banten terhadapternak kerbau.

Penulis adalah anggota Banten Heritage