Rini Soemarno-Sofyan Basyir Langgar Etika Kepatutan

KEMENTERIAN BUMN akhirnya mengklarifikasi rekaman percakapan antara Menteri BUMN Rini Soemarno (Rinsoe) dan Direktur Utama PLN, Sofyan Basyir (SB).


Namun di tengah percakapan, nama Ari Soemarno (Arsoe) kakak kandung Rinsoe, disebut-sebut. Membuat percakapan itu mencuatkan adanya fakta ketidakpatutan.

Bahwa Rinsoe, tidak hanya bekerja dan mengurus kepentingan negara, tetapi juga tak lupa "menitipkan" kepentingan keluarga atau pribadi.

Melanggar UU? Boleh jadi tidak. Tetapi semakin memperjelas kecurigaan, bahwa eksistensi Rinsoe di pemerintahan Presiden Joko Widodo, tak berdiri sendiri.

Percakapan itu diakui Kemeneg BUMN sebagai hal yang ada. Hanya substansinya dikatakan berbeda dengan persepsi yang ditangkap masyarakat. Klarifikasi itu dikeluarkan oleh pejabat berwenang Kementerian BUMN yang tengah berada di Solo, Jawa Tengah, saat masyarakat sedang menikmati libur akhir pekan.

Klarifikasi di akhir pekan dan dibuat di luar kantor Kementerian BUMN, menandakan Menteri Rinsoe, cukup sadar. Yang dilakukannya, sesuatu yang menyinggung rasa keadilan masyarakat.

Bu Menteri paham, bahwa viral percakapannya apapun isinya, punya sisi negatif, kontra produktif. Sehingga klarifikasi perlu dibuat, mencegah rekaman percakapan itu menjadi komoditas politik.

Sebagai anggota kabinet yang paham ABCD politik Indonesia, Bu Menteri mungkin khawatir, setelah menjadi komoditas politik, hal itu bisa seperti bola api yang menggelinding. Bisa menabrak di sana sini serta berpotensi menimbulkan kebakaran.

Kebakaran bisa menyapu keluarganya. Sentimen terhadap Nepotisme, bisa mencuat. Ketidak sukaan terhadap Kolusi, bisa menjadi-jadi. Kejengkelan terhadap Korupsi bisa melahirkan "dendam" berkepanjangan terhadap pelaku korupsi. Dalam waktu singkat klarifikasi Kemeneg BUMN tersebut pun mem-viral. Kecepatannya pun hampir sama dengan memviralnya rekaman percakapan Rinsoe dan SB.

Tetapi klarifikasi itu justru ada yang menerimanya sebagai bukti kebenaran. Bahwa Neoptisme, Kolusi dan Korupsi (NKK) yang dimatikan oleh kaum reformis sejak 20 tahun lalu, kini sedang bertumbuh kembali. Penumbuhnya seorang Menteri yang sosoknya dikenal sebagai sangat dekat atau dipercaya oleh Presiden Jokowi. Ini sebuah ironi atau sebuah kecelakaan politik.

Juga menimbukan banyak pertanyaan, jangan-jangan pembocor percakapan itu, "orang dalam" yang tahu banyak tentang sisi-sisi gelap yang ditutupi selama ini oleh Menteri Rinsoe. Atau pembocor itu memang menjadi perekam langsung atas percakapan tersebut. Sehingga klarifikasi, tidak berbuah seperti apa yang diharapkan Bu Menteri.

Sejak kemarin hingga pagi tadi, kiriman tentang rekaman itu, terus "membanjiri" jejaring media sosial. Terutama WA. Memperkuat tanda bahwa klarikasi hanya memancing kegaduhan. Bahkan mulai menumbuhkan amarah sosial yang mengarah ke Rinsoe dan keluarganya.

Permainan Rinsoe yang beraroma 'kotor' di bidang yang ditanganinya, mulai terdeteksi. Soalnya, sebelum rekaman percakapan Rinsoe-SB beredar, Kompasiana, sebuah blok pribadi yang difasilitasi oleh Kompas Group, sudah blak-blakan membongkar, adanya "Jaringan Soemarno Bersaudara".

Jaringan ini, dibawah komando Arsoe. Peran besarnya dalam berbagai penetapan personalia di perusahaan minyak milik negara, dan etc, diungkap secara kalkulatif.

Penulis di Kompasiana tanpa ragu menuding Arsoe, kakak kandung Rinsoe sebagai sosok penentu yang berada di balik pemecatan Dirut Pertamina Elia Massa Manik.

Arsoe disebut secara gamblang sebagai sosok yang menyetir berbagai kebijakan Menneg BUMN saat ini. Penulisnya, Rully Armando. Begitu menariknya tulisan Rully Armando, sampai-sampai ada seorang mahasiswa meminta alamat Armando.

"Saya kebetulan sedang meneliti soal yang sama. Saya minta alamat yang bisa saya hubungi," tulis seorang mahasiswa.

Sekalipun tidak disebutkan Rully Armando bekerja di mana atau kepada siapa dia bertanggung jawab, tapi materi tulisannya, memperlihatkan dia sangat mengenal anatomi Pertamina dan bisnis perminyakan. Dan tentu saja kemistri Soemarno Bersaudara.

Dari data yang disajikan Rully Armando, menunjukkan dia seorang penulis yang siap menghadapi resiko apapun yang datangnya dari keluarga Soemarno. Nah dalam rekaman percakapan Rinsoe-SB, nama abang kandung Rinsoe, kembali muncul. Sehingga 'benang merah' adanya keterkaitan Rinsoe dan saudara kandungnya dalam mengelolah BUMN, cukup terlihat.

Hal mana semakin memperkuat sinyalimen Rinsoe sedang mengembangkan NKK di negara ini. Dan hal ini jelas melanggar kepatutan! Tadinya saya ragu menulis, membedah klarifikasi atas rekaman tersebut. Tidak ingin dituding sebagai pengamat yang melakukan pengamatan secara sepihak terhadap Kementerian BUMN yang dipimpin oleh Menteri Rinsoe.

Saya menghindari berkembangnya persepsi, bahwa dalam konsep penulisan esai dan kritik, Rinsoe, sudah saya jadikan sebagai sosok langganan kritikan. Di awal tahun 2016, saya pernah menyoroti kedekatan Rinsoe dengan Presiden Jokowi. Hal mana berujung -saya diajak "diskusi" oleh beberapa staf Kepala Staf Presiden (KSP) dan sempat mau disomasi oleh Relawan Jokowi. Saya ragu, sebab sudah punya kesan, apapun bentuk sorotan yang dilakukan terhadap Menteri Rinsoe, terutama yang berkaitan dengan patut dan ketidak-patutan, tidak pernah direspons oleh Presiden Joko Widodo.

Tak ada niat menggurui seorang Presiden. Tetapi perasaan gemes melihat sikap Presiden yang seperti dibuat tak berdaya oleh seorang Menteri, tak bisa pula saya buang.

Saya mengganggap satu hal yang tidak patut dan tidak etis sedang jadi trending di negara ini. Saya juga teringat tentang cerita "pencekalan" DPR-RI terhadap Rinsoe. Sudah cukup lama kabar yang beredar dan menyebut DPR-RI, tak mau melakukan Rapat Kerja dengan Menteri BUMN.

Mestinya kabar tersebut diselidiki kebenaran dan alasannya. Sebab sangat tidak patut, jika Menteri BUMN menjadi satu-satunya yang "dicekal" oleh Parlemen. Semakin tidak patut, sebab DPR-RI akhirnya tidak bisa melakukan kontrol terhadap BUMN dan menterinya. Namun ketidak patutan ini sepertinya dibiarkan. Pembiaran dilakukan oleh seorang Presiden. Dan ironisnya, semakin lama pembiaran itu terjadi, Rinsoe pun semakin "merajalela".

Kalau sudah begitu, untuk apa membedah kasus NKK yang melibatkan Rinsoe -jika kontrol sosial itu, tidak direspons?

Pemecatan pekan lalu atas Direksi Pertamina, sesungguhnya sudah boleh menjadi alasan Presiden Joko Widodo berreaksi. Apalagi pemecatan Direksi BUMN itu, bukan baru kali ini terjadi. CNN Indonesia melaporkan, bahwa dalam waktu empat bulan (Januari-April 2018), Rinsoe sudah memecat direksi dari 6 buah perusahaan di bawah BUMN.

Bukankah ini sebuah hal yang melanggar kepatutan?

Fabrikator atas pengedaran rekaman percakapan Rinsoe-SB itu sendiri mungkin terpanggil melakukannya, karena alasan pelanggaran etika kepatutan. Mungkin dia merasakan, masyarakat sudah eneg dengan berbagai ketidak patutan kebijakan yang dibuat Menneg BUMN era Jokowi.

Jadi persoalan rekaman percakapan itu, harus ditempatkan pada persoalan patut dan tidak. Kita sedang bicara soal norma-norma kewajaran dan etika. Bisa saja apa yang dilakukan oleh Rinsoe dan SB, hal yang sangat penting -dalam rangka kelancaran pekerjaan kedua pejabat tinggi negara tersebut.

Tetapi dalam percakapan itu, terselip hal-hal yang memberikan kesan, Rinsoe ikut 'menumpangkan' kepentingan bisnis saudara kandungnya. Ini yang tidak patut dan menyinggung perasaan masyarakat. Saya mulai meragu mengkritisi kinerja Kemeneg BUMN, bukan karena takut disomasi. Tetapi kritik atau bentuk masukan apapun yang dipublikasikan dalam rangka kontrol sosial, sepertinya tak mempan.

Jokowi, menurut kesan saya, sudah menjadi Kepala Pemerintahan yang imun atau kebal terhada apa pun yang dilakukan oleh Menneg BUMN. Saya coba pahami pendapat Deny Siregar, salah seorang penulis sekaligus pembela Jokowi. Yang menggambarkan, Jokowi punya kemampuan 'menaklukkan' lawan dengan cara jitu. Tapi saya tidak melihat Jokowi dalam posisi sedang mau menaklukkan Rinsoe. Yang terjadi, kesan saya, justru sebaliknya.

Sebagai wartawan produk jaman old, saya mencatat -semoga tidak keliru, bukan sekali saja Jokowi bertemu dengan pimpinan media massa. Saya berharap, pelanggaran etika kepatutan oleh pejabat setingkat Menteri, bisa disinggung dari pertemuan itu. Sayangnya tidak.

Tahun 2016, hampir semua media di Indonesia, melaporkan tentang kecurigaan terhadap Menteri Rinsoe. Bahwa Menneg BUMN ini disebut-sebut menerima sogokan sebesar USD 5 juta, dalam realisasi proyek Kereta Api Cepat -Jakarta-Bandung-Jakarta. Sumber beritanya berasal dari media internasional.

Media-media lokal tidak sekedar melaporkan kecurigaan atas keterlibatan Menneg BUMN. Melainkan mempertegas bahwa dua pejabat RRT (Cina) yang terlibat dalam skandal proyek kereta apa itu, sudah diadili. Ada yang dijatuhi 14 tahun, satunya lagi seumur hidup.

Proyek kereta api cepat ini, mengandung skandal. Sebab lebih mahal dengan dibanding proyek sejenis di Iran. Jarak yang mau dibangun Indonesia, jauh lebih pendek. Tapi boayanya lebih besar dibanding Iran yang lebih panjang. Unik dan menariknya kasus ini, kabar sogokan itu, kemudian tenggelam begitu saja. Tidak pernah ada laporan lanjutan.

Sempat muncul rasa curiga terhadap Presiden. Bahwa Presiden pun, ikut menyuburkan NKK. Tapi saya hapus kecurigaan itu dengan membatin, bahwa Jokowi, raut mukanya sejauh ini menunjukkan dia seorang yang tidak bermental koruptif. Yang saya khawatirkan, kalau pada akhirnya citra non-koruptif Jokowi itu, akhirnya terhapus oleh sikapnya yang terkesan "Sebagai Presiden, saya lebih tahu dari pada anda yang cuma rakyat biasa atau pengeritik."

Jadi, yang saya putuskan, mengambil sikap untuk tidak merasa lelah menjadi Jurnalis Indonesia yang kritis. Sebab mencintai Indonesia, sudah merupakan panggilan sekaligus pilihan. Mari kita tegakkan etika kepatutan. [***

Penulis merupakan Wartawan Senior