Pasca Novanto- Siapa lagi yang akan Dibidik KPK?

MAJELIS Hakim Pengadilan Tindak Pidana Korupsi telah menjatuhkan vonis 15 tahun penjara, membayar uang pengganti sebesar USD7,3 juta dan denda senilai Rp. 500 juta subsider 3 bulan kurungan kepada Setya Novanto.


Meskipun putusan tersebut belum inkracht karena pihak Setya Novanto masih pikir-pikir untuk mengajukan banding atas putusan majelis hakim tersebut akan tetapi setidaknya putusan tersebut adalah titik terang melihat peran Novanto dan berbagai pihak lainnya dalam kasus korupsi E-KTP.

Putusan Majelis Hakim ini sangat ditunggu-tunggu masyarakat luas mengingat semenjak Novanto ditetapkan sebagai tersangka banyak lika liku proses yang membuat sulitnya Novanto diseret ke meja hijau selain itu  Novanto yang saat ditetapkan sebagai tersangka oleh KPK juga merupakan Ketua DPR yang tentunya karena jabatannya menjadi sorotan publik secara luas.

Jalan Panjang Novanto ke Meja Hijau

Jauh sebelum korupsi E-KTP ini menjadi sorotan publik, Nazaruddin yang menjadi terpidana kasus korupsi yang juga telah ditetapkan sebagai Justice Colaborator oleh KPK untuk turut membantu KPK membongkar berbagai kasus korupsi pernah berujar keterlibatan Novanto dalam kasus korupsi E-KTP bahkan Nazaruddin mengatakan bahwa Novanto memiliki peranan penting terhadap korupsi E-KTP.

Namun saat itu korupsi ini belum banyak mencuat barulah setelah KPK menetapkan Irwan dan Sugiharto dari Kementerian Dalam Negeri sebagai tersangka kasus E-KTP ini kemudian menjadi sangat booming dan menjadi pusat perhatian publik mengingat korupsinya mencapai triliunan rupiah dan menyisakan persoalan di masyarakat karena masyarakat saat itu masih banyak yang belum mendapatkan E-KTP karena adanya kelangkaan blangko.

Saat Irman dan Sugiharto menjadi terdakwa di dalam ruang persidangan pada saat dilakukan pemeriksaan banyak terungkap peran-peran baik dari birokrat, anggota legislatif dan pihak swasta dalam menjalankan dugaan praktik korupsi E-KTP.

Novanto yang saat itu sebagai Ketua Fraksi Partai Golkar di DPR banyak disebut-sebut terlibat dalam kasus ini termasuk perannya banyak terungkap dalam sidang Irman dan Sugiharto.

Mencermati hal tersebut kemudian KPK menetapkan sebagai tersangka. Penetapan Novanto sebagai tersangka ini adalah awal dari drama membawa Novanto ke meja hijau. Untuk membawa Novanto ke Meja Hijau KPK pernah dikalahkan Novanto melalui putusan pra peradilan yang menganulir penetapan tersangka Novanto.

Ketika KPK mengeluarkan Surat Perintah Penyidikan (Sprindik) baru yang menetapkan Novanto kembali menjadi tersangka, saat KPK ingin melakukan pemeriksaan terhadap Novanto, saat itu Novanto tidak diketahui keberadaannya dan ketika itu diketahui bahwa Novanto sedang kecelakaan.

Kecelakaan ini menimbulkan banyak kecurigaan bahwa hal ini direkayasa dan kecurigaan tersebut saat ini sedang dilakukan pemeriksaan di pengadilan. Namun akhirnya dengan segala upaya KPK akhirnya berhasil membawa Novanto ke Gedung KPK dan langsung dilakukan pemeriksaan dan dilakukan penahanan.

Gagal jadi Justice Colaborator

Sesaat setelah proses hukum Novanto mulai diperiksa di pengadilan, Novanto mengajukan diri sebagai Justice Colaborator. Untuk menjadi Justice Colaborator harus memenuhi syarat, beberapa syarat diantaranya ialah bersikap kooperatif dan bekerjasama dengan penegak hukum, bukan pelaku utama dan dapat membongkar kasus lebih besar serta mengakui kesalahan yang diperbuat.

Pengajuan Novanto sebagai Justice Colaborator saat itu sebenarnya bisa memberi harapan agar kasus korupsi E-KTP ini betul-betul bisa terungkap seluruh aktor dibaliknya tidak hanya yang namanya telah disebut.

Tetapi seiring berjalannya waktu sepertinya Novanto tidak memperlihatkan dapat membongkar kasus ini ke arah yang lebih besar justru sebaliknya Novanto cenderung berbelit-belit dan juga tidak kunjung mengakui kesalahannya dalam korupsi E-KTP.

Di saat akhir persidangan Novanto memang sempat menyebut 2 nama politisi PDIP yang sebelumnya tidak pernah disebutkan namanya telah menerima aliran dana E-KTP. Novanto menyebut Pramono Anung yang saat itu menjabat Wakil Ketua DPR dan Puan Maharani sebagai Ketua Fraksi PDIP menerima aliran dana korupsi E-KTP.

Pernyataan Novanto ini ia peroleh dari Made Oka Masagung, Novanto mengatakan bahwa Made Oka pernah melaporkan kepadanya bahwa telah memberikan uang kepada Pramono Anung dan Puan Maharani sebesar USD 500.000.

Namun dalam sidang Made Oka membantah pernyataan Novanto dan sebaliknya Novanto tidak bisa membeberkan bukti yang lebih meyakinkan. Tidak adanya upaya Novanto untuk membongkar keterlibatan orang-orang lain dalam korupsi E-KTP akhirnya KPK menolak pengajuan justice colaborator Novanto.

Benarkah Novanto Pelaku Utama?

Keterlibatan Novanto dalam perkara korupsi E-KTP ini diduga sebagian pihak bahwa Novanto lah sebagai pelaku utama namun ada pula yang pihak lain menganggap bahwa sebenarnya bukan Novanto sebagai pelaku utama, melainkan Novanto hanya operator dan pelaksana dan sesungguhnya bisa saja pelaku utamanya dari pemerintah karena proyek E-KTP ini merupakan program pemerintah. Proyek E-KTP yang merupakan program pemerintah ini diduga sudah dimainkan sejak dari proses penentuan program hingga dalam penyusunan anggaran.

Banyak pihak menduga bahwa keterlibatan pemerintah dalam pelaksanaan proyek E-KTP ini sangat besar sehingga pihak-pihak dari pemerintah khususnya pada tingkatan yang tinggi diduga juga terlibat bancakan korupsi E-KTP ini.

Gamawan Fauzi disebut-sebut menerima sejumlah aliran dana sebesar USD 4,5 juta meskipun berkali-kali Gamawan membantahnya. Selain Gamawan sampai saat ini belum ada level ditingkat pemerintahan yang diduga kuat menikmati aliran dana korupsi E-KTP.

Pernah saat Mirwan Amir memberikan kesaksian di pengadilan mengatakan bahwa Dia pernah menyampaikan kepada SBY agar proyek E-KTP ini dihentikan akan tetapi SBY memerintahkan agar proyek tersebut tetap dijalankan.

Terlepas benar atau tidaknya pernyataan Mirwan Amir tersebut akan tetapi pernyataan yang demikian belum memberikan petunjuk keterlibatan SBY.

Bidikan KPK selanjutnya?

Kasus korupsi E-KTP setelah Novanto diharapkan terus berlanjut dan KPK juga harus terus mengusut keterlibatan pihak-pihak lain terutama nama-nama yang telah disebutkan dalam dakwaan maupun putusan Majelis Hakim terhadap Irman dan Sugiharto maupun dalam dakwaan dan putusan Setya Novanto.

Selain itu pihak-pihak yang telah mengembalikan uang juga seharusnya sudah mulai diproses agar status orang-orang yang mengembalikan uang tersebut bisa lebih jelas. Perlu diingat bahwa pengembalian uang tidak menghilangkan unsur tindak pidananya.
Oleh karena KPK harus segera memproses pihak-pihak yang telah mengembalikan uang korupsi E-KTP tersebut agar kepastian hukum dapat terjamin. Dalam putusan Novanto disebutkan kurang lebih ada 27 nama yang dijelaskan secara terang oleh Majelis Hakim telah menerima aliran dana uang E-KTP salah satunya ialah Gamawan Fauzi.

KPK kiranya perlu untuk mempercepat proses pemeriksaan terhadap nama-nama yang telah disebutkan dalam putusan Novanto apalagi nama-nama yang terus berulang sejak dari dakwaan dan putusan Irman dan Sugiharto.

Satu hal yang tidak boleh dilupakan oleh KPK ialah adanya nama-nama yang hilang dalam dakwaan Novanto ada sekitar 21 nama yang dulunya ada dalam dakwaan Irman dan Sugiharto namun dalam dakwaan Novanto nama-nama tersebut tidak muncul.

Salah satu nama yang hilang dalam dakwaan Novanto ialah Yasonna Laoly Menteri Hukum dan HAM. Nama Yasonna sebelumnya sangat santer terdengar bahkan Yasonna sudah beberapa kali memenuhi panggilan KPK untuk dimintai keterangannya dalam perkara E-KTP. Yasonna diduga menerima uang sebesar USD 84 ribu.

Nama-nama yang terkait dalam korupsi E-KTP ini harus segera dilakukan proses hukum dan diajukan ke sidang pengadilan agar kasus korupsi E-KTP ini betul-betul dapat tuntas dan terselesaikan secara menyeluruh.

Kita harus tahu bahwa hukum dibuat agar setiap kekuasaan dapat dibatasi dan orang kuat yang terlibat tetap dapat dituntut secara hukum atau dalam istilah hukum sering disebut sebagai Inde Datae Leges be Fortior Omnia Posset. Selanjutnya jangan sampai kasus E-KTP ini menjadi mandek dan berjalan dengan lamban karena masyarakat sangat menantikan kelanjutan dari proses kasus E-KTP ini.

Apabila kasus ini mandek maka bukan tidak mungkin masyarakat akan melakukan upaya hukum agar memaksa KPK untuk terus menindaklanjuti kasus ini seperti kasus Century dimana KPK digugat oleh MAKI dan kemudian Pengadilan memerintahkan agar KPK segera melanjutkan proses hukum Century. [***]