Dua Perantau Indonesia Di Amerika Ciptakan Beras Berprotein Tinggi

RMOLBanten. Beras berprotein tinggi berhasil diciptakan dua diaspora (perantau) Indonesia di Louisiana, Amerika Serikat (AS), Herry dan Ida Utomo.


Temuan kedua diaspora yang juga profesor di Louisiana State University ini salah satunya bertujuan untuk mengatasi malnutrisi.

"Ada ratusan juta orang di seluruh dunia yang bergantung pada nasi dan memakannya tiga kali per hari, tetapi kadang mereka tidak dapat asupan protein yang cukup karena kelangkaan atau tidak mampu membeli daging," jelas Ida Utomo.

"Saya pikir jika kita dapat meningkatkan kandungan protein beras, itu dapat membantu mengatasi masalah gizi buruk yang serius."

Beras Cahokia telah lolos paten, pertama kali berhasil dikembangkan di dunia, dan kini mulai dijual ke publik melalui berbagai pasar swalayan oleh perusahaan di Amerika Serikat. Petani lokal asal Illinois bernama Blake Gerard yang menggeluti padi selama 18 tahun mengaku amat puas dengan beras Cahokia.

"Kami sekarang sedang panen kelima dan dengan hasil yang bagus serta tingkat protein yang konsisten, kami sangat gembira."

Lebih hebatnya lagi, kadar karbohidrat di beras Cahokia pada dasarnya tidak berubah. Cahokia memiliki indeks glisemik (IG) yang lebih rendah dibanding beras lain pada umumnya. Karbohidrat dari beras Cahokia berubah menjadi gula lebih lambat daripada beras biasa. Sehingga bagi para penderita diabetes, beras dengan IG lebih rendah seperti Cahokia lebih aman untuk dikonsumsi.

"Tidak ada perubahan teknis dalam budidaya padi berkadar protein tinggi ini," kata Herry sebagaimana rilis dari Direktur Eksekutif Indonesian Diaspora Network-United, Hamdan Hamedan yang diterima redaksi, pagi ini (Kamis, 24/5).

Artinya, tanpa mengeluarkan biaya tambahan maka dari tiap 1 hektar yang ditanami Cahokia akan diperoleh 150 kg ekstra protein murni. Protein tambahan ini setara dengan 550 kg daging atau 4.500 liter susu.

Dengan total areal produksi beras AS sebesar 1,8 juta hektar, maka padi berkadar protein tinggi ini akan membantu menghasilkan tambahan 0.23 juta ton protein murni setiap kali tanam.

Untuk Indonesia yang lahannya 4,5 kali AS, potensi tambahan protein bisa mencapai 1 juta ton protein murni yang setara dengan 3,6 juta ton daging tanpa biaya tambahan atau mengubah cara budidaya. [dzk