Spiritualitas Puasa

PUASA sejatinya merupakan proses penjernihan kontinuitas "jalan kesalehan spiritual", baik kesalehan individual juga kesalehan sosial.


Puasa bermuara pada nilai-nilai kepedulian, ketakwaan, dan kesalehan sosial berupa ketulusan memaafkan, etos berbagi (zakat fitrah dan Zakat Mal), dan signifikansi silaturahim. Keduanya berangkat dari panggilan iman dan berbuah kemanusiaan universal.

Ketika kita menjalankan puasa, sebenarnya kita sedang menapaktilasi aneka Maqamat batiniah. Mereka merengkuh jalan ketaatan dan ketakwaan dalam meraih predikat insan kamil” karena dimotivasi oleh spirit puasa tidak lain adalah surga (HR Muslim).

Garansi kebahagiaan spiritual (surgawi) inilah yang memotivasi umat Islam untuk memenuhi kewajiban berpuasa, menahan lapar dahaga.

Puasa itu ibadah multidimensi sekaligus multinilai. Melaksanakan puasa bukan sekadar ritualitas fisik-formal tanpa makna moral. Puasa adalah sebuah "drama kehidupan" yang sarat filosofi, simbol, nilai, dan makna, terutama makna sosial kultural. Puasa dimulai dengan makan sahur (garis start puasa).

Niat Puasa dan makan sahur mengandung pesan bahwa melaksanakan puasa itu harus suci lahir batin, berhati tulus ikhlas, tidak egois, tetapi egaliter, emansipatoris, dan siap memenuhi panggilan ketaatan (talbiyah) dan hanya berharap memperoleh ridha-Nya.

Berpuasa haruslah menunjukkan kebersihan hati, ketulusan niat, dan kesungguhan komitmen untuk tidak memperlihatkan stratifikasi dan arogansi sosial yang sering kali disimbolkan dalam berniat.

Shalat Tarawih dan Witir bukan sekadar ritual. Shalat Tarawih mendidik kita bergerak dinamis dalam orbit tauhid.

Konsistensi dalam bertauhid memacu gerak untuk maju dan terus berperilaku progresif. Orang yang bertarawih adalah orang yang antikemunduran dan kejumudan.

Tarawih menyadarkan pentingnya nilai mobilitas dan progresivitas sosial. Tarawih merupakan titik tolak menuju transformasi sosial-kultural yang berkeadaban. Tarawih juga merupakan gerakan "tasbih universal" dengan menjadikan tauhidullah sebagai orbit kehidupan.

I’tikaf dan Tadarus Al Qur’an melambangkan merupakan kesadaran spiritual akan pentingnya "berhenti seraya berefleksi untuk makrifat diri" (introspeksi dan evaluasi diri) dan merasakan kehadiran Allah SWT. Sebagai lambang kesadaran akan pentingnya introspeksi diri, pengenalan jati diri, dan "pengadilan terhadap diri sendiri".

Karena itu, di malam hari, kita diminta terbangun untuk mendekatkan diri, bertaubat dan bermunajat kepada Allah. Nuzulul Quran adalah simbolisasi cita dan cinta. Karena cinta-Nya yang tulus kepada dan karena Allah semata.

Puasa bukan sekadar menunaikan kewajiban (agama), melainkan proses transformasi sosial budaya yang bermuara pada tegaknya sistem sosial kultural yang mengedapankan keluhuran moral dan kedalaman spiritual. Puasa adalah panggilan ketuhanan sekaligus jihad kemanusiaan.

Berpuasa berarti berusaha menjadi manusia yang peduli terhadap norma-norma agama, hukum, sosial kultural, dan siap melayani orang lain dengan rela berkorban jiwa, raga, harta, ilmu, dan jasanya demi kesejahteraan dan kemaslahatan umat manusia.

Puasa dan Keikhlasan

Salah satu manifestasi taubatan nashuha dan buah dari atsarush-shiyam adalah tumbuhnya keikhlasan. Islam mendorong penganutnya untuk meneguhkan keikhlasan. Keikhlasan dalam makna menaati ketentuan Allah dan mengikuti jejak Rasulullah SAW. Bentuknya ada bermacam-macam.

Pertama, ikhlas mempersiapkan setiap kegiatan. Puasa yang dipersiapkan dengan baik akan menghasilkan puasa yang sempurna. Hal ini mengandung pelajaran bahwa kalau ingin mencapai kesuksesan dalam setiap kegiatan/ pekerjaan perlu persiapan matang.

Apabila kegiatan telah berakhir, dilakukan evaluasi secara mendalam sebagai bahan untuk mempersiapkan lebih baik kegiatan berikutnya.

Kedua,
ikhlas dalam mengatur waktu. Puasa dimulai tepat pada saat fajar terbit dan diakhiri waktu matahari terbenam. Begitu waktu magrib tiba, dianjurkan segera berbuka puasa. Ini merupakan pelajaran keikhlasan mengatur waktu dalam kehidupan.

Ketiga, ikhlas dalam meraih kualitas. Kualitas ibadah puasa bukan sekadar ditandai dengan menahan diri tidak makan, minum, dan ber-gaul antara suami-istri, serta segala hal yang bisa membatalkan puasa.

Lebih dari itu, puasa harus membawa orang yang berpuasa menghayati nilai-nilai puasa, di antaranya: penegak keadilan, pejuang kejujuran, serta kepedulian sosial. Ikhlas dalam mensyukuri keberhasilan. Setiap mukmin harus meyakini bahwa berpuasa dengan sempurna dan berkualitas itu bukanlah semata kekuatan diri sendiri, melainkan ada faktor hidayah dan pertolongan Allah yang Pengasih dan Penyayang.

Maka bersyukur atas kesuksesan meraih kualitas puasa merupakan keniscayaan. Allah SWT berfirman dalam Surat Al-Baqarah ayat 185: …dan hendaklah kamu mencukupkan bilangannya dan hendaklah kamu mengagungkan Allah atas petunjuk-Nya yang diberikan kepadamu, supaya kamu bersyukur.”

Kesadaran adanya pertolongan Allah dalam setiap keberhasilan membuat orientasi hidup lebih luas dan visioner. Maksudnya, tidak mudah terjebak pada kesombongan dan tidak mudah berputus asa manakala belum berhasil.

Sikap yang demikian akan menumbuhkan sikap hidup serba positif yang pada gilirannya selalu memperbaiki kualitas diri, lembaga, umat, dan bangsa. Ibadah puasa janganlah hanya menjadi kegiatan seremonial belaka. Artinya,ibadah yang bersifat vertikal tersebut harus mampu diinternalisasikan maknanya dalam kehidupan nyata sehari-hari, dalam bentuk sikap dan tindakan nyata.

Dengan demikian hubungan vertikal tersebut berkorelasi positif dengan hubungan horizontal berupa perbuatan ihsan yang bermanfaat bagi umat manusia dan alam semesta.

Kiranya benar ungkapan Imam al-Ghazali dalam karya magnum opus-nya, Ihya’ Ulumuddin bahwa, Manusia yang tidak diterangi cahaya ilahi bagaikan orang yang berjalan di atas lorong gelap. Orang yang sekadar percaya kepada Tuhan, tetapi tidak menumbuhkan sifat-sifat atau nilai-nilai spiritual di dalam dirinya, dia bagaikan iblis yang gentayangan.

Eko Supriatno M.Si, M.Pd

Penulis adalah Dosen UNMA Banten