Keraton Tirtayasa- Istana Air Sultan Ageng

KINI, biarlah Tuan Williem tenang di tempat peristirahatan terakhirnya, karena kita tetap masih beruntung.


Lain halnya dengan nasib tragis yang dialami Keraton Tirtayasa di jaringan kanal delta Ciujung. Istana itu benar-benar musnah dalam peperangan tahun 1682. Istana Tirtayasa saat itu adalah denyut jantung terakhir perlawanan rakyat Banten menghadapi gempuran militer VOC yang dikendalikan dari Batavia.

Keraton Banten yang keempat ini dibangun pada jaringan irigasi persawahan yang subur. Keindahan landskap, keasrian lingkungan, kehijauan hamparan sawah, dan gemercik aliran sungai yang membentuk jaringan kanal mengelilingi keraton telah menyedot kearifan pikir dan kehalusan budi Sultan Abdul Fathah dan mengenang istananya dengan nama Tirtayasa.

Dari istilah itulah kemudian Kanjeng Sultan Sepuh Ing Banten itu lebih dikenal dengan gelar Sultan Ageng Tirtayasa. Sebuah kenangan yang selalu melekat pada dirinya, bukan cuma karena seorang pahlawan dalam peperangan, tetapi ia sesungguhnya seorang pakar dalam bidang irrigation work untuk menjamin sistem water supply bagi ribuan hektar persawahan di aliran Sungai Ciujung dan Cidurian.

Terkesan pada daya tarik keraton ini pula, sejumlah arkeolog Jepang dan Indonesia dengan susah payah melakukan ekskavasi untuk mengenali kembali keraton yang terkenal sebagai benteng terakhir dari pertahanan Banten menghadapi gempuran hebat tentara VOC.

Tetapi hasilnya hanya mampu menyingkap sisa-sisa fondasi bata bercampur batu karang pada sudut-sudut bangunan, selebihnya hanya tegalan dan sawah terhampar melintasi lokasi keraton. Bersyukurlah bahwa penelitian itu telah menghimpun sejumlah besar pecahan keramik yang terutama diimpor dari Hizen, sebuah kota dagang yang sejak abad XVI memang terkenal sebagai pelabuhan pengekspor keramik Jepang.

Namun ingatan kolektif orang Banten tak pernah terhapus oleh kehancuran fisik keraton Tirtayasa. Setiap saat, lebih-lebih di hari besar keagamaan Islam, bekas lokasi keraton itu di mana masih ditandai dengan petilasan Sultan Ageng, tak pernah sepi dari kunjungan ziarah; suatu bentuk penghormatan kepada leluhur yang telah memperjuangkan haknya untuk melawan despotisme kekuasaan ekonomi politik Belanda di tanah Banten. [***]



Penulis adalah anggota Banten Heritage