KPU Di Tengah Pusaran Delegitimasi

DALAM beberapa kesempatan di media, Ketua Komisi Pemilihan Umum Republik Indonesia (KPU-RI) Arief Budiman melempar istilah "Delegitimasi” terhadap eksistensi KPU maupun pemilu serentak yang akan segera digelar.


Bagaimana "kerikil-kerikil” dinamika tahapan pemilu itu dialamatkan sebagai bentuk delegitimasi? Tentu bukanlah salah alamat. Mengingat kabar burung yang tak jelas kebenarannya itu, muncul secara kontinyu, dan menyasar marwah legitimasi KPU sebagai penyelenggara pemilu di Indonesia.

Berangkat dari kajian filsafat politik, delegitimasi dapat menyasar subjek maupun objeknya. Personal maupun kebijakannya. Dalam buku "Legitimation Crisis”, Jurgen Habermas menyimpulkan bahwa ancaman terbesar demokrasi adalah delegitimasi. Pemicunya adalah teknis birokrasi prosedural dan normatif. Kondisi tersebut, cenderung mereduksi teknis pengambilan keputusan dan negosiasi kuasa. Hal ini pula yang menjadi pemicu kejatuhan prinsip ideal.

Teori lainnya diungkapkan Pierre Rosanvallon. Demokrasi dinilai selalu rapuh. Namun, kondisi ini menjadikan demokrasi kian bermakna sebagai pilihan tatanan politik. Demokrasi rapuh justru karena banyak gagasan awal yang menopang demokrasi. Seperti munculnya istilah: kehendak umum, kesetaraan semua, hingga penggunaan istilah "rakyat”.

Istilah-istilah tersebut, hanya imajinasi konseptual bersifat fatamorgana. "Kesetaraan Semua” dan prinsip "dari-oleh-untuk rakyat” hanyalah teknik pengambilan keputusan melalui voting atau sekadar siasat negosiasi forum parlemen.

Dalam teori democratic legitimacy-nya itu, Rosanvallon menilai bahwa delegitimasi yang menyasar demokrasi, terjadi saat kondisi-kondisi tersebut kehilangan imajinasi kolektif. Seperti adanya kesadaran masyarakat bahwa parlemen tidaklah bisa sepenuhnya mewakili rakyat. Akan tetapi, parlemen harus bertahan sebagai simbol perwakilan rakyat. Sebab, demokrasi akan berubah menjadi absolut ketika parlemen sebagai simbol perwakilan rakyat, tidak ada. Padahal, dalam kondisi parlemen serta partai-partai politik tersebut kehilangan peran simbolisnya atas nama "perwakilan rakyat”, justru demokrasi sedang mengalami delegitimasi.

Ditegaskan Rosanvallon, apabila empat pilar demokrasi (eksekutif, legislatif, yudikatif dan kebebasan pers) tidak mampu menjadi kanalisasi aspirasi masyarakat, kondisi ini menjadikan marwah demokrasi bergeser menjadi kontra-demokrasi.

Kondisi paling nyata, adalah intensitas munculnya berita-berita hoax, yang mewarnai perjalanan tahapan pemilu serentak 2019 ini. Kondisi tersebut, tak ubahnya sebagai penyaluran yang menyimpang dari saluran-saluran normal sistem demokrasi. Ini adalah kunci. Sekaligus dasar dari muara besar arah delegitimasi terhadap pemilu maupun penyelenggaranya (baca: KPU).

Kondisi tersebut dapat dikatakan sebagai "sinyal tanda bahaya” dalam rangka pembuktian legitimasi demokrasi. Meskipun juga bagian dari dinamika demokrasi. Sebab, nuansa "kompetisi” yang muncul dari sebuah pemilihan umum sebagai salah satu bagian penting demokrasi, akan melahirkan suasana-suasana. Salah satunya adalah "serangan” yang dapat dialamatkan sebagai bentuk delegitimasi.

Sebagai bagian dari "mesin” demokrasi di Indonesia, KPU selalu berada di tengah pusaran besar kelompok-kelompok yang berkompetisi. Segala kebijakan KPU, tentu ada pihak-pihak yang merasa diuntungkan maupun dirugikan. Kecenderungan yang muncul, kubu oposisi seperti menjadi pihak yang dirugikan. Berbeda dengan kubu petahana. Sehingga, seringkali oposisi bertindak kritis.

Terutama berkaitan dengan kebijakan-kebijakan yang muncul dari KPU. Sekalipun KPU merasa bertindak sempurna, tetapi rasa ketidakpercayaan dari proses yang dijalankan, tetap muncul. Di sinilah, peran komunikasi dan profesionalitas KPU diuji. Kecenderungan kondisi delegitimasi, harus bisa ditepis dengan profesionalisme dan integritas yang ditunjukkan KPU.

Apabila dikembalikan pada hati nurani seluruh pihak yang terlibat dalam pemilu, baik penyelenggara seperti KPU, institusi terkait, partai politik dan sayap-sayap pemenangan, hingga konstituen yakni rakyat Indonesia, tentu tidak ada cita-cita mendelegitimasi. Baik delegitimasi terhadap pemilu, KPU, maupun kebijakan-kebijakan yang dimunculkan. Sebab, iklim demokrasi Pancasila secara prinsip adalah mengedepankan musyawarah kekeluargaan demi mencapai keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.

Kondisi tersebut tentu harus diimbangi kepastian bahwa proses demokrasi utamanya pemilu, dijalankan dengan penuh integritas dan legitimated oleh penyelenggaranya. Terutama KPU. Untuk itu, KPU harus mampu memastikan bekerja sesuai peraturan yang ada. Termasuk memperlakukan seluruh peserta kompetisi dengan adil dan merata. Tidak tebang pilih. Transparansi juga penting untuk dijalankan. KPU harus selalu terbuka. Baik dalam urusan data yang bersifat dapat diketahui publik, maupun segala informasi yang diperlukan.

Dari kondisi demikian, KPU tidak perlu takut menghadapi kondisi. Otoritas yang dimiliki, harus dijaga marwah dan kepercayaannya dari publik.

Pengembangan diskusi-diskusi publik, juga perlu dipacu. Terutama di daerah. Dengan forum ini, KPU dapat menunjukkan dedikasi, netralitas dan integritas kebijakan yang dijalankan. Forum diskusi seperti Indonesian Lawyers Club (ILC) di salah satu stasiun televisi swasta, bisa diadopsi di daerah. Tentu tema-tema kepemiluan dan demokrasi, menjadi topik pembahasan. Dan di sinilah, peran KPU muncul. Ruang diskusi dan dinamika, penting untuk dijalankan.

Selain itu, kekuatan KPU dalam sektor legal, juga harus kuat. Sumber daya ilmu hukum, juga harus dikuasai. Sehingga, seluruh kebijakan yang dijalankan, dapat diminimalisir celah hukumnya. Baik tata bahasa, maupun potensi-potensi gugatan. Apa saja keputusan yang diambil dari kesepakatan dengan pihak eksternal, harus dituangkan dalam berita acara yang mengikat. Sebagaimana ketentuan pasal 1338 KUH Perdata.

"Semua persetujuan yang dibuat sesuai undang-undang, berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya. Persetujuan itu tidak dapat ditarik kembali selain dengan kesepakatan kedua belah pihak, atau karena alasan-alasan yang ditentukan oleh undang-undang. Persetujuan harus dilaksanakan dengan itikad baik.”

Tidak cukup di situ. Standar operasional prosedur (SOP) juga harus diterapkan. Meskipun dalam prosesnya, KPU dibekali standar legalitas. Salah satunya Peraturan KPU (PKPU) sebagai turunan dari undang-undang.


Hari ini, seluruh pihak dapat berbicara. Kebebasan berpendapat dan menyatakan pendapat, dijamin dan dilindungi konstitusi. Apalagi perkembangan dunia digital kian pesat. Media sosial menjadi sarana paling cepat untuk mempublish pendapat.

Selain berada di tengah pusaran pihak-pihak yang berkompetisi, KPU sebagai instrumen penyelenggara demokrasi (khususnya pemilu), juga didukung institusi lainnya. Seperti TNI dan Polri, selaku penegak hukum dan benteng keamanan negara.

Apabila diserang isu-isu yang sekiranya dapat menjadi domain institusi terkait, sebenarnya KPU tidak perlu terlalu repot menjawab "tantangan” yang mengarah pada delegitimasi tersebut. Seperti munculnya berita atau isu-isu hoax yang mengarah pada UU-ITE atau pencemaran nama baik, tentu sudah menjadi domain Polri sebagai penyidik. Apalagi, ada forum Sentra Penegakan Hukum Terpadu (Gakkumdu). Yakni pusat penegakan hukum tindak pidana pemilu yang terdiri dari unsur Bawaslu, Polri dan Kejaksaan.

Dinamika yang muncul, tentu diharapkan tidak menggoyahkan fokus dan konsentrasi pihak-pihak penyelenggara demokrasi, utamanya KPU. Biarkan publik menilai. Apabila upaya delegitimasi tersebut muncul dan semakin kuat, publik tidak tinggal diam untuk melawan.

Hal itu harus diimbangi kinerja positif, integritas serta profesionalitas KPU dalam menjalankan tugas kepemiluan. Semoga delegitimasi itu hanya "kerikil-kerikil” kecil yang tidak menjadi gunung batu dinamika demokrasi, yang dapat menutupi sinar terang demokrasi di Indonesia.[***]

Advokat Alumni HTN-HAN Fakultas Hukum Universitas Muhammadiyah Malang. Artikel ini dikirimkan untuk Kantor Berita