Mengapa Rakyat Nekat?

DIANCAM akan ditembak di tempat jika ganggu NKRI, rakyat tak bergeming. Disiapin 150 anjing pemburu (dari Hendropriyono), cuek. Ulama dan tokohnya ditangkap, gak takut juga. Tetap saja mau turun ke jalan? Nekat!


Kedua, faktor ketidakadilan hukum. Satu persatu ulama dan tokoh oposisi jadi tersangka. Entah sudah berapa banyak jumlahnya. Mereka dituduh menebar kebencian dan dijerat UU ITE. Akhir-akhir ini pasal makar mulai dikenakan. Di sisi lain, laporan kubu oposisi terhadap sejumlah orang yang diduga bersalah, tak ada tindak lanjut. Hukum terkesan sekali "tebang pilih" kata Anwar Abbas, Sekjen Majelis Ulama Indonesia. Tapi, rakyat bisa apa?

Di mana mahasiswa? Emak-emak telah menggantikan peran mereka. Para alumni yang sudah lulus, bongkar lagi lemari, ambil jaket almamater dan memakainya lagi untuk turun ke jalan. Emak-emak dan para alumni telah ambil peran mahasiswa.

Emak-emak malu memiliki anak-anak yang tak peduli kepada nasib bangsanya. Mereka tak pernah berniat melahirkan dan membiayai anaknya kuliah untuk jadi mahasiswa yang cuek dan tak peduli kepada nasib bangsanya.

Banyak yang bertanya, setengah curiga: apakah mereka sudah terbeli atau takut dengan intimidasi? Begitulah spekulasi dan rumor yang beredar di diskusi publik.

Kesal dengan mahasiswa, emak-emak dan para alumni memberi hadiah daster, boneka barby dan jepitan rambut kepada sejumlah ketua BEM ITS. Serendah itukah?

Apakah semua ini karena para rektor ditunjuk oleh menteri? Sehingga mimbar kebebasan mahasiswa jadi sempit. Atau mahasiswa sekarang sudah sedemikian pragmatis hidupnya? Entahlah!

Di masa Orde Baru ada olok-olokan yang sangat populer: mahasiswa takut sama dosen, dosen takut sama dekan, dekan takut sama menteri, menteri takut sama presiden, dan presiden takut sama mahasiswa.

Tapi sekarang, presiden tak perlu takut sama mahasiswa. Mahasiswa sudah jinak. Tak lagi kritis dan berani seperti kakak-kakak mereka yang sudah lulus. Sama emak-emak aja kalah.

Yang pasti, mereka beda dengan para mahasiswa yang lahir dan dididik di abad 20. Terutama mahasiswa angkatan 66 dan 98. Kendati sejumlah alumni kedua angkatan ini ada yang masuk angin juga ketika bersentuhan dengan kekuasaan.

Faktanya, posisi seringkali membunuh iman dan integritas seseorang. Idealis ketika jadi oposisi, pragmatis ketika ikut menikmati kekuasaan. Kasih posisi komisaris, kelar!

Ketiga, faktor kedaulatan. Hak untuk menyuarakan pendapat dan melakukan sosial control terhadap kebijakan penguasa semakin sempit. Pasal pidana mengancam nyali rakyat.

Media bungkam, tak berkutik, kecuali menjadi sarana iklan penguasa. Tak lagi leluasa untuk menyampaikan fakta. Kabar yang beredar, sejumlah pemilik media telah jadi tersangka. Cukup 'satu lembar surat' membuat media diam. Benarkah?

Tanpa media dan tanpa mahasiswa, akhirnya rakyat harus berjuang sendiri. Termasuk emak-emak. Terpaksa turun ke jalan ketika dinding psikologis mereka tak lagi mampu menampung beban. Bukan saja beban ekonomi dan ketidakadilan hukum, tapi juga karena hilangnya hak mereka untuk menyuarakan perubahan.

Demonstrasi yang masif di berbagai daerah pasca pilpres kali ini mengambil tema kedaulatan rakyat. Saat mereka 'merasa' suaranya dan pilihan politiknya dirampas (dicurangi), disitulah dinding psikologis mereka jebol.

Harapan untuk memperbaiki nasib ekonomi bangsa dan keadilan hukum sirna. Kira-kira narasinya begini: Apalagi yang bisa dipertahankan dalam hidup ini jika rakyat kehilangan kesempatan untuk berharap terjadinya perubahan di negeri sendiri.

Akhir-akhir ini, isu kecurangan seperti anti klimaks. Tak ada lagi kata maaf. Begitulah kira-kira yang ada di pikiran mereka. Apa yang diucapkan Prabowo dan Sandiaga Uno seperti merepresentasikan hati dan pikiran para pendukungnya.

2014, Prabowo legowo kalah, meski merasa dicurangi. Tapi tidak di 2019. Pertama, tak mungkin mengalah kedua kali. Kedua, rakyat yang mendukungnya tak mengijinkan Prabowo mengalah lagi. Maka ia katakan "akan selalu bersama-sama dengan rakyat memperjuangkan kedaulatan".

Ketiga, membayangkan Indonesia tak punya masa depan jika setiap kejujuran rakyat dan harapannya untuk melakukan perubahan selalu dibungkam. Karena itu, untuk kali ini Prabowo akan all out memperjuangkannya. "Lebih baik mati terhormat demi memperjuangkan kedaulatan rakyat", katanya. Wow.

Tekat Prabowo sepertinya sudah bulat. "Point of no return" katanya. Tak ada celah untuk urungkan niat dan batalkan tekad. Maju terus!

Tidak hanya Prabowo, Sandi sang wakil yang kalem dan dikenal sebagai sosok yang gak suka keributan, iapun memiliki tekad yang sama: akan memperjuangkan sampai titik darah penghabisan. Wiw! Sandi gitu loh.

Suara Prabowo dan Sandi adalah suara para pendukungnya yang di dalamnya banyak tokoh dan ulama. Bahkan juga puluhan purnawirawan jenderal TNI yang pernah menduduki posisi strategis saat masih aktif di militer. Mereka kompak: berjuang bersama-sama untuk menuntut dikembalikannya kedaulatan rakyat.

Kedaulatan rakyat inilah yang mereka anggap satu-satunya ikhtiar yang memberi sisa-sisa harapan untuk memungkinkan negara ini berubah. Bangkit dari keterpurukan ekonomi dan keluar dari ketidakadilan hukum. Makanya, mereka perjuangkan sampai titik darah penghabisan. Ngeri bahasanya. Hehehe.

Berkaca pada 411 dan 212, rakyat turun jalan secara damai. Tak ada tindakan anarkis. Tak ada pelanggaran hukum. Berorasi, sampaikan pendapat kepada penguasa. Mereka berharap penguasa mendengarnya. Titik!

Kedua belah pihak, dalam konteks ini adalah penguasa dan oposisi harus bersepakat untuk menjaga situasi agar tetap kondusif. Penguasa tak perlu provokatif. Menghindari narasi bersifat ancaman, apalagi tindakan main tangkap. Mesti dihentikan.

Begitu juga oposisi. Tetap konsisten dengan konstitusi dan tak terprovokasi. Jika situasi tetap kondusif, maka diharapkan suara rakyat itu akan terdengar jernih di telinga elit dan penguasa. Disitulah mungkin kebenaran dan kejujuran sebagai basis moral berbangsa akan hadir untuk memberi solusi.

Tony Rosyid

Pengamat Politik dan Pemerhati Bangsa