Pinokio Dan Petruk

PINOKIO adalah boneka kayu hidup. Tokoh sentral karangan Carlo Collodi ini digambarkan memiliki hidung panjang. Sifatnya polos, bodoh, egois dan suka berbohong.

Setiap berbohong, hidung Pinokio akan memanjang dan memanjang. Hidungnya akan kembali normal jika berkata jujur. Pinokio kemudian disihir oleh peri menjadi manusia.

Hampir mirip kisah Pinokio, salah satu tokoh Punakawan dalam pewayangan versi Jawa juga memiliki hidung panjang. Yakni Petruk.

Entah kebetulan atau tidak, karakter Petruk  mirip Pinokio. Lugu, ndagel, sok keminter, jago berkelahi, suka membela tuannya dan pandai berbohong. Barangkali memang demikian orang yang suka berhobong, ngibul, banyak janji, selalu disimbolkan 'hidung panjang'.

Dalam kebiasaan Jawa, seorang anak yang berkata tidak jujur pada orangtuanya, hidungnya akan terlihat 'menthus-menthus'. Pertanda si anak berbohong.

Nah, cerita Petruk berbohong terlihat dalam  'Petruk Dadi Ratu' (jadi raja). Kisahnya sangat fenomenal. Sang pengarang (Sunan Kalijaga) tampak mahir membuat gimmick-gimmick dalam kisah tersebut. Sehingga para dalang wayang kulit kadang memainkan kisahnya beragam.

Saat awal-awal mau menjadi raja, Petruk sudah tidak jujur. Dia nekat mencuri pusaka Jamus Kalimasada dari Prabu Puntadewa dengan menyamar jadi Gatotkaca.

Tak seorang pun tahu kelicikan Petruk. Pusaka Kalimasada itulah yang kemudian membuat Petruk duduk di singgasana. Norma-norma tak lagi berlaku. Hukum tumpul. Dikebiri. Aturan dibuat 'seudele dewe'. Tujuannya satu, agar Petruk diakui rakyat sebagai raja.

Kelicikan Petruk berbuah manis. Dia dinobatkan sebagai raja 'gadungan' di Kerajaan Lojitengara. Dia pun bergelar Prabu Welgeduwelbeh. Semua itu berkat kebohongan yang dibuatnya.

Perbuatan sebaik apapun jika diawali dengan satu kebohongan akan melahirkan kebohongan lainnya. Demikian yang dilakukan Petruk saat menjadi raja.

Awalnya Petruk ingin memperbaiki kekeruhan dan kekacauan negara. Janji manisnya ingin membuat negara tentram, aman, gemah ripah loh jinawi. Tapi setelah jadi raja, Petruk lupa.

Janji mensejahterakan rakyat sirna. Dipuja-puja  Didewakan. Dimuliakan. Semua itu membuat Petruk kehilangan jati dirinya. Petruk lupa diri. Dia tidak tahu lagi siapa orangtuanya. Siapa saudaranya. Tidak nyadar asal usulnya dari rakyat jelata, tapi selalu haus pujian dan pencitraan.

Demikian pula orang-orang lingkungan Istana yang punya kepentingan mereguk manisnya negara dipimpin orang bodoh seperti Petruk, berusaha membuat suasana semakin gaduh. Mereka 'mengipas-ngipasi' sosok Petruk seolah-olah adalah raja adil, raja teladan, raja pengayom rakyat, pokoknya raja segala raja. Bahkan Raja Petruk dianggapnya titisan dewa. Utusan Tuhan. Tak pernah punya salah. Selalu benar. Yang tidak benar berasal dari Tuhan, yang benar dari Petruk, kesannya begitu. Semua raja di dunia, tak ada raja sebaik dan sejujur Petruk. Demi junjungannya, mereka (para pendurhaka) bahkan rela mengelap sisa-sisa hajat tuannya.

Namun pada kenyataannya, negara justru berada dalam ketidaktentraman. Yang ada gaduh. Kalut. Kacau. Keruh. Penuh tipu muslihat dan tipu daya. Saling adu domba. Ujung-ujungnya terjadi perang antar saudara. Negara mendekati kehancuran. 'Bangkrut'.

Maklum sejak awal memimpin, rakyat sudah dibohongi Petruk. Diberi janji muluk-muluk. Janji mensejahterakan rakyat. Janji mengangkat derajat wong cilik. Janji melayani dan mengayomi.  Pokoknya janji-janji Petruk segunung. Tapi, janji Petruk sebelum dan sesudah jadi raja jauh panggang dari api.

Jangankan rakyat, raja-raja tetangga yang berada di wilayah Ngastina dan Ngamarta juga dibohongi. Dunia dibohongi Petruk dengan kecurangannya saat menjadi raja.

Yang paling parah, Petruk  tega membohongi bapak dan saudara-saudaranya Punakawan (Semar, Gareng, Bagong). Bahkan saudara-saudaranya dilawan. Diajak duel. Yang tidak suka dengan kebijakan sang raja akan dipukul. Padahal Petruk sebelum jadi raja tidak begitu.

Rakyat yang mengkritik kebijakan akan langsung diberangus oleh sang raja dan kroni-kroninya. Kalau ada lembaga tidak patuh pada raja, akan didemo habis-habisan. Rakyat disuruh demo secara berantai dan massif. Tentu demonya tidak gratis. Mereka dibayar.

Kemudian lembaga yang tidak patuh tadi akan dibuatkan peraturan baru. Peraturan lama direvisi. Dan rakyat 'gadungan' tadi diminta mendukung peraturan baru tersebut. Begitulah propaganda Petruk. Sehingga tidak ada lagi lembaga negara yang berani melawan titah sang raja. Semua patuh. Tunduk.

Semua lembaga resmi dikelola raja. Mau lembaga hukum, lembaga keuangan, lembaga kerohanian, harus dalam kendali sang raja. Sebab, sewaktu-waktu lembaga-lembaga itu bisa dipakai untuk melawan rakyat yang dicap membangkang.

Mau raja dan kroni-kroninya berleha-leha, tidak boleh dilarang. Bebas. Semua seenak 'udele dewe'. Uang rakyat digarong pun tidak masalah. Mau utang dari negara Ngastina atau Ngamarta bertumpuk-tumpuk, itu urusan Petruk. Rakyat tidak boleh melarang. Harus patuh. Manut junjungan. Raja tidak boleh kritik. Kalau dikritik akan dilawan dengan rakyat 'gadungan' tadi. Yang nekat kritik bakal diserbu. Ditawur. Dibully. Terus, dipenjara.

Yah, semua demi memuluskan kursi singgasana Petruk. Sayangnya, 'singgasana kebohongan' Petruk tidak langgeng. Sebab kini rakyat sudah mengendus aroma busuk Petruk. Baunya makin menyengat. Makin menjauh makin terasa aromanya. Pada akhirnya kelicikan dan tipu daya Petruk, berhasil dibongkar rakyatnya sendiri yang notabene saudaranya sendiri yakni Bagong.

Noviyanto Aj
i
Wapemred