Gedibal dan Mbegedhut

BAGONG hendak menyendiri. Pergi dia ke kebun. Di tengah jalan, dari kejauhan Bagong melihat seseorang berjalan terpincang-pincang. Ciri khasnya dia tahu. Itu Gareng. Disapa.

"Kang, Kang, Kang Gareng,” teriak Bagong.

Yang dipanggil celingukan. Menoleh ke kanan dan kiri. Mencari asal suara panggilan.

"Oh Cah Gembul toh,” serunya.

"Piye kabarmu, Kang. Isih urip toh,” Bagong mengawali pembicaraan.

"Lambemu,” sahut Gareng.

"Ayo duduk dulu, Kang. Aku pengin ngobrol soal Welgeduwelbeh,” ajak Bagong.

"Ada apa dengan dia?” Balas Gareng.

"Sumpek aku sama dia. Kudu ta gaprak ae,” jawabnya.

"Kamu mau main sepakbola sama Prabu Welgeduwelbeh, memangnya kamu bisa lari. Perutmu aja isinya lemari kulkas, kamu jalan aja kayak meri (anak bebek), megal megol,” timpal kakaknya.

"Lambemu, Reng. Aku serius cerita. Masa sampean tidak merasakan carut marut negara. Sejak negeri Lojitengara dipimpin Welgeduwelbeh, kabeh wong cilik podo ngedhumel. Sing sugih soyo penak, sing kere soyo ajur,” Bagong mengawali cerita.

Dengan gairah menggebu-gebu, Bagong mengatakan dirinya resah dengan sepak terjang abdi dalem Welgeduwelbeh dan para bani Togog. Mereka sumber malapetaka. Antar anak bangsa diadu domba.

"Welgeduwelbeh lama-lama kayak dewa. Dipuja-puja. Didewakan. Di mata mereka, yang salah itu benar. Apalagi ada Togog, paling jago menghasut rakyat. Lama-lama negara makin kacau,”

"Togog? serius, Gong. Lambemu ojo asal njeplak, nanti kena pasal karet pencemaran nama baik. Togog itu dewa,” kata Gareng.

"Dewa preet. Dewa tapi dapurane kayak teletong (kotoran sapi),” sergah Bagong.

"Kamu bisa dipenjara tanpa diadili kalau asal bicara. Prajurit jaman sekarang hatinya sudah mati. Tak bisa membedakan mana kritikan dan mana penghinaan. Apalagi panglima prajurit, semua opo jare, ABS (asal bapak senang),” Gareng menimpali.

"Lha sampean wis paham gitu.”

"Ga paham. Ta ralat wae, aku batal paham.”

"Dapuranmu, Reng. Koyok asu.”

"Yo wis lanjutkan!”

"Welgeduwelbeh ini bikin aturan seenaknya sendiri. Konglomerat yang menunggak pajak dikasih tax amnesty, rakyat yang menunggak iuran kesehatan malah diberi hukuman, logikanya dimana?”

"Tax amnesty itu bahasa apa?”

"Itu bahasa gedibal, Reng. Artinya pengampunan pajak. Biar gaul aja. Welgeduwelbeh kan nggak bisa bahasa gedibal. Sekarang bikin aturan sendiri kalau ketemu orang asing nggak perlu berbahasa gedibal.”

"Terus gawe bahasa opo?”

"Bahasa kewan!”

"Lanjut, Gong!”

"Ya bayangkan saja, Reng. Orang kaya yang nunggak pajak em-eman dan tril-trilan malah diampuni. Yang penjahat malah enak lagi, ada aturan baru penjahat yang di penjara bisa cuti, bisa jalan-jalan ke pasar.”  

"Itu dipenjara atau kerja di penjara, kok bisa cuti,” sahut Gareng.

"Apa nggak ngawur itu Welgeduwelbeh. Gobloknya turunan. Bapaknya goblok, saudaranya goblok (Bagong dan Gareng belum tahu, bahwa Prabu Welgeduwelbeh adalah saudaranya sendiri yakni Petruk). Sejak kapan penjahat yang dipenjara bisa cuti bersyarat. Aturan ini meringankan dan melonggarkan sanksi bagi narapidana dalam menjalankan masa tahanannya. Ini modusnya koruptor. Aturan ini pesanan koruptor, jelas itu!”

"Terus?”

"Ya terus rakyat jadi tumbal. Telat bayar iuran kesehatan, rakyat dihukum. Nggak bisa ngurus surat ijin berkuda (SIB), nggak bisa ngutang di bank tapi yang boleh ngutang negara, nggak bisa ngurus kartu penduduk. Jangan-jangan bayi yang baru lahir terus bapaknya nunggak iuran, nggak bisa ngurus akte kelahiran. Terus anaknya nggak diberi nama. Jadi anak ilegal,” Bagong terus ngerocos.

"Terus karepmu opo?” Tanya Gareng.

"Welgeduwelbeh ini juga membuat aturan untuk melemahkan kinerja Prajurit Pemberantasan Korupsi (PPK). Katanya mau berantas korupsi, tapi PPK malah dilemahkan. Aturan ini sepertinya juga pesanan dari koruptor, dari konglomerasi hitam, dari partai-partai mbegedhut. Mereka bikin aturan supaya uang negara bisa dikorup. Negara kalah dengan koruptor.”

"Terus karepmu opo, Tole?” Gareng bertanya lagi karena merasa pertanyaannya tidak digubris, tapi Bagong seperti tidak peduli. Dia terus saja ngerocos.

"Yang paling parah, sekarang ada aturan kalau ngenthu karo bojo dewe dipenjara. Terus yang kumpul kebo malah dihukum ringan. Yang gelandangan juga dihukum. Di negeri Lojitengara tidak boleh ada gelandangan, tapi negara justru membodohi rakyat.”

"Terus karepmu opo, Bagong, anake Semar sing elek dewe?” Tanya Gareng lagi, kali ini dengan nada keras dan mata melotot.

"Aku pengin demo, kang. Menyampaikan aspirasi seperti cah-cah mahasiswa itu lho,” sambut Bagong bersemangat.

"Dapuranmu koyok Togog gitu, siapa yang mau mendengar suaramu?”

"Ya harus didengar. Ini suara kebatinan rakyat!”

"Kalau tidak didengar bagaimana?”

"Ya demo lagi sampai didengar.”

"Yakin suaramu didengar. Kan Welgeduwelbeh dapurane koyok celeng. Bisanya main seruduk sana sini. Kalau kamu menghalangi jalannya (menyampaikan aspirasi) ya diseruduk,” kata Gareng.

"Ya ta lawan pakai senjata kudi. Sudah banyak pendekar dan prajurit sakti mandraguna yang kena senjataku ini,” Bagong dengan bangga menunjukkan senjata saktinya.  

"Dapuranmu koyok Semar. Kakean bacot. Cocotmu koyok cocotnya wakil rakyat. Mbegedhut pol. Wis aku ta pulang,” Gareng lantas beranjak dari tempat duduknya.

Kakinya terpincang-pincang. Tangannya ceko. Berjalan dia meninggalkan Bagong seorang diri yang masih menggerutu soal kondisi negara yang carut marut.

Noviyanto Aji
Wartawan