Glundung Semprong

RUMAH Ki Lurah Karang Kadembel mendapat kunjungan dari penggede Ngastina. Puluhan prajurit berjaga-jaga di depan. Mereka bersenjata lengkap. Siap tempur.

Saat itu Bagong baru pulang dari sawah. Melihat puluhan prajurit berjejer di depan rumah, sebelum masuk ia menghitung satu persatu jumlahnya.

"Siji, loro, telu, kalian mau apa ke sini. Pakai bawa senjata. Mau perang?” Tanya Bagong tidak disahuti para prajurit.

Tanpa menghiraukan prajurit, Bagong masuk rumah.

Di ruang tamu Bagong disambut suara yang tidak asing. Suaranya pelan, agak serak, berwibawa dan bijaksana.

"Gong, ini ada dayoh (tamu) priyagung dari kerajaan. Ayo haturkan sembah,” kata sosok itu tak lain Semar.

Diketahui tamu itu adalah Pandito Durna. Dia datang tidak sendiri. Bersamanya, ada satria-satria tangguh yang punya kedikdayaan.

"Dayoh apa, Mar, ini semua penyakit yang datang,” balas Bagong.

"Ucapanmu yang sopan, Tole. Ini priyagung lho,” sahut Semar.

"Emoh. Ora sudi!” Serunya.

"Kenapa Bagong? Kita datang dengan maksud baik,” Durna menyapa.

"Sampean itu begawan, gurunya para ksatria, gurunya Pandawa dan Kurawa, wong hebat, wong pinter, tapi sebenarnya goblok. Senangnya membuat geger. Yang tentram jadi geger, yang ayem jadi rame,” sahut Bagong.

"Husstt, Bagong ucapanmu jangan ngawur,” jawab Semar.

"Lho memang begitu, Romo. Negara kalau ada orang ini tidak tenang. Gara-gara dia negara jadi kacau. Rakyat diadu. Dibuat sikut-sikutan. Dia senangnya membeda-bedakan golongan wong urip,” Bagong mulai ngelunjak.  

"Maksudmu gimana, Gong?” Tanya Durna.

"Sampean-sampean ini penasehat raja. Gajinya selangit. Urip wis penak. Semua fasilitas dicukupi negara. Tapi tugasnya justru merusak pancaprasedya (lima kehendak). Buat simbol: saya pancaprasedya. Apa itu maksudnya?” Lanjut Bagong.

"Saya bikin itu agar rakyat semakin mencintai negaranya,” tutur Durna.

"Terus yang tidak mengucapkan: saya pancaprasedya, dianggap antipati kerajaan. Yang mengkritik raja karena kebijakannya tidak populis, dianggap radikal dan pemberontak. Semua orang harus patuh pada kerajaan, begitu maksudnya!”

Durna mati kutu di hadapan Bagong. Semar hanya mesam-mesem. Apa yang diucapkan anaknya tidak salah. Saat ini seisi negara dalam keadaan kacau. Para penyelenggara negara telah melupakan norma-norma. Aturan. Tatanan. Semua dirusak sendiri. Apalagi saat negeri Lojitengara dipimpin Prabu Welgeduwelbeh, makin kacau.

Bagong melanjutkan celotehannya, pancaprasedya sejatinya sudah menjadi segala sumber hukum negara. Tidak perlu diutak-atik lagi. Semua orang sejak lahir hingga mati di negeri ini, pada hakekatnya dalam diri mereka sudah menjiwai pancaprasedya. Tanpa diucapkan pun, rakyat selama ini sudah nguri-nguri pancaprasedya.

Dengan nguri-nguri pancaprasedya, rakyat sudah mendapatkan apa yang dicita-citakan. Negara bersifat panjang (terkenal), punjung (berwibawa), pasir (mempunyai samodra yang luas), wukir (berbukit dan bergunung-gunung), loh (subur tanahnya), jinawi (barang-barang murah), gemah (ramai), ripah (perdagangan lancar), karta (tentram), raharja (tidak punya musuh). Sehingga tercipta suatu keadaan negara atau kerajaan sesuai harapan rakyat.

"Tapi di tangan sampean-sampean, pancaprasedya malah rusak. Prinsip yang kamu pakai itu glundung semprong. Kayak banyu mili. Nggak berani melawan arus. Padahal jelas-jelas arus itu merusak sendi-sendi negara. Merusak tatanan. Kebenaran tidak kau bela, malah kau tutupi dengan kebatilan. Gara-gara begawan-begawan kayak dapuranmu ini, negara menjadi celaka. Sampean selalu membeda-bedakan golongan wong pangkat, golongan ulama, golongan umarah, golongan ksatria, golongan wong kadunyan (duniawi), dan golongan wong kere (miskin). Semua kau balut dalam pancaprasedya. Kok ngono urip sampean,” sebut Bagong.

"Bagong, ucapanmu sungguh tidak mengenakkan,” sahut Durna.

"Lho ya begitu, kalau tidak suka muliho. Musuh Bagong kamu malah celaka, anak turunmu celaka, satria-satriamu celaka, rajamu juga bakal celaka,” timpalnya.

"Kamu nantang, Gong!”

"Mbok anggep nantang yo monggo. Kamu kira saya takut. Kalau urip sampean seperti itu terus tidak akan dihargai orang. Sekarang saja Durna dihargai karena punya derajat dan pangkat. Tapi kalau sampean pensiun nanti, jangankan dihargai, sampean bakal dibandemi (dilempari batu) sama ‘cah-cah’. Dan sekarang sudah terjadi bukan,” ujar Bagong.  

Bagong menunjukkan pada Durna, bukti negara sudah kacau saat para penggede mendapat perlawanan dari rakyat. Para penyelenggara negara didemo ‘cah-cah’ yang masih sekolah. Kata Bagong, itu adalah aspirasi rakyat. Itu bukti negara tidak bisa menyayomi rakyat. Bukti negara tidak ada untuk rakyat.

"Yang demo hanya segelintir. Tidak mewakili rakyat. Ada juga rakyat yang mendukung kami,” sanggah Durna.  

"Lambemu disekolahno sik Durna, ojo asal mencotot. Opo cangkemmu ta ajar nang kene. Yang demo dukung kamu itu massa bayaranmu,” timpal Bagong.

Mendadak Durna beranjak dari tempat duduknya. Berdiri di depan Bagong. Dilihatnya dengan tatapan mata penuh amarah.

"Aku bisa membuat Karang Kadembel luluhlantak. Kekuatan dan kekuasanku tidak terbatas,” kata Durna sembali keluar dari rumah Ki Lurah Semar diiringi prajuritnya.

Sepeninggal Durna, Semar langsung menasehati Bagong.

"Bagong, ucapanmu membuat Durna marah. Dia sewaktu-waktu bisa menyerang desa ini bersama 100 Kurawa. Apa kamu siap meladeni mereka. Apa kamu mampu?”

"Durna bawa Kurawa, apa rumangsane aku wedi?”

"Kamu berani!”

"Lha itu ada Hanoman, buat apa dia diam saja. Dia munyuk (kera) dikdaya. Jangankan Kurawa, buto sewu dipateni kabeh. Negara Ngalengka saja dibakar sendirian,” tandas Bagong diamini Hanoman yang duduk di sebelah Semar.

Noviyanto Aji

Wartawan