Menanti Tampilnya Pemimpin Muda

DI TENGAH pekatnya dinamika politik nasional yang lebih banyak didominasi oleh para politisi lama, dengan paradigma lama dan juga perilaku politik yang lama pula, kadang saya bertanya, kapan saatnya para politisi muda potensial tampil menjadi pemimpin garda depan demokrasi di negeri ini?


Di tangan para politisi muda yang berpandangan terbuka, akan ada secercah harapan di mana demokrasi akan berjalan lebih sehat dan dinamis, lebih fokus pada isu-isu yang substantif, serta berpihak pada kebijakan publik yang bersih dan akuntabel.

Saat ini, ruang politik dan demokrasi cenderung disesaki oleh debat kusir yang tak tentu arah, asal hantam, asal menyalahkan dengan argumen yang tak kuat. Yang lebih fatal lagi, perilaku politik mereka cenderung permisif terhadap praktik-praktik korupsi dan lebih berani mengoyak sendi-sendi persatuan bangsa dengan cara mengeksploitasi politik identitas untuk kemenangan politik sesaat.

Tentu, tidak semua politisi senior seperti itu. Banyak di antara politisi senior yang memiliki jiwa kenegarawanan yang menyejukkan dan layak menjadi referensi bagi kehidupan berdemokrasi saat ini. Tetapi, tidak sedikit pula dari mereka yang cenderung konservatif dan terus mencoba mempertahankan status quo.

Tidak banyak pemimpin senior yang arif dan bijak untuk memberikan kesempatan regenerasi kepada yang lebih muda. Jika ada, dia adalah sedikit dari para pemimpin yang layak untuk diteladani.

Memang, keberadaan politisi senior dapat menjadi “jangkar politik” yang baik untuk menghindari adanya faksionalisme, friksi dan konflik politik di internal partai-partai politik. Tetapi, di sisi lain, dominasi senior juga bisa membuat proses kaderisasi mandeg dan kerja-kerja organisasi menjadi kurang produktif.

Akibat dari kemandegan seperti itu, para politisi muda di sejumlah partai politik cenderung terpaksa tunduk, mengadopsi dan bahkan belajar pada cara pandang dan perilaku politik para seniornya. Jika yang dicontoh paradigma yang positif, maka tentu patut diapresiasi.

Tapi jika watak politisi konservatif yang tidak baik, itu bisa menjadi sumber kemunduran demokrasi. Akibatnya, tercipta lingkaran tak berkesudahan yang membuat suasana demokrasi di negeri ini seolah tidak berubah, tak beranjak dari isu-isu identitas, politisasi agama, debat kusir yang jauh dari kebijakan-kebijakan publik.

Karena itu, diperlukan keberanian untuk membuka ruang kaderisasi untuk melakukan transformasi dan perubahan yang lebih baik, agar terbentuk mesin politik yang lebih efektif. Untuk itu, memberikan kesempatan pada pemimpin muda, merupakan investasi besar menuju kemenangan.

Yang muda, yang dipercaya

Saat ini, mayoritas partai politik kembali diisi oleh wajah-wajah lama di pucuk kepemimpinan mereka. Megawati kembali didapuk memimpin PDIP, Muhaimin Iskadar mempertahankan posisi Ketum PKB untuk kesekian kalinya, Surya Paloh juga kembali memegang komando Nasdem, Airlangga Hartarto juga melakukan hal sama di Partai Golkar untuk periode kedua.

Menghadapi suksesi kepemimpinan partai yang stagnan seperti itu, perilaku politik pemilih yang normal akan cenderung jenuh. Meskipun rasa jenuh itu bisa ditambal dengan cara-cara lain, baik dengan cara yang patut maupun yang tidak patut laiknya melalui money politics, tetapi pemilih akan cenderung mencari figur-figur baru yang lebih segar, dinamis dan visioner.

Itulah yang menjadi alasan mengapa Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) menang pada Pemilu 2004 dan 2009, atau Joko Widodo yang mampu memenangkan Pemilu 2014 dan 2019 menghadapi penantangnya Prabowo Subianto. Alasan paling sederhana yang patut diajukan adalah, karena SBY dan Jokowi saat itu lebih mampu merepresentasikan dirinya sebagai figur alternatif yang lebih fresh dan bisa dipercaya, sehingga lebih layak diberi kesempatan. Alhasil, rakyat telah membuktikan preferensi politik melalui hasil pemenang Pemilu 2004, 2009, 2014 dan 2019.

Inovasi Kepemimpinan Partai

Partai-partai politik nasional hendaknya belajar banyak dari dari rangkaian dinamika politik nasional tersebut. Saat ini, tersisa Partai Demokrat (PD), PAN dan PKS yang belum melaksanakan Kongres. Untuk itu, partai-partai tersebut perlu menjadikan hal ini sebagai bahan refleksi untuk menentukan strategi kepemimpinan dan pemenangan partai ke depan.

Dalam konteks ini, dinamika Partai Demokrat patut dicermati. Sebagai partai yang pernah menjadi partai penguasa pada 2004 dan 2009, kini PD tengah menghadapi tantangan dan dinamika perolehan suara. Saat Pemilu 2009, PD mendapatkan perolehan suara tertinggi sebesar 20,4 persen, yang notabene merupakan rekor tertinggi perolehan suara partai politik sejak era reformasi, yang belum terpecahkan hingga Pemilu 2019 lalu.

Saat ini, PD hanya mengantongi 7,7 persen suara atau 9,7 persen jumlah kursi di parlemen nasional. Tren penurunan itu tak lain akibat ketiadaan figur sentral dalam konstalasi kepemimpinan nasional (Pilpres) pasca turunnya Presiden SBY dari pucuk pemerintahan negara. Akibatnya, tidak ada coat-tail effects yang berimplikasi positif terhadap kenaikan perolehan suara partai.

Untuk itu, PD perlu melakukan inovasi kepemimpinan partai. Ketua Umum DPP DP Susilo Bambang Yudhoyono tentu akan menimbang secara matang dalam menentukan langkah dan strategi, guna menjawab tantangan transformasi PD ke depan. Memberikan kesempatan kepada nahkoda baru, dengan tetap mendapatkan mentorship dari para seniornya, akan menjanjikan hadirnya mesin politik yang jauh lebih segar, gesit dan efektif untuk memenangkan kompetisi-kompotisi politik mendatang.

Tentu banyak pilihan kader muda berkualitas, termasuk Agus Harimurti Yudhoyono (AHY) yang selama ini selalu bertengger di jajaran atas survei-survei kepemimpinan nasional. Keberadaan AHY berpotensi menjadi penerus ide-de demokrasi, gagasan kebangsaan dan model kepemimpinan yang moderat dan mengayomi, tidak memecah belah, sebagaimana yang selama ini dipraktikkan oleh SBY.

Strategi serupa juga patut dipertimbangkan oleh PAN dan PKS. Tetapi, kedua partai tersebut cenderung tidak ditentukan oleh figure, karena keduanya memang bukan ‘partai tokoh’.

Melainkan partai tradisional berbasis umat Islam, dengan segmen jamaah Muhammadiyah dan komunitas Tarbiyah. Tetapi, jika keduanya juga berani mengambil langkah serupa, setidaknya konstalasi politik dan demokrasi Indonesia ke depan akan jauh lebih segar dan berkualitas.

Bambang ‘Ibeng’ Sugiarto

Penulis adalah pemerhati Masalah Sosial-Politik Nasional, tinggal di Bandung