Catatan Himpuni Soal Omnibus Law

Diskusi seri ketiga RUU Omnibus Law oleh Himpuni (Perhimpunan Alumni Perguruan Tinggi Negeri Indonesia) kembali digelar.


Pembicara yang dihadirkan yaitu Prof. Dr. Muhammad Firdaus, S.P., M.S,i (Guru Besar FE & Manajemen IPB), Prof. Dr. Dedi Purwana, E.S.., M.Bus (Guru Besar Fakultas Ekonomi UNJ), Dr. Handito Joewono (Arrbey Chief Strategy Consultant, Ketua Komite Tetap Bidang Ekspor KADIN), Dr. Dewi Motik Pramono, M.Si. (Pengusaha, Penulis, Pengajar, Dosen, Motivator) dan dimoderatori oleh Dr. Dirgantara Wicaksono, S.Pd., M.Pd., M.M. (Owner Backpaker Teacher, Dosen, Pengamat Pendidikan).

Bertempat di Ruang Rapat Lantai 5 Gedung PBNU, Jakarta Pusat, tema yang digagas Pemberdayaan dan Perlindungan UMKM.

Dalam paparannya, Prof. Dedi memandang perlu adanya Omnibus Law untuk perlindungan UMKM. Pasalnya, selama ini dia memandang isu mengenai UMKM hanya digelontorkan menjelang Pilpres. Artinya, ini merupakan komitmen pemerintah untuk membuat UMKM menjadi naik kelas.

“Melihat orientasi pemerintah, pemberdayaan UMKM ini penting. Nyatanya UMKM itu sejak krisis moneter itu bisa bertahan dengan baik daripada yang skala besar,” ujarnya dalam keterangan tertulis yang diterima Kantor Berita RMOLJatim, Rabu (19/2).

Menurutnya, UMKM merupakan solusi untuk menghadapi bonus demografi di masa depan. Yang perlu dikawal, kata dia, adalah kemampuan UMKM untuk memanfaatkan payung hukum ini.

Sayangnya, setelah menelaah beberapa pasal, dia tidak menemukan keterlibatan perguruan tinggi dalam RUU Omnibus Law di bidang UMKM ini. Padahal, kebijakan Menteri Pendidikan yang baru mensyaratkan adanya pemagangan pada sebagian semester kuliah.

“Kalau mengandalkan usaha besar, tidak cukup. Kami berharap mahasiswa-mahasiswa kami bisa kami cemplungkan di UMKM untuk kuliah praktik. Supaya bisa mengakomodasi tujuan kampus merdeka,” ujarnya.

Perlunya Omnibus Law untuk UMKM juga diamini Dr. Handito. Sebagai pihak yang terlibat dalam perumusan, dia menepis anggapan bahwa RUU yang tengah dirancang merupakan titipan dari oknum pengusaha.

“Minimal kita tanya ke pelaku usaha, yang menghambat itu apa, lalu kita kasih ke pemerintah dan diolah di DPR. RUU ini dalam rangka mempermudah berusaha. Peraturan-peraturan yang susah dibuang, arahnya ke sana,” ujarnya.

Dia bercerita, banyak peraturan yang memang menghambat, khususnya untuk para pelaku UMKM. Beberapa waktu lalu, ada kasus produk UMKM di salah satu daerah yang nyaris gagal ekspor. Sebab tidak mengantongi surat izin sebagaimana persyaratan undang-undang yang berlaku.

“Ada salah satu produk kopi dalam kumpulan produk satu kontainer. Kopi senilai 5 jutaan itu musti mengantongi ijin dari Kementerian Pertanian. Lalu ada produk lagi kerajinan yang musti dapat ijin dari kementerian terkait. Begitu masuk Omnibus Law, aturan ini kami hapus. Ini untuk mendorong UMKM supaya mampu bersaing,” paparnya.

Pendapat lain datang dari Dr. Motik. Menurutnya, dalam ikhtiar untuk memajukan UMKM, yang diperlukan hanyalah kemudahan, pemberdayaan dan kesempatan. Dia pun membabar pengalamannya selama mendampingi pelaku UMKM di beberapa daerah.

“Nggak usah pakai kata-kata perlindungan. Franchise, tahu gejrot, 1,5 udah dapet gerobak. Udah mereka jalan bisa jualan. Beri mereka kesempatan,” jelasnya.

Dia juga menyoroti mahalnya bunga pinjaman dari bank. Bagi Dr. Motik, bunga senilai 0,5 dirasa berat. Belum lagi pajak yang musti ditanggung pelaku UMKM.

“Karena untuk pengusaha kecil asal bisa dagang bisa makan, kalau terikat pajak-pajak jadi berat. Maka berilah kesempatan. Misalkan ada pameran, harganya jangan mahal-mahal,” tandasnya.

Dr. Motik menyarankan agar bank UMKM tidak hanya menjadi simbol, namun proaktif melihat perkembangan di lapangan.

Sementara itu, Prof. Firdaus memberikan beberapa catatan terkait Omnibus Law UMKM ini. Antara lain yaitu soal pasal-pasal yang menyinggung tentang kemudahan perizinan berusaha.

Pemerintah Pusat memberikan nomor induk berusaha secara elektronik, yang merupakan perizinan tunggal. Untuk usaha yang berisiko tinggi, usaha mikro dan kecil wajib memiliki sertifikasi standar dan atau izin.

Menurutnya, rancangan ini merupakan hal yang baik dalam kaitan izin tunggal, namun untuk usaha yang berisiko tinggi terhadap kesehatan, keselamatan dan lingkungan masih belum jelas maksud dan atau izin.

Selain itu, usaha mikro diberikan kemudahan administrasi perpajakan. Kegiatan usaha mikro dan kecil dapat dijadikan jaminan kredit program. Ada kemudahan pengurusan HAKI, impor bahan baku dan fasilitasi ekspor.

“Namun belum diatur secara tegas mengenai perbedaan perpajakn antara usaha kecil dan menengah (hanya mikro). Selama ini kebijakan kemudahan impor bahan baku seperti KITE IKM belum berjalan efektif, karena sosialisasi yang belum masif,” jelasnya.