Indonesia di Antara Status Negara Maju dan Berkembang

ADA rasa campur aduk antara harus senang atau sedih menyusul kabar dicoretnya Indonesia dari daftar negara berkembang. RI dikeluarkan dari daftar negara berkembang di Organisasi Perdagangan Dunia (WTO).


Selain Indonesia, China dan India juga dicoret dari daftar tersebut. Menurut Trump, negara dengan ekonomi besar seperti China dan India tidak layak menyandang status sebagai negara berkembang yang memperoleh pemotongan bea masuk dan bantuan lainnya dalam aktivitas ekspor dan impor.

Berubahnya status negara berkembang ke negara maju memiliki konsekuensi ekonomi yang cukup signifikan. Pertama, pencabutan status negara berkembang berpotensi menghilangkan fasilitas Official Develompment Assistance (ODA). Fasilitas tersebut merupakan alternatif pembiayaan dari pihak eksternal untuk melaksanakan pembangunan sosial dan ekonomi.

Melalui ODA, negara-negara berkembang tidak hanya mendapatkan pendanaan dari pihak eksternal. Namun, mereka juga berpotensi mendapatkan bunga pinjaman yang rendah. (cnnindonesia.com, 24/2/2020).

Kedua, potensi kehilangan fasilitas pengurangan bea masuk Generalized System of Preferences (GSP). GSP atau fasilitas pengurangan insentif tarif preferensial umum atau Generalized System of Preferences (GSP). GSP adalah fasilitas bea masuk impor terhadap produk ekspor negara penerima yang diberikan oleh negara maju demi membantu ekonomi negara berkembang. (cnnindonesia.com, 24/2/2020).

Banyak pengamat dan ekonom menilai bahwa pencoretan Indonesia dari daftar negara berkembang tidak tepat. Sebab, Indonesia sebenarnya belum memenuhi kelayakan sebagai negara maju.

Ekonom Universitas Indonesia Fithra Faisal Hastiadi menyebutkan, ada beberapa ketentuan untuk mengklasifikasikan sebuah negara menjadi negara maju. Di antaranya adalah sektor industrinya harus mampu berkontribusi sedikitnya 30 persen terhadap Produk Domestik Bruto (PDB). Dilihat dari ukurannya, Indonesia belum memenuhinya.

Lalu, pendapatan per kapita negara maju harus di atas 12 ribu dolar AS per tahun. Sementara Indonesia baru mencapai 4.000 dolar AS per tahun. Faktor berikutnya adalah mengenai Indeks Pembangunan Manusia (IPM) atau HDI juga turut menjadi tolak ukur sebuah negara maju. Semakin tinggi IPM, semakin tinggi kemakmuran rakyat negara tersebut.

Pengklasifikasian antara negara maju dan berkembang sebenarnya sudah berjalan cukup lama. Bahkan hal itu diajarkan dalam pelajaran geografi di tingkat SMA. Perbedaannya sangat mencolok, di antaranya negara maju memiliki tingkat pertumbuhan penduduk yang rendah, pendapatan perkapita tinggi, kesempatan kerja memadai, mata pencaharian mayoritas di bidang industri, tingkat pendidikan tinggi, kesehatan tinggi, dan teknologi lebih maju. Sementara negara berkembang justru kebalikannya.

Ada beberapa hal yang patuut dikritisi dari pencoretan Indonesia dari negara berkembang:

Pertama, unsur politis. Keputusan Trump mencoret Indonesia dari daftar negara berkembang lebih bermakna politis ketimbang teknis. Pasalnya, Indonesia belakangan lebih terlihat mesra dengan pesaing abadi AS, yaitu China. Sebagai negara yang memiliki hak istimewa dalam lembaga internasional semacam WTO, tampaknya AS masih ingin terlihat sebagai negara yang masih memiliki taring di pentas dunia.

Menurut ekonom Indef, Bhima Yudhistira, langkah Donald Trump mencoret Indonesia dari daftar negara berkembang sebagai tipu muslihat menekan defisit neraca perdagangan AS dengan Indonesia.

Kedua, unsur kerugian ekonomi. Pergeseran status negara berkembang akan berpengaruh pada kebijakan pinjaman luar negeri yang selama ini kerap dilakukan Indonesia. Bunga utang bisa bertambah. Pengurangan bea masuk ekspor yang selama ini dinikmati negara berkembang otomatis akan hilang.

Jika fasilitas ini hilang, bea ekspor Indonesia ke AS atau negara maju lainnya tarifnya bisa tinggi. Hal ini tentu memberatkan negara berkembang yang selama ini terbantukan dengan fasilitas ini.

Ketiga, negara maju dan berkembang tidak lebih sekadar permainan idelogi kapitalisme. Pembagian kategori istilah itu hanyalah untuk mempermudah pemetaan untuk mengeksploitasi negara yang mereka kategorikan sebagai negara berkembang.

Sederhananya, negara berkembang menggantungkan dirinya kepada negara maju. Di antaranya adalah mengikat negara berkembang dengan perjanjian internasional dan pinjaman berupa utang luar negeri dan investasi. Begitulah konsep negara kapitalis memainkan posisi.

Keempat, efek perang dagang AS-China. Jika ditelusuri kembali, negara-negara yang dicabut statusnya sebagai negara berkembang memiliki kerja sama yang sangat dekat dengan China, pesaing AS. Sebutlah India, Argentina, Afrika Selatan, Brasil, dan Indonesia. Diakui atau tidak, keputusan Trump tidak lepas dari pengaruh perang dagang AS dan China. Kalau tidak AS, ya China. Kalau bukan China, ya AS. Saat ini, digdaya kedua negara tersebut belum ada yang menandingi.

Kelima, Indonesia sejatinya belum layak menjadi negara maju. Ekonominya belum mandiri, rakyatnya belum sejahtera, dan ekspor impornya masih bergantung pada negara lain. Maju dari sisi apa? Mungkin lebih tepatnya dari sisi bunga dan pinjaman luar negerinya. Hingga November 2019, utang luar negeri Indonesia sudah naik sebesar 8,3 persen dibanding periode 2018 yaitu sekitar Rp 5.614 triliun. Dalam pandangan IMF, Indonesia masih sebagai negara berkembang.

Jadi, jangan senang dulu Indonesia disebut Trump sebagai negara maju. Karena sejatinya itu hanyalah akal bulus AS untuk menekan dan menyelamatkan ekonomi negaranya. Selain itu, Indonesia juga patut waspada. Dengan pencoretan itu dari WTO bisa berdampak luas bagi perekonomian Indonesia.

Tarif ekspor mahal, Indonesia bisa kesulitan memasok barang ekspornya ke AS atau lainnya. Perlakuan yang tak lagi istimewa karena diperlakukan sebagai negara maju. Sementara stabilitas ekonomi di dalam negeri sendiri mengalami kembang kempis. Bukankah itu berefek pada roda perekonomian negara?

China pernah didepak dari daftar negara berkembang tapi mereka mampu bangkit hingga menjadi pesaing berat bagi AS. Sedangkan Indonesia, bisakah berdiri tegak seperti halnya China? Sementara kita justru bergantung pada investasi dan utang luar negeri dari negara lain. Bukan pesimis, tapi mencoba realistis.

Mau kriteria maju atau berkembang, selama itu datang dari negara-negara kapital, aturan politik dan ekonomi tetaplah didominasi negara pengemban kapitalisme. Negara yang mereka sebut berkembang atau dunia ketiga sejatinya adalah negara yang banyak dieksploitasi kekayaan alamnya. Atas nama kerja sama bilateral atau internasional, investasi, dan utang.

Tujuannya tak lain adalah untuk menancapkan hegemoni kapitalisme di atas dunia ketiga, utamanya negeri-negeri Islam.

Chusnatul Jannah

Lingkar Studi Perempuan dan Peradaban