Kebijakan Importir Wajib Tanam Bawang Putih Tidak Efektif

Politisi Partai Kebangkitan Bangsa Luluk Nur Hamidah menyoroti sejumlah hal terutama yang berkenaan dengan


Kebijakan impor bawang putih beserta kebijakan wajib tanam bawang sebanyak 5 persen dari total impor yang diajukan dinilai tidak efektif.

Hal itu disampaikan politisi Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) Luluk Nur Hamidah usai melakukan kunjungan kerja pada 29 Februari 2020 oleh Komisi IV DPR RI di Temanggung.

Menurutnya, salah satu syarat Rekomendasi Impor Produk Hortikultura (RIPH) sebagaimana termaktub dalam Permentan 39/2019 yaitu pelaku usaha yang melakukan impor produk hortikultura strategis seperti bawang putih, wajib melakukan pengembangan komoditas bawang putih.

Nah, kewajiban pengembangan bawang putih harus menghasilkan paling sedikit 5 persen dari volume impor dan luas tanam berdasar produktivitas rata-rata 6 ton/hektar.

Karena itu, kata Luluk, kebijakan ini tidak efektif bahkan tidak berhasil sebab faktanya importir tidak memenuhi jumlah 5 persen dari kewajibannya. Bahkan sejumlah petani bawang putih yang tergabung dalam Forum Masyarakat Petani Indonesia (Fortani) menilai kewajiban importir itu hanya merupakan formalitas.

Luluk meminta kebijakan ini harus diubah jika tidak efektif dalam pelaksanaannya.

Politisi yang akrab disapa Mbak Luluk ini berpendapat bahwa kebijakan wajib tanam bisa diganti dengan alternatif menyediakan anggaran kewajiban perusahaan dengan menyerahkan urusan menanam diserahkan ke petani.

“Petani lebih tahu kondisi lahan pertaniannya dibanding importir. Jadi kewajiban menanam bawang putih oleh importir dapat dikonversi menjadi anggaran yang wajib disetorkan importir yang bisa dikelola Kementan dan disalurkan kepada petani bawang putih dalam bentuk pembagian benih bawang putih,” demikian kata Luluk seperti dimuat Kantor Berita Politik RMOL, Senin malam (2/3).

Temuan dari Kunjungan Kerja Spesifik Komisi IV DPR RI bahwa Petani Bawang Putih di Temanggung ternyata bisa menghasilkan 25 persen kebutuhan nasional, sehingga sisa kebutuhan nasional yang 75 persen harusnya bisa dicukupi dari daerah lain.

Adapun lahan yang cocok untuk menanam bawang putih adalah di daerah dataran tinggi yaitu sekitar 800-1.000 Mdpl.

“Indonesia punya banyak daerah bergunung dan dataran tinggi, masak gak ada kawasan yang cocok untuk mengembangkan tanaman Bawang Putih? Kawasan Gunung Bromo, Gunung Lawu dan Merbabu, Sembalun Rinjani serta kawasan Pegunungan lain pasti banyak yang memenuhi syarat untuk menjadi kawasan penghasil bawang putih.Hanya tinggal kemauan politik dari pemerintah saja yang dapat menghentikan ketergantungan impor yang sedemikian tunggi," sergah Luluk.

Luluk juga menemukan kondisi kontradiktif antara data pemerintah dengan kondisi di lapangan. Pemerintah menyatakan bahwa kemampuan produksi nasional Bawang putih hanya sekitar 5 persen sehingga kekurangannya harus impor.

Dengan data seperti ini maka bawang putih menjadi surga bagi para importir, Dan sebaliknya melemahkan posisi petani rakyat.

"Kebijakan impor yang gila-gilaan seperti ini, mulai bawang putih bahkan sampai benihnya dapat membuat varietas bawang putih lokal punah," pungkas Luluk.