Ketika Tumpang Pitu Jadi Pertaruhan

Gunung Tumpang Pitu sejak lama mirip gadis cantik di tengah kerumunan jejaka. Di hutan jati ini perusahaan-perusahaan emas raksasa mengadu peruntungan. Bahkan, ribuan penambang liar bekerja berkelompok. Mereka terdiri dari 5-10 orang.


Lubang-lubang digali. Sebagian penambang datang dari berbagai daerah. Perebutan emas makin seru. Para penambang liar kian bersemangat. Perusahaan besar juga.

Namun kegiatan tambang ini justru dianggap merusak lingkungan. Pada tanggal 22 Agustus 2016, lima organisasi sempat membuat petisi.

Petisi tersebut ditujukan kepada Presiden Joko Widodo dan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan untuk menutup tambang emas di hutan lindung Tumpang Pitu yang berada di 5 desa, yakni Sumberagung, Pesanggaran, Sumbermulyo, Kandangan, dan Sarongan.

Sebanyak 200 orang tandatangan. Di antaranya gabungan Banyuwangi Forum ForEnvironmental Learning (BaFFEL), Front Nahdliyin untuk Kedaulatan Sumber Daya Alam (FNKSDA), Pusat Studi Hukum HAM Fakuktas Hukum Unair, Forum Komunikasi Kader Konservasi Indonesia (FK3I) Korda Jawa Timur, dan Jaringan Advokasi Tambang (Jatam).

Pada petisi itu dijelaskan bahwa gunung Tumpang Pitu adalah hutan yang sekaligus masuk kategori kawasan rawan bencana. Pasalnya, pada 3 Juni 1994, kawasan Tumpang Pitu dan sekitarnya pernah diterjang tsunami yang mengakibatkan banyak korban meninggal dunia.

"Gunung Tumpang Pitu juga memiliki nilai penting bagi masyarakat karena berfungsi sebagai benteng alami dari terjangan tsunami. Sebagai benteng alami dari terjangan tsunami dan daya rusak musim angin barat, tentulah keberadaan Gunung Tumpang Pitu memiliki korelasi dengan aspek keselamatan warga. Salus Populi Suprema Lex (keselamatan warga adalah hukum tertinggi)," tulis petisi tersebut.

Ya, gunung Tumpang Pitu bagi warga Banyuwangi adalah benteng alami, terutama bagi perkampungan komunitas nelayan yang tinggal di pesisir teluk Pancer. Gunung ini menjaga ancaman angin Tenggara yang terkenal ganas pada musim-musim tertentu.

Karena itu pada Februari 2020 lalu, Puluhan warga Desa Sumberagung, Kecamatan Pesanggran Banyuwangi nekat ngonthel atau bersepeda angin bersama dari Banyuwangi ke Surabaya hanya untuk bertemu Gubernur Jawa Timur, Khofifah Indar Parawansa.

Mereka berdemo di depan kantor gubernuran dan menyampaikan penolakan atas rencana eksplorasi tambang emas yang dilakukan PT Bumi Suksesindo (BSI) dan PT Damai Suksesindo (DSI), anak perusahaan Merdeka Cooper Gold, di desa mereka.

“Kami ingin bertemu bu Khofifah terkait masalah eksplorasi yang akan dilakukan PT BSI dan PT DSI dimana tujuannya adalah ke Gunung Salakan, Lompongan dan Genderuwo dan sekitarnya,” ujar Usman, perwakilan warga Sumberagung.

Aksi lanjutan warga Tumpang Pitu digelar dengan mogok makan/RMOLJatim

Dia menyebut, gunung Tumpang Pitu berfungsi sebagai pusat mata air yang mampu mencukupi kebutuhan pertanian dan konsumsi rumah tangga. Di sanalah sebagian besar penduduk, khususnya kaum perempuan, mencari beberapa tanaman obat-obatan secara turun temurun.

Namun sejak masuknya PT BSI dan PT DSI di Desa Sumberagung, berbagai masalah sosial-ekologis dan keselamatan ruang hidup masyarakat meningkat.

Salah satunya adalah bencana lumpur yang terjadi pada Agustus 2016 silam. Selain telah merusak sebagian besar kawasan pertanian warga, bencana lumpur tersebut juga membuat kawasan pesisir pantai Pulau Merah (Desa Sumberagung) dan sekitarnya berada dalam kondisi yang sangat mengenaskan.

Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Jatim mencatat, dalam kerusakan akibat tambang ditemukan sejumlah fakta bahwa beberapa jenis kerang, ikan dan beberapa biota laut lainnya mulai menghilang dari pesisir Desa Sumberagung dan sekitarnya.

Sejumlah kelompok binatang seperti monyet dan kijang juga mulai turun memasuki lahan pertanian warga karena rusaknya habitat mereka. Dan beberapa sumur milik warga mulai mengalami kekeringan, diduga karena penurunan kualitas lingkungan.

Hal ini belum ditambahkan dengan sejumlah peningkatan pencemaran dan polusi tanah, udara, suara yang juga cukup signifikan. Sementara itu, pada 10 Februari 2020, ditemukan dua bangkai penyu yang terdampar di pesisir Pantai Pulau Merah dan diduga disebabkan oleh aktivitas pertambangan di Gunung Tumpang Pitu. Berdasarkan keadaan-keadaan tersebut, PT BSI diduga melanggar UU 32/2009 pasal 69 ayat 1 huruf (a) yang melarang “setiap perbuatan yang mengakibatkan pencemaran dan/atau perusakan lingkungan hidup.”

Memang tidak banyak yang tahu, bahwa aktivitas penambangan tersebut akan membuat hutan Tumpang Pitu rusak. Tidak hanya itu, keselamatan penduduk di Jawa pun terancam. Jawa bisa kolaps.

Sebelumnya pada tahun 2006, Forest Watch Indonesia (FWI) mengungkapkan hutan di Jawa tinggal 11 persen. Dengan alih fungsi kawasan hutan Tumpang Pitu telah menjadi areal tambang.

Padahal gunung Tumpang Pitu adalah hutan yang mungkin adalah salah satu hutan yang tersisa di Pulau Jawa.

Ya, pasca beroperasinya penambangan emasrelasi antara warga dan bukit Tumpang Pitu menjadi terputus. Apalagi sejak ditetapkannya kawasan pertambangan Tumpang Pitu menjadi Objek Vital Nasional pada 2016 melalui SK Menteri Nomor: 631 K/30/MEM/2016.

Pemerintah sendiri juga mengalihfungsi hutan lindung gunung Tumpang Pitu dan sekaligus mengizinkan penambangan di area tersebut. Padahal Undang-Undang no. 41 tahun 1999 tentang Kehutanan secara jelas melarang kegiatan open pit mining (penambangan terbuka) di hutan lindung, termasuk tentu saja hutan lindung di Tumpang Pitu. Tapi larangan itu nampaknya tidak menyurutkan segelintir pemilik modal untuk menambang di kawasan lindung Tumpang Pitu.

Caranya, status Hutan Lindung Gunung Tumpang Pitu (HLGTP) diturunkan menjadi hutan produksi. Melalui surat keputusan Nomor SK. 826/Menhut --II/2013 Menteri Kehutanan, pemerintah menurunkan status Hutan Lindung G. Tumpang Pitu menjadi hutan produksi atau penambangan.  Luas hutan lindung yang diturunkan statusnya tidak tanggung-tanggung yakni seluas 1.942 hektar.

Selalu konflik

Kegiatan eksplorasi emas di Banyuwangi selalu menimbulkan konflik. Itulah alasan Walhi Jatim mendorong gubernur mencabut Izin Usaha Pertambangan status Operasi Produksi (IUP-OP) PT BSI dan status Eksplorasi (IUP Eksplorasi) PT DSI.

“Kami dari Walhi Jatim dan LBH Surabaya sudah menyampaikan beberapa regulasi atau aturan yang kami rasa telah dilanggar dalam aktivitas pertambangan ini, dan karenanya kita terus mendorong gubernur untuk melakukan review terhadap izinnya dan kalau ditemukan unsur pelanggaran ya bisa dilakukan pencabutan,” kata Direktur Walhi Jatim, Rere Christianto saat mendamping warga Desa Sumberagung menemui Gubernur Jatim.

Sementara usai pertemuan ini dan bila dalam jangka waktu yang terlalu lama tidak ada kemajuan maupun progres, warga akan kembali melakukan.

“Bila tidak ada respon, tentu saja kami akan melakukan aksi lagi menuntut gubernur segera bertindak, karena sudah cukup banyak dampak yang dirasakan oleh warga. Hari ini, mereka (warga Tumpang Pitu) balik dan akan menunggu respon gubernur,” jelasnya.

Dalam draft tuntutan warga yang diterima Kantor Berita RMOLJatim tertulis beberapa pelanggaran yang dilakukan PT BSI dan PT DSI.

Disebutkan PT BSI dan PT DSI selama ini diduga telah melanggar Perda No.1 Tahun 2018. Dalam aturan disebutkan alokasi ruang untuk pemanfaatan wilayah pesisir Kabupaten Banyuwangi, terutama Kecamatan Pesanggaran, tidak dialokasikan untuk zona pertambangan, tetapi untuk zona pelabuhan perikanan, zona pariwisata dan zona migrasi biota.  

Warga juga menduga, keberadaan PT BSI dan DSI di wilayah tersebut juga melanggar Pasal 40 ayat (3) UU No. 24 Tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana.

Bunyinya: “Setiap kegiatan pembangunan yang mempunyai risiko tinggi yang menimbulkan bencana dilengkapi dengan analisis risiko bencana sebagai bagian dari usaha penanggulangan bencana sesuai dengan kewenangannya.”

Sementara dalam penjelasan lain disebutkan, yang dimaksud dengan kegiatan pembangunan yang mempunyai risiko tinggi menimbulkan bencana adalah kegiatan pembangunan yang memungkinkan terjadinya bencana, antara lain pengeboran minyak bumi, pembuatan senjata nuklir, pembuangan limbah, eksplorasi tambang, dan pembabatan hutan.

Meski aktivitas pertambangan yang dilakukan PT BSI dan DSI telah melalui proses studi AMDAL, namun warga menilai tidak memiliki analisis risiko bencana.

Dalam Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan (Permen KP) Nomor 23 Tahun 2016 tentang Perencanaan Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil, Pasal 18 ayat (1) disebutkan: “Wilayah perencanaan RZWP-3-K meliputi: a. Kearah darat mencakup wilayah administrasi kecamatan; …” dan Kecamatan Pesanggaran sendiri terletak di ujung selatan Kabupaten Banyuwangi, sehingga wilayah tersebut mesti mematuhi Peraturan Daerah (Perda) No. 1 Tahun 2018 tentang Rencana Zonasi Wilayah Pesisir dan Pulau Pulau Kecil (RZWP-3-K) Jawa Timur.

Atas dasar inilah, warga Tumpang Pitu mendesak pencabutan izin usaha pertambangan karena sudah sesuai dengan Pasal 119 yang mengatakan: “IUP atau IUPK dapat dicabut oleh Menteri, gubernur, atau bupati/walikota sesuai dengan kewenangannya apabila: pemegang IUP atau IUPK tidak memenuhi kewajiban yang ditetapkan dalam IUP atau IUPK serta peraturan perundang-undangan.”

Sementara Kepala Dinas Energi Sumber Daya Mineral Provinsi Jawa Timur (ESDM Jatim), Setiajit, menyatakan akan menugaskan inspektur tambang untuk melakukan evaluasi tambang emas Tumpang Pitu PT BSI.

“Aksi ini kan ada dua, pertama mereka yang merasa dirugikan dan kedua adalah warga yang mendukung. Karena itu, kami akan menindaklanjuti menugaskan inspektur tambang dengan tim pengawas pertambangan Jatim untuk melihat apakah yang disampaikan oleh mereka itu benar,” kata Setiajit.

Kepala ESDM Jatim, Setiajit/RMOLJatim

Evaluasi yang akan dilakukan di antaranya benar atau tidak adanya kerusakan lingkungan, kemudian apakah ada permukiman yang kena titik koordinat yang itu akan dilakukan pengembangan ekplorasi.

“Dan seperti yang dimaksud mereka dengan adanya PT BSI ini kemudian sekarang tidak ada air. Saya kira juga tidak semuanya seperti itu dan oleh karena itu kami Dinasa ESDM Jatim bersama dengan inspektur tambang akan melakukan evaluasi dan sekaligus juga di PT BSI,” urainya.

Sementara terkait dengan tuntutan pencabutan IUP, dia menyatakan, mungkin tidak dilakukan, kecuali dari hasil evaluasi ditemukan adanya pelangaran seperti permukiman yang dilanggar atau kerusakan lingkungan

“Kalau ditutupnya, saya kira kalau berdasarkan UU No 4 tahun 2009 pasal 151 bahwa mereka diberikan sanksi administrasi itu jika terjadi berbagai pelanggaran. Ada pelanggaran pasal 40, 41,70, 71 bahkan ada juga pelanggaran pasal 128 terhadap UU No 4 Tahun 2009,” ungkapnya.

Sementara aksi warga di Banyuwangi yang menuntut dicabutnya ijin tambang tidak pernah surut.

Sudah beberapa kali masyarakat Banyuwangi dari berbagai elemen menggelar aksi demo menutut pencabutan izin tambang emas.

Direktur Pusat Studi dan Advokasi Hak Normatif Pekerja (PUSAKA), Muhammad Helmi Rosadi  menjelaskan, akibat masalah Tumpang Pitu, warga Banyuwangi terbelah. Muncul kelompok pro investasi dan kelompok yang menolak.

“Ijin pertambangan di Sumberagung Tumpang Pitu telah menimbulkan gaduh,” kata Helmi.

Tidak hanya itu, beberapa kali warga dan elemen masyarakat Banyuwangi juga melakukan penghadangan jalan masuk menuju lokasi tambang Tumpang Pitu.

Pantauan Kantor Berita RMOLJatim, pada Sabtu (7/3/2020) hingga Minggu (8/3/2020) lalu, masyarakat yang tergabung dalam Gerakan Masyarakat Bawah Indonesia (GMBI) menggelar aksi penghadangan di pertambangan Tumpang Pitu.

Laporan yang diterima redaksi, GMBI melakukan penghadangan jalan menuju ke PT BSI dan PT DSI dimulai dari pukul 22.00 WIB hingga pukul 13.00 WIB. Aksi simpati elemen masyarakat ini sempat ricuh. Pasalnya sopir truk yang menuju wilayah pertambangan tidak terima dengan aksi tersebut.

Aksi penghadangan jalan di pertambangan Tumpang Pitu/RMOLJatim

Holili Abdul Ghani, aktivis senior asal Banyuwangi mengatakan persoalan Tumpang Pitu akibat dari tidak becusnya kebijakan yang dikelola pemimpin. Sehingga menimbulkan konflik berkepanjangan di masyarakat.

“Tumpang Pitu dari alih fungsi hutan lindung menjadi produktif sudah menjadi kepentingan kapitalis. Peristiwa yang membuat masyarakat ketakutan dan mengancam keselamatan jiwa warga sekitar tambang dan bahkan aktivis penolak tambang, bukanlah ciri negara demokrasi, bukanlah ciri negara hukum,” terang Holili kepada Kantor Berita RMOLJatim, Selasa (10/3).

Holili menambahkan kebebasan dan hak masyarakat dilindungi oleh negara. Ketika hak-hak rakyat sudah dikebiri, bahkan perlindungan terhadap rakyat sudah tidak ada, maka ini sudah keluar dari tujuan utama dari kemerdekaan.

“Apa rakyat mau dibunuh demi kepentingan-kepentingan kapitalis. Banyuwangi mau dikelola dengan baik atau sistem kapitalis yang dikedepankan. Ini sudah melenceng dari tujuan kemerdekaan,” ungkapnya. 

Menurut Holili, ketika negara sudah tidak bisa melindungi hak-hak rakyat, negara sudah dianggap gagal.

“Karena dalam landasan negara ini ada yang namanya catur prasetya, salah satunya perlindungan terhadap rakyat. Ketika ini sudah tidak ada, rakyat merdeka darimana, negara ini disebut merdeka dari apa. Apakah merdeka dari penjajah, lha yang menjajah pemerintah sendiri terhadap rakyatnya,” tukasnya. 

Berulang kali warga Tumpang Pitu melakukan perlawanan. Tapi selalu kandas. Dan ancaman kerusakan alam di Tumpang Pitu semakin nyata. Warga, alih-alih didengarkan dan diajak dialog, suara mereka malah dibungkam.

Melihat kenyataan ini, Danu Budiyono, aktivis Forum Peduli Banyuwangi (FPB), menilai konflik Tumpang Pitu tidak akan selesai jika pemerintah tidak peduli dengan aspirasi rakyat. Danu mengajak semua semua komponen anak bangsa dapat mengedepankan akal. Harapannya, pemerintah daerah hadir dalam kemelut yang terjadi di lokasi tambang Tumpang Pitu.

“Pemerintah daerah baik dari provinsi maupun pusat harus hadir di kemelut Tumpang Pitu. Kalau semua diajak duduk bersama, maka permasalahan-permasalahan itu bisa diminimalisir. Tidak perlu ada demo berhari-hari atau menggelar tuntutan yang mengorbankan jiwa. Kita ini manusia, punya akal, bisa diajak berunding,” tutupnya.

Kini, nasib hutan Tumpang Pitu dipertaruhkan. Akankah Tumpang Pitu tetap menjadi hutan yang lestari atau akan dilupakan karena sudah menjadi areal pertambangan?