Supersemar, Ada Yang Tidak Diketahui Publik

Sampai sekarang terbitnya Surat Perintah Sebelas Maret (Supersemar) masih menjadi misteri. Namun ada peristiwa yang tidak diketahui publik beberapa hari sebelum terbitnya Supersemar.


Ya, dalam pidato Bung Karno pada 17 Agustus 1966 ia menyebutkan surat tersebut bukan merupakan transfer kekuasaan. Namun, faktanya surat itu dijadikan Suharto untuk mengambil alih kursi kepresidenan.

Suasana Istana Jakarta ketika itu sangat tidak kondusif. Demo berkepanjangan ditambah adanya pasukan tidak dikenal di depan istana, membuat Soekarno memutuskan untuk meninggalkan Jakarta. Ia terbang dengan helikopter dan menenangkan diri di Istana Bogor.

Asvi Warman Adam, peneliti utama LIPI dan ahli sejarah Indonesia, mengemukakan, dua orang pengusaha yang dekat dengan Presiden Soekarno diminta oleh Jendral Alamsyah, atas persetujuan Soeharto, untuk datang ke Istana Bogor menemui Bung Karno.

Kedua pengusaha itu meminta kepada Presiden Soekarno untuk menyerahkan pemerintahan sehari-hari kepada Soeharto, sedangkan presiden tetap ditempati oleh Soekarno. Diketahui saat itu kondisi Soekarno sedang tertekan akibat demo yang berkepanjangan.

"Ada hal yang tidak diketahui umum yang pada masa orde baru, yang diajarkan di sekolah itu adalah bahwa pada tanggal 11 Maret itu ada demonstrasi besar-besaran di depan istana dan kita tahu bahwa belakangan itu ada pengakuan Kemal Idris yang berdemo itu bukan hanya mahasiswa tetapi juga ada pasukan Kostrad yang dipimpin oleh Kemal Idris," ujar Asvi dalam siaran pagi radio Elshinta seperti dimuat Kantor Berita Politik RMOL, Rabu (11/3).

"Jadi bukan hanya mahasiswa tetapi juga ada tentara yang ikut berdemo di istana," lanjut Asvi.

Dua hari sebelumnya, yaitu 9 Maret 1966, dua orang pengusaha yang dekat dengan Bung Karno yaitu A.M Dasaad dan Hasjim Ning diminta oleh Jendral Alamsyah, atas persetujuan Soeharto, untuk datang ke istana bogor.

"Mereka meminta kepada Presiden Soekarno untuk menyerahkan pemerintahan sehari-hari kepada Suharto, sedangkan posisi Presiden itu tetap Soekarno, gitu," jelas Asvi.

Apa yang disampaikan Hasjim Ning dan Dasaad membuat Soekarno marah.

"Di dalam memoar Hasjim Ning, Soekarno sempat melemparkan asbak kepada Hasjim Ning dan mengatakan; kamu sudah pro Suharto, kata Bung Karno. Dan usulan itu pun ditolak," ujar Asvi.

Dari peristiwa itu yang penting dicatat bahwa sebelas Maret itu merupakan rangkaian dari peristiwa sembilan Maret, jelas Asvi.

Karena permintaan dua pengusaha ini ditolak, maka dilakukan lagi upaya yang lebih 'keras' yaitu demo yang didukung tentara.

"Jadi, dari situ kita melihat upaya yang sistematis dari Suharto dan kelompoknya untuk mengambil alih kekuasan," ujar Asvi.

Pristiwa yang terjadi pada 9 Maret 1966 tidak banyak terungkap. Mengapa?

Kembali Asmiwirman Adam menjelaskan. "Karena pertama itu tidak dianggap penting, kemudian kalau orang tahu ada peristiwa sembilan Maret ya mungkin 'wah ini ada kaitannya dengan pemindahan kekuasaan'. Karena di dalam buku sejarah yang diajarkan di sekolah yaitu bahwa karena Bung Karno pergi ke Bogor lalu ketiga jenderal itu datang ke sana untuk menemani Bung Karno yang katanya kesepian. Padahal kan di situ ada istrinya, kenapa kesepian? Jadi itu kan alasan di dalam buku sejarah, gitu," ungkap Asvi.

Asvi menilai, rangkaian 9 Maret adalah proses dalam rangka mengambil alih kekuasaan. Asmi juga menuturkan sampai sekarang dokumen asli mengenai surat perintah 11 Maret 1966 belum ditemukan. Bahkan lembaga arsip nasional sudah mengeluarkan DPA atau Daftar Pencarian Arsip Supersemar.