Kontemplasi Menghadapi Krisis Pandemik Covid-19

CHINA dalam sepekan terakhir melaporkan tidak ada kasus lokal baru. Kasus baru yang muncul hanya berasal dari impor luar negeri. China telah memberikan angin segar kepada dunia bahwa, pandemik Covid-19 ini dapat diakhiri. Peperangan melawan virus ini sangat melelahkan dan menguras keuangan negara. Semua dilakukan untuk menyelamatkan nyawa rakyatnya.


Kunci sukses China adalah kedisiplinan, kepatuhan yang tinggi dari masyarakat, kekuatan anggaran negara, kepemimpinan yang tegas, kecepatan mengambil keputusan, keberanian mengambil risiko, koordinasi yang terstruktur, kemutakhiran riset teknologi, dan rasa saling percaya satu sama lain.

Kondisi krisis tersebut dapat dimanfaatkan negara untuk menguatkan cita, rasa, karsa suatu bangsa. Semuanya dipraktikkan, tidak hanya sekadar slogan-slogan utopis. Mereka bercita-cita akan terciptanya suatu kondisi yang aman dalam tempo yang secepat-cepatnya. Membangun kebersamaan, seiring-sejalan, seiya-sekata, dan senasib-sepenanggungan dalam sistem penanggulangan krisis.

Mewujudkan karsa dalam karya nyata yang dikontribusikan oleh semua elemen bangsa sesuai dengan kapasitasnya masing-masing. Ujung dari setiap ujian yang datang pada suatu bangsa itu adalah persatuan atau kehancuran. Tinggal bagaimana para pemimpin dan masyarakatnya saling memadukan hati, langkah, dan pikiran untuk mengatasinya.

China termasuk bangsa yang tidak pernah menganggap remeh setiap ancaman yang berisiko membahayakan negaranya. Sekecil apapun ancaman itu, mereka selalu mempersiapkan diri untuk menyelesaikannya dengan baik. Ancaman kecil yang tidak dihadapi dengan kesiapsiagaan akan menjadi ancaman besar di waktu berikutnya.

Konstruksi Mental Yang Harus Direnovasi

Di Indonesia, saat awal munculnya penyebaran virus ini di China dan negara-negara lain di sekitarnya, bersikap terlalu meremehkan dan overconfidence. Berpikir bahwa, Indonesia bersih dan kebal. Tidak akan terinfeksi dengan mengandalkan keyakinan dan doa kepada Tuhan Yang Maha Esa.

Padahal, agama sebenarnya mengajarkan untuk ber-ikhtiar (berusaha) dahulu sebelum ber-tawakal (pasrah total) kepada-Nya dengan memurnikan keikhlasan.

Mungkin hal ini karena adanya pengaruh istilah-istilah alay baru yang bertebaran di medsos, seperti santuy (santai), mager (malas gerak), kaum rebahan (banyak tidur), baper (bawa perasaan), kakehan sambat (banyak mengeluh dalam bahasa Jawa). Istilah-istilah ini membentuk alam bawah sadar dan menjadikan bangsa kita terlalu memandang enteng masalah serius dari serangan virus ini.

Masalah psikologis ini akan menjadi hambatan besar bagi bangsa Indonesia di masa depan saat menghadapi serangan lain yang lebih berat. Sebagai catatan penting, sulit bagi Indonesia untuk maju jika tidak menghapus mental rapuh tersebut. Wabah virus ini telah mengevaluasi dan membuka watak asli kita dalam berbangsa.

Bisa kita lihat bersama, saat awal wabah melanda, banyak orang yang hanya mementingkan diri sendiri. Tidak memikirkan keselamatan orang lain. Banyak yang menimbun masker dan sembako, mengabaikan himbauan pemerintah untuk stay safe at home, bepergian tanpa mengenakan masker, lari dari perawatan setelah dinyatakan positif terinfeksi, menganggap serangan virus sebagai bahan lelucon, dan banyak menyebarkan hoax.

Pemerintah sendiri juga terlalu lambat dalam membuat keputusan antara sentralisasi atau desentralisasi penanganan krisis. Bimbang memilih antara pertumbuhan ekonomi atau keselamatan nyawa. Akhirnya kedua-duanya terkorbankan, kurs Rupiah kian terperosok sangat dalam dan case fatality rate korban meninggal juga sangat tinggi.

Masyarakat banyak mengkritik pemerintah. Di sisi lain, pemerintah sendiri juga tidak lekas memperbaiki manajemen krisis saat dikritik. Akhirnya, masyarakatnya sendiri banyak yang tidak sepenuhnya percaya terhadap kepemimpinan pemerintah pusat. Lalu, pemerintah daerah juga tampak bergerak sendiri-sendiri.

Koordinasi pusat dan daerah tampak lemah. Apalagi dalam penyediaan serta distribusi kebutuhan fasilitas kesehatan di tingkatan daerah. Kelangkaan masker, alat pelindung diri (APD), desinfektan, obat-obatan, hingga testing kit masih terjadi dimana-mana. Masyarakat di level bawah pun juga belum teredukasi secara terstuktur dan menyeluruh tentang bahayanya serangan virus ini.

Selalu Ada Secercah Cahaya Harapan

Semua kekisruhan ini mendapatkan penyejukan setelah mulai banyaknya masyarakat yang hatinya tergerak untuk menangani wabah ini bersama-sama. Masyarakat mulai membentuk kelompok-kelompok petugas desinfektan di wilayahnya, mengumpulkan donasi untuk membantu rumah-rumah sakit.

Termasuk membantu pembiayaan kebutuhan rumah tangga bagi kepala keluarga yang dirawat di rumah sakit, mengecek status kesehatan masing-masing anggotanya, membagikan masker dan home-made hand sanitizer di jalan-jalan, membuat aplikasi online konsultasi dokter, hingga menggunakan medsos untuk membuat konten-konten yang kreatif dan edukatif tentang Covid-19.

Semangat kemandirian, persatuan, dan rasa gotong royong rakyat Indonesia benar-benar diuji. Di saat sebagian masyarakat bekerja keras mengakumulasi daya upaya untuk melawan virus, tidak bijak jika sebagian yang lain melemahkannya dengan tindakan indisipliner.

Sebagai contoh, nongkrong di kafe, mengadakan pertemuan masal, abai terhadap social distancing, tidak menjaga kebersihan, ataupun melakukan perjalanan ke berbagai tempat khususnya ke luar negeri dengan leluasa.

Outbreak di Indonesia masih belum akan menemui titik tertingginya. Masih ada kemungkinan besar lebih banyak orang yang terpapar, korban meninggal yang meningkat, gugurnya tenaga kesehatan di garis depan, kapasitas pendanaan yang menipis, kelangkaan alat-alat kesehatan dimana-mana, hingga mungkin chaos karena kurangnya koordinasi antar pihak.

Masih ada waktu untuk memperkuat kedisiplinan masyarakat, melengkapi berbagai fasilitas pendukung, memasifkan edukasi ke masyarakat hingga level paling bawah, menegakkan segala aturan dan standar kesehatan, menata ulang prioritas anggaran kesehatan, memperkuat kepemimpinan krisis, serta memberikan prioritas lebih dalam segala hal untuk masyarakat.

Keberhasilan dalam menyelesaikan masalah nasional ini akan semakin membawa Indonesia lebih kuat dalam pembangunan di masa mendatang. Tidak perlu khawatir ekonomi melemah.

Dengan adanya kepercayaan dan dukungan totalitas dari masyarakat, pertumbuhan ekonomi pasca krisis akan mudah diraih kembali. Saatnya pemerintah fokus memberikan pelayanan ekstra kepada masyarakat.

Masyarakat juga perlu segera sadar akan krisis serta menggalang gerakan kolektif dan inisiatif untuk membentuk kekuatan arus bawah dalam melawan virus. Jika dahulu saat perjuangan kemerdekaan, Indonesia dapat menang dengan gerilya dan bambu runcing.

Sekarang saatnya bangkit dan bergerak dari bawah untuk menguatkan para pemimpin yang di atas. Menggunakan semua potensi yang ada untuk dapat dimanfaatkan dalam perjuangan. Indonesia tidak boleh lengah dan santuy dalam mengatasi krisis akibat wabah ini.

Adhita Sri Prabakusuma

Penulis adalah Mahasiswa S3 di Yunnan Agricultural University, China dan WNI yang mulai lockdown hari pertama hingga detik ini masih bertahan di Kunming, Yunnan