Soal Penghinaan Kepada Penguasa, Pakar: Surat Telegram Kapolri Sah!

Pakar Hukum Pidana Indriyanto Seno Adji, memandang, Surat Telegram Kapolri ST/1100/IV/HUK.7.1.2020 mengenai penghinaan terhadap penguasa umum termasuk presiden, memiliki legitimasi yang sah.


Menurutnya, telegram tersebut merupakan implementasi penegakan hukum terhadap perkembangan situasi serta opini di ruang siber.

“Bagi saya, ST Kapolri memang benar dan memiliki legitimasi yang sah,” ujarnya dilansir Kantor Berita Politik RMOL, Jumat (10/4).

Ia menuturkan, penerbitan ST/1100 ini juga dalam konteks pelaksanaan Kepres 11/2020, PP 21/2020, dan Perppu 1/2020, yang kesemuanya dalam rangka pencegahan penyebaran wabah virus corona. Ia mengingatkan beberapa pasal yang terkait dengan ini.

“Pasal 134 KUHP, Pasal 136 bis, dan Pasal 137 ayat 1 tentang Penghinaan terhadap Presiden telah dinyatakan inkonstitutional oleh Putusan MK No: 013-022-PUU-IV/2006,” ujarnya.

Demikian juga Bab VIII (Kejahatan terhadap Penguasa Umum) Pasal 207 KUHP tetap mengatur Penghinaan terhadap Penguasa (Pejabat) dan Badan Umum (sekarang Kementerian/Lembaga Negara) yang tidak dalam pemahaman delik aduan, tapi delik biasa.

Selain itu, Pasal 27 UU ITE juga mengatur penghinaan yang diberlakukan kepada siapa pun yg melanggar pasal tersebut. Ketentuan ini menurut putusan MK harus diartikan sebagai delik aduan.

"Penghinaan yang dilarang pada Pasal 207 KUHP adalah bentuk “Formeele Belediging”. Suatu pernyataan yang diutarakan secara kasar, tidak sopan, tidak konstruktif, tidak objektif dan tidak zakelijk sifatnya. Sistem Anglo Saxon diatur juga pemidanaan terhadap Libel (tertulis) dan Slander (lisan) sebagai defamatory statement yang bisa juga dipidana," urai Indriyanto.

Kritik bisa menjadi penghinaan formil bila dilakukan dengan cara-cara tersebut yakni secara kasar, tidak sopan, tidak konstruktif, tidak objektif dan tidak zakelijk sifatnya. Ketentuan ini juga bersifat universal.

"Penghinaan formil Pasal 207 KUHP inilah yg menjadi basis legitimatif bagi Kapolri untuk melakukan penindakan kepada siapa pun yang melakukan penghinaan formil kepada penguasa umum, termasuk Presiden," terangnya.

"Jadi benar dan sudah tepat secara hukum bahwa ST Kapolri memiliki legalitas untuk dapat memproses kasus penghinaan terhadap penguasa atau badan penguasa, termasuk penghinaan kepada presiden sepanjang bentuknya penghinaan formil," ujar Indriyanto.

Bagaimana penghinaan formil itu? Indriyanto mencontohkan, A menyatakan kebijakan presiden tentang PSBB tidak tepat dan membingungkan masyarakat, kemudian mengatakan Presiden bodoh. Ini merupakan penghinaan formil.

"Tapi kalau A mengatakan kebijakan presiden tentang PSBB tidak tepat sasaran dan membingungkan publik, ini tidak dapat dikatakan sebagai penghinaan formil," katanya.

Sebelumnya, Kapolri menerbitkan ST/1100/IV/HUK.7.1.2020 yang mengatur tentang penghinaan bagi penguasa umum. Telegram ini menuai kontroversi di masyarakat.