Siapa Yang Nyungsep, Luhut Atau Jokowi?

MENGHADAPI serangan publik bukan hal yang mudah bagi seorang pejabat apalagi pejabat tinggi.


Kasus Kepala BPIP Prof. Yudian menjadi contoh. Bagaimana kebijakan atau pernyataan yang menimbulkan reaksi dan ketidaksetujuan masyarakat membuat sulit dirinya.

Soal larangan cadar, agama musuh terbesar Pancasila, hingga salam Pancasila telah "menghabisi"nya. Yudian menyerah dan tidak mau berkomentar lagi di depan publik. Puasa bicara, alias nyungsep.

Demikian juga Menteri Kesehatan Terawan yang dengan pernyataan "menganggap enteng" wabah virus corona di Indonesia bertubi-tubi menghadapi serangan atau kritikan.

Dokter militer ini pun tak berdaya dan "diambil alih" Jurubicara Covid-19, Achmad Yurianto untuk menjelaskan banyak persoalan wabah.

Jubir ini ternyata juga salah ucap soal penularan si miskin pada orang kaya. Menteri Kesehatan hilang alias nyungsep. Jubir juga ikut sayup-sayup.

Menko Marinves Luhut Binsar Pandjaitan yang paling terakhir diributkan. Menteri "pembela" China baik pekerja maupun negara ini sering membuat pernyataan di depan publik. Reaksi juga keras.

Pihak yang berseberangan kadang sama "panasnya" misalnya Said Didu yang berujung pada ancaman soal hukum. Pendukung Luhut tentu ada seperti Ruhut Sitompul dan Ferdinand Hutahaean akan tetapi lebih banyak pendukung Said Didu dalam kasus ini. Luhut pun menjadi bulan-bulanan publik khususnya di media sosial.

Reaksi publik yang "menyerang" Luhut sampai pada penyikapan meminta Presiden agar memberhentikan yang bersangkutan.

Semakin luas perlawanan pada Luhut yang bawaanya galak dan gemar menantang ini. Persoalan berkisar pada masalah pemerintah dan TKA China maupun Corona.

Luhut menjadi figur dari kabinet Jokowi yang paling ramai disorot dan dibicarakan. Kecaman keras sampai pada predikat "penghianat" negara.

Sebagai menteri "kuat" tetapi "terlemah" bagi pertahanan Jokowi, Luhut sedang diuji apakah akan "nyungsep" menghadapi benturan dengan masyarakat, atau akan tetap tegar dan "maju terus pantang mundur". Risikonya adalah tuntutan pemberhentian yang semakin mengeras.

Jokowi dipastikan menjadi lebih sulit karena banyak mata akan tertuju padanya. Presiden yang memiliki hak prerogatif untuk memberhentikan menteri-menterinya.

Jika Luhut bandel dan Jokowi tidak melakukan tindakan apa-apa, maka desakan mundur pada diri Presiden diprediksi akan semakin bergaung. Meski untuk ini yang dikritisi bukan hanya kasus Luhut tetapi kasus kasus lain.

Tekanan pada Jokowi bersifat multi dimensional. Baik kasus yang terhitung sejak pelantikannya maupun saat menjabat periode sebelumnya.

Posisinya kini menjadi pilihan apakah Luhut atau Jokowi yang "nyungsep". Hanya konsekuensi tentu berbeda, "nyungsepnya" Jokowi berimbas pada Luhut. Akan tetapi jika Luhut yang mundur atau dimundurkan maka Jokowi tentu masih bisa tetap berdiri.

Dari sisi rakyat atau pihak yang mereaksi tentu mudah memberi opsi Luhut atau Jokowi. Akan tetapi bagi pemerintah, terlebih Jokowi, ini persoalan sangat berat.

Keberadaan dan kedudukan Jokowi sulit dilepaskan dari Luhut. Semua tahu bahwa Luhut Binsar sangat berjasa dalam "menjahit" kepemimpinan Jokowi.

Nah, kemana sejarah ini akan bergerak, mari kita lihat bersama. Panggung politik semakin menarik dengan lakon cerita "Babad Jokowi di Ujung Perjalanan".

M. Rizal Fadillah

Penulis adalah pemerhati politik dan kebangsaan