Menyoal Jejaring Pengaman Sosial untuk Buruh Terdampak Pandemi

WABAH corona virus disease 2019 (COVID-19) melanda hampir semua negara di belahan bumi. Indonesia termasuk yang tak luput dari libasan virus yang pertama kali ditemukan di Wuhan, China itu. Tidak bisa dihindari, roda perkenomian ikut tersendat. Berbagai sektor ikut terdampak. Salah satunya adalah sektor industri.


Pemerintah meluncurkan berbagai kebijakan stimulus, bantuan alat-alat kesehatan untuk dokter, nakes dan rumah sakit, bantuan bahan makanan, juga bantuan dana tunai yang diberikan kepada masyarakat yang dianggap terdampak. 

Tak tanggung-tanggung, menurut Presiden Republik Indonesia, Ir. Joko Widodo dalam pernyataannya, ia telah mengintruksikan penganggaran dana tak kurang dari Rp. 405,1 triliun untuk menanggulangi bencana global ini. Baik pencegahan maupun penanganan dampak COVID-19. Pemerintah pusat, melalui Kemensos bahkan mengcover beberapa daerah yang tidak mampu menyediakan anggaran bantuan kepada warganya. Bansos untuk warga DKI Jakarta misalnya.

Ironisnya, bantuan-bantuan itu sulit untuk menjangkau buruh yang secara sosial ekonomi termasuk warga yang terdampak. Barangkali belum terpikirkan oleh mereka, nasib buruh di tengah ancaman paparan COVID-19 saat ini. Padahal tak sedikit buruh yang terpaksa dirumahkan, bahkan terkena Pemutusan Hubungan Kerja akibat perusahaan tempat mereka bekerja harus mengencangkan ikat pinggang di masa pandemi.

Mereka juga belum mempertimbangkan bahwa sebagian besar buruh adalah kaum urban. Para perantau tersebut tersebar di kota-kota besar seperti Jabodetabek dan Surabaya Raya. Mereka berstatus warga musiman. Secara administratif, status para buruh itu masih tercatat sebagai warga di kabupaten/kota asal. Sudah tentu, data kependudukan ini yang menjadi penghambat untuk ikut menerima bantuan pemerintah.

Maka perlu dipersoalkan sejauh mana sebenarnya jejaring pengaman sosial yang dipasang pemerintah dalam menaggulangi pandemi ini mampu menjangkau semua warga yang membutuhkan?  

Ketika pemerintah pusat dan daerah mengkampanyekan gerakan Work From Home (WFH), kemudian memberlakukan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB), masih ada ribuan buruh di sektor industri makanan minuman dan energi misalnya, yang karena tuntutan pekerjaan, mereka terpaksa harus tetap bekerja di bawah ancaman paparan COVID-19. Lagi-lagi keselamatan dan kesehatan mereka terabaikan. 

Dua buruh sebuah pabrik rokok di Surabaya yang meninggal akibat positif COVID-19, serta ditemukan hasil reaktif pada test cepat terhadap beberapa buruh lain, menjadi bukti bahwa buruh adalah obyek yang rentan terhadap libasan wabah. 

Patut juga dipertanyakan kenapa Kementerian Perindustrian dengan mudah mengeluarkan izin kepada banyak perusahaan untuk tetap beroperasi pada masa pemberlakuan Pembatasan Sosial Berskala Besar di beberapa wilayah? 

Meskipun telah menjalankan protokol pencegahan dan penanganan sebaran covid-19 sesuai anjuran pemerintah dan World Health Organization, tetap saja aktivitas dan mobilitas di sektor itu mengundang kerumunan massa (baca: buruh). Berdasarkan pantauan penulis di kawasan industri Tambak Sawah dan Tambak Jabon, Sidoarjo, sebanyak 90% perusahaan masih mempekerjakan buruh di tengah pemberlakuan Pembatasan Sosial Berskala Besar di wilayah Surabaya Raya.

Jika sektor industri tertentu dianggap menjadi pilar perekonomian negara, sehingga aktivitas produksi di tengah pandemi tidak boleh berhenti, sudah seharusnya pemerintah turun tangan untuk memikirkan kesehatan dan keselamatan buruh yang tetap bekerja. Setidaknya menaruh empati dengan memberikan bantuan, misalnya vitamin atau suplemen kesehatan, alat pelindung diri paling sederhana berupa masker, atau bantuan lain yang diperlukan buruh.  

Sebagai perbandingan, baru-baru ini kantor Setneg merilis sebuah video yang menayangkan iring-iringan RI 1 berhenti di ruas jalan raya ketika melewati pangkalan tukang ojek online. Dari bagasi mobil kepresidenan, beberapa paspampres terlihat mengeluarkan dan membagi-bagikan bantuan bahan pangan kepada tukang ojek online. Mereka dianggap sebagai warga negara yang selama masa pandemi, tetap bekerja tidak di rumah saja.

Video tersebut tentu mengundang rasa iri sekaligus sedih bagi kaum buruh. Lagi-lagi, pemerintah seperti melupakan keberadaan buruh. Bahwa ada salah satu pekerjaan selain ojek online yang jumlah pelakunya jauh lebih besar, yang karena tuntutan untuk bisa bertahan hidup, membuat mereka tetap bekerja di masa pandemi. 

Review Draft RUU Omnibus Law Cipta Kerja di Tengah Pandemi COVID-19

Pemerintah dan Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia akhirnya sepakat menunda sidang pembahasan Rancangan Undang-undang Omnibus Law Cipta Lapangan Kerja di tengah pandemi COVID-19.

Berbagai Serikat Pekerja yang ada di Indonesia menganggap klaster ketenagakerjaan pada draft RUU Omnibus Law Cipta Lapangan Kerja memuat banyak poin yang menguntungkan investor  dan merugikan buruh. Pimpinan Daerah Serikat Pekerja Rokok Tembakau Makanan Minuman (PD SP RTMM) Provinsi Jawa Timur misalnya, mencatat ada sembilan hal pokok yang dianggap kontroversi dan mengancam kesejahteraan buruh di masa mendatang. Salah satunya adalah potensi hilangnya strata upah minimum.

Dengan mempertimbangkan protes berbagai serikat pekerja tersebut, sudah seharusnya pihak-pihak yang terlibat dalam pembahasan draft RUU Omnibus Law Cipta Lapangan Kerja lebih peka menangkap aspirasi rakyat. Dengarkan keluh kesah buruh. Mereka adalah salah satu elemen rakyat yang selama beberapa bulan ini belum terakomodir suaranya ketika wabah COVID-19 melibas negeri kita.

Penundaan pembahasan saja sebenarnya tidak cukup. Klaster ketenagakerjaan pada draft RUU Omnibus Law Cipta Lapangan Kerja perlu dikaji lebih mendalam lagi. Jika ini dilakukan oleh pemerintah dan para wakil rakyat, setidaknya bisa menjadi penawar kekecewaan sebagian besar buruh. Minimal sebagai jejaring sosial pengaman psikologi buruh di tengah pandemi COVID-19.

Jadikan Buruh Terdampak Pandemi sebagai Warga yang Berhak Menerima Bantuan

Menteri Ketenagakerjaan, Ida Fauziyah dalam keterangan tertulisnya menyampaikan bahwa berdasarkan data Kemnaker per 1 Mei 2020, jumlah buruh di sektor formal yang telah dirumahkan akibat pandemi COVID-19 sebanyak 1.032.960 orang dan buruh di sektor formal yang terkena Pemutusan Hubungan Kerja sebanyak 375.165 orang. Sedangkan buruh sektor informal yang terdampak COVID-19 sebanyak 314.833 orang. Total buruh di Indonesia yang terdampak COVID-19 sebanyak 1.722.958 orang.

Dari jumlah sebanyak itu, baik buruh yang dirumahkan, terkena Pemutusan Hubungan Kerja, maupun hanya terdampak COVID-19, sudah bisa dijadikan pertimbangan serius jika kalangan buruh perlu mendapatkan alokasi dana bantuan dari pemerintah.

Namun jauh panggang dari api. Alih-alih ikut menerima bantuan, sejauh ini justru banyak buruh yang tidak pernah terdata sebagai warga terdampak pandemi COVID-19. Mereka pun luput dari penyaluran bantuan oleh pemerintah daerah di perantauan.  

Sudah seyogyanya pemerintah mendata kembali keberadaan mereka. Hitung dan anggarkan dana bantuan kepada buruh, sebagai kaum urban yang benar-benar terdampak.

Jika kesulitan melacak keberadaan buruh perantauan, pemerintah bisa menggandeng beberapa serikat pekerja untuk menyiapkan data base buruh urban yang tidak terjangkau bantuan sosial pandemi COVID-19. Keberadaan organisasi pekerja itu sudah terstruktur secara rapi dan sistematis mulai tingkat pusat, daerah, cabang, dan unit kerja di setiap perusahaan. 

Pemerintah yang menjadi supervisor dengan melakukan verifikasi data melalui Kementerian Ketenagakerjaan. Dalam hal ini adalah Dinas Tenaga Kerja setempat. Harapannya, dana yang sudah dianggarkan pemerintah bertrilyun-trilyun sebagai jejaring pengaman sosial itu bukan hanya tepat sasaran, namun juga mampu menjangkau lebih luas lagi warga negara yang terdampak.

Mari selamatkan buruh di tengah ancaman pandemi COVID-19.

Heru Widayanto

Buruh dan Aktivis SP RTMM SPSI, emerging writer di Ubud Writers & Readers Festival