Pembuat Faktur Pajak Fiktif Divonis 16 Bulan Penjara

Hardja Tjahya, terdakwa kasus pembuatan faktur pajak fiktif diganjar hukuman 16 tahun penjara. Majelis hakim yang diketuai Dede Suryaman menyatakan terdakwa terbukti bersalah menerima pesanan faktur pajak fiktif dari pasangan suami istri Erna Rahayu dan Andreas Jappy Hartanto. Pasutri ini merupakan bos CV Jaya Mulia yang kini menjadi terpidana penjualan faktur fiktif.


"Mengadili, menyatakan terdakwa terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana perpajakan yang dilakukan secara bersama-sama dan berlanjut," ujar hakim Dede dikutip Kantor Berita RMOLJatim saat membacakan amar putusan dalam sidang telekonferensi di Pengadilan Negeri Surabaya, Senin (11/5).

Selain hukuman badan, terdakwa Hardja juga dihukum membayar denda Rp 3,5 miliar. Nilai itu berdasarkan penghitungan dua kali dari nilai kerugian negara Rp 1,7 miliar. 

"Apabila terdakwa tidak sanggup membayar denda hingga satu bulan setelah perkaranya berkekuatan hukum tetap, maka asetnya senilai itu akan disita dan dilelang. Hasilnya akan digunakan untuk mengganti kerugian negara. Jika masih kurang, maka diganti dengan pidana sebulan penjara," sambung hakim Dede Suryaman.

Dalam amar putusannya, majelis hakim menilai perbuatan terdakwa dianggap telah merugikan negara dari pendapatan pajak yang seharusnya diterima. 

"Sementara itu, pertimbangan yang meringankan, terdakwa telah mengganti kerugian negara Rp 2 miliar dari kasus terpidana Erna dan Andreas. Selain itu, terdakwa belum pernah dihukum serta menyesali perbuatannya," terang hakim Dede Suryaman saat membacakan pertimbangan hukumnya.

Terpisah penasehat hukum terdakwa Hardja, Steven Mandraguna mengaku keberatan dengan vonis tersebut. Dia kini masih mempertimbangkan apakah akan mengajukan upaya banding atau tidak. 

"Putusan tersebut masih terlalu tinggi karena sudah bayar denda Rp 2 miliar. Tapi, masih dibebankan untuk membayar pidana denda," katanya.

Seperti diberitakan, Andreas dan Erna mendirikan CV untuk melakukan jual beli faktur pajak fiktif. Modusnya dengan menerima pesanan faktur pajak dari perusahaan-perusahaan besar. 

Mereka kerap menerbitkan faktur tanpa ada transaksi jual beli barang maupun pelayanan jasa. Tempat bisnis tersebut tidak sesuai dengan yang dilaporkan di kantor pajak.

Dalam penerbitan faktur pajak keluaran tanpa ada transaksi jual beli, terdakwa Andreas memesan faktur fiktif dari penawaran terdakwa Hardja. Keduanya sepakat pembelian faktur fiktif itu sebesar 1,4 persen dari DPP faktur yang dipesan.

Diketahui, Vonis majelis hakim ini lebih rendah dari tuntutan JPU Kejari Surabaya yang sebelumnya meminta agar terdakwa dihukum 2 tahun penjara dan denda Rp 3,4 milliar.

Kasus ini bermula saat Andreas Jappy Hartanto dan Erna (berkas penuntutan terpisah) mendirikan CV untuk melakukan jual beli faktur pajak fiktif. Modusnya dengan menerima pesanan faktur pajak darip perusahaan- perusahaan besar. 

Mereka kerap menerbitkan faktur tanpa ada transaksi jual beli barang maupun pelayanan jasa. Tempat bisnis tersebut tidak sesuai dengan yang dilaporkan di kantor pajak. Saat dilaporkan CV itu bergerak di bidang penjualan mesin, kabel, elektronik, sanitary dan segala kebutuhan kontraktor. Kantor di Jalan Ketintang juga dilaporkan memiliki gudang.

Perbuatan itu dilakukan dengan cara Erna mendatangani faktur pajak keluaran yang kemudian dikreditkan oleh pihak penggunanya dan selanjutnya dilaporkan ke dalam SPT. Faktur pajak CV Jaya Mulia diterbitkan tanpa ada transaksi yang sebenarnya dengan perusahaan tercantum di dalam faktur pajak. 

Faktur pajak fiktif yang diterbitkan CV Jaya Mulia itu lalu dijual ke perusahaan lain dengan harga dua persen dari dasar pengenaan pajak (DPP) kepada perusahaan pengguna. Sejumlah perusahaan yang membeli di antaranya, PT Nilam Puri Kencana, PT Abhirawa Mandiri, PT Citrinda Kasamarga, dan PT Sumber Rejeki Makmur Sentosa.

Dalam penerbitan faktur pajak keluaran tanpa ada transaksi jual beli, terdakwa Andreas memesan faktur fiktif dari penawaran terdakwa Hardja. Keduanya sepakat pembelian faktur fiktif itu sebesar 1,4 persen dari DPP faktur yang dipesan.

Sementara untuk mengimbangi faktur pajak yang diterbitkan CV Jaya Mulia, Andreas mencari dan mengkreditkan faktur pajak yang tidak sah atau tidak disertai transaksi pembelian antara lain dari PT Dharma Satya Nusantara, PT Sinar Wijaya Plywood Industries, PT Kutai Timur Indonesia dan PT Aneka Sakti Bhakti. 

Andreas menggeser identitas pembeli dari pembeli sebenarnya ke CV Jaya Mulia atau switching. Kerugian negara Rp 1,9 miliar itu berasal dari selisih pajak pertambahan nilai (PPN) perusahaan pelanggan yang dibayar lebih kecil karena menggunakan faktur fiktif.