Welgeduwelbeh: Isuk Dele Sore Tempe

BAGONG NJAMBAL (19)


KETIKA suasana istana lagi memanas gara-gara omongan Bagong, datanglah dua utusan dari Ngastina.

Semua orang tidak asing. Dua-duanya memiliki kedekatan dengan Ngamarta. Yakni Begawan Durna dan Patih Sengkuni.

Seperti pejabat istana lainnya, Durna dan Sengkuni menyampaikan salam kepada Prabu Darmakusuma.

Satu persatu Pendawa uluk salam.

Kresna dan Baladewa juga demikian.

Para lancur Pendawa tidak ketinggalan.

“Kakek guru salam, paman patih salam,” kata anak-anak Pendawa bergantian.

Terakhir Gareng uluk salam. Tapi hanya satu yang tidak. Yaitu Bagong.

“Gong, kamu tidak menyalami Penembahan Durna dan Patih Sengkuni!” Seru Gareng menjawil Bagong.

Ora sudi. Orang-orang itu pembawa masalah. Gayanya saja sok suci seperti pandhito, berjubah putih, udeng putih, tapi hatinya reget (kotor), bosok (busuk),” jawab Bagong yang kemudian didengar oleh Durna.

Karena tidak kunjung mendapat salam dari Bagong, Durna uluk salam terlebih dahulu.

“Punakawan Bagong, salam!”

Tidak dijawab. Bagong diam. Wajahnya melengos. Matanya mendongak ke atas. Menari-nari di langit-langit istana.  

Prabu Darmakusuma terpaksa menegur.

“Bagong, jangan seperti anak kecil. Mereka adalah pejabat Ngastina. Harus dihormati,” Prabu Darmakusuma mengingatkan. 

Bagong seketika tersadar dari lamunan. Buru-buru mengambil sikap mengapurancang.

“Ampun sinuwun, bukan saya tidak mau hormat. Orang-orang ini penyakit. Pasti hanya akan bikin kisruh Ngamarta. Dulu pas di Karangkadembel juga begitu. Durna tidak punya tata krama mau rudha paksa Semar. Durna nantang akan membumihanguskan Karangkadembel. Akhirnya Durna mengajak Kurawa tumandang. Eh, kok ditantang Hanoman malah kabur. Sama munyuk (kera) kalah,” tukas Bagong.

“Ya tidak apa Bagong. Kita tetap hormat sama Begawan Durna!” Jawab Prabu Darmakusuma.

Karena diperintah raja, Bagong manut. Wajahnya dihadapkan ke Durna.

“Mbah Durna sehat, salam mbah. Kalau bicara masih suka belepotan nggak. Apa masih suka keliru mengucapkan kata ‘menyengsarakan’? Patih Sengkuni, sehat. Salam. Apa ada yang mau dikacau di sini,” kata Bagong bersungut-sungut.

“Ya ya, Bagong salam. Sajake kowe sengit sama aku,” sahut Durna.

“Yo sengit aja. Sampeyan penyakit kok,” jawab Bagong sekenanya.

“Wis aku nggak mau nanggapi Punakawan. Nggak level,” Durna memalingkan wajah menghadap Prabu Darmakusuma.

Di hadapan Prabu Darmakusuma, Durna menyampaikan pesan dari Prabu Duryudana. Pesannya, agar Ngamarta bersedia tunduk pada kepemimpinan Ratu Lojitengara, yakni Prabu Welgeduwelbeh.

Kata Durna, semua kebijakan Welgeduwelbeh harus diikuti. Dia orang suci. Apapun titahnya harus dilaksanakan. Termasuk melawan pagebluk.

“Tidak bisa tidak, anak Puntadewa harus patuh pada kebijakan Welgeduwelbeh. Saat ini anak Duryudana telah dipercaya untuk mengurusi segalanya. Welgeduwelbeh adalah raja semua raja. Ngamarta, Dwarawati, Mandura, Pringgodani, hingga Pancala harus patuh,” ujar Durna.

“Kebijakan apa yang harus kita patuhi Kakek Durna?” Tanya Prabu Darmakusuma.

“Kebijakan baik. Melawan pagebluk. Karena Prabu Welgeduwelbeh punya empati pada rakyat, maka diterapkan pembatasan aktivitas rakyat. Ini untuk melindungi warga agar tidak keluar rumah. Semua aktivitas dibatasi,” lanjut Durna.

“Terus apa yang kerajaan bisa bantu untuk rakyat selama aktivitas mereka dibatasi?” Tanya lagi Sang Prabu.

“Kerajaan hanya melarang. Membuat aturan yang menguntungkan bagi kerajaan. Rakyat yang melanggar harus dipidana. Kalau tidak mau dipidana nanti dikenakan sanksi berupa denda,” jawab Durna.

Kresna yang sedari tadi mendengarkan omongan Durna penasaran dan bertanya.

“Rakyat salah apa kok dipidana?” Tanya Prabu Dwarawati.

“Lho, rakyat telah melanggar pembatasan keluar rumah. Kan kita sedang menerapkan aturan tidak boleh keluar rumah. Rakyat dilarang mudik, tapi kalau yang dari kota mau ke desa masih boleh. Itu namanya pulang kampung.”

Kresna langsung diam. Bukan tidak mau mendebat, melainkan kebijakan itu membuatnya tidak habis pikir. Kebijakan ngawur bin sembrono. Lagipula mendebat Durna juga percuma. Hanya buang-buang waktu.

Pun para Pendawa. Mereka hanya diam. Omongan Durna semakin ngelantur. Didebat hanya akan menambah ketidakpastian. 

“Weleh, itu kebijakan apa Mbah. Kok tidak berkualitas sama sekali,” Rupa-rupanya Bagong yang tidak terima dengan omongan Durna.

“Lho itu kebijakan baru Prabu Welgeduwelbeh. Kebijakan yang merakyat,” sahutnya.

“Kebijakan rakyat dengkulmu melocot, Mbah!”

“Bagong, kenapa kamu marah. Itu kebijakan yang baik agar rakyat tidak terkena pagebluk.”

“Yang ditanya Prabu Puntadewa tadi, kalau rakyat di rumah saja, terus siapa yang kasih makan. Oh pendhito kok kentir!”

“Ya itu urusan rakyat. Mau makan silahkan, mau puasa silahkan. Sebab di saat situasi pagebluk ini, negara harus bisa menambah pemasukan. Contohnya, kita bisa naikkan pajak,” tandas Durna.

“Menaikkan pajak bagaimana, Dur?” Bagong bertanya dengan nada tinggi.

“Lho Bagong tidak sopan bicara sama pejabat kerajaan!”

“Biar, lha wong kebijakan Welgeduwelbeh ngawur gitu.”

“Begini ya Bagong…” Durna berkata lirih sembari mikir, berusaha menjelaskan secara bijak.

“Hati-hati, Kakang Durna. Yang sampeyan ajak bicara Bagong. Manusia tidak punya tata krama. Tidak punya unggah-ungguh. Salah bicara bisa bikin dia marah. Di sekeliling dia ada banyak priyayi-priyayi Ngamarta. Cuma yang saya takuti priyayi sebelah sana, yang matanya selalu awas dan bengis,” Sengkuni membisiki Durna sembari menunjuk kea rah Prabu Mandura.

“Tenang saja, Dik Patih. Saya tahu cara menjelaskan hal ini ke Bagong. Dia cuma batur, cuma punakawan, gedibal, kere, nyolok moto,” kata Durna menenangkan Sengkuni.

“Bagini ya Bagong. Dawuh sinuwun Prabu Welgeduwelbeh itu jelas. Negara bisa mendapatkan pemasukan dengan menaikkan pajak rakyat secara diam-diam. Seperti pajak kesehatan. Ini satu-satunya cara agar rakyat mau membayar pajak tinggi. Selama ini kita kesusahan menarik pajak. Nah, di saat pagebluk menjangkiti banyak orang, semua rakyat harus dijamin kesehatannya. Caranya dengan bayar pajak.”

“Weleh kalau itu memang tanggungjawab negara. Rakyat selama ini sudah membayar pajak. Untuk apa hayo? Ya, untuk bayar dapuran-dapuranmu itu. Kalau sekarang negara melindungi rakyat, itu lumrah,” ketus Bagong.

“Lho kebijakan ini untuk melindungi rakyat dari pagebluk. Kita perintahkan mereka diam di rumah. Kalau melanggar kita pidana. Itu pasti. Kita beri mereka jaminan kesehatan asal bayar pajak tinggi. Itu yang lumrah,” balas Durna.

“Lumrah gundulmu amoh. Itu sama saja mengambil keuntungan di atas penderitaan rakyat,” bentak Bagong.

“Hei, Bagong. Nada bicaramu diatur. Jangan bicara kasar. Di sini banyak priyayi-priyayi,” kata Durna mewanti-wanti.

Bagong tampaknya mulai emosi. Dia sudah tidak lagi memperhatikan kondisi sekitarnya. Demikian pula Durna. Dari awalnya sopan, gara-gara Bagong emosinya mulai ikut naik.

Perdebatan pun mulai sengit.

“Hei Punakawan. Jangan merendahkan derajat Prabu Welgeduwelbeh. Dia orang suci. Orang baik. Sabdo pandhito ratu,” tegas Durna.

“Halah, ratu kentir. Ngomongnya negara punya banyak uang. Tapi doyan ngutang sana sini atas nama negara. Sebagian utang dibagi-bagi ke rakyat atas nama pribadi. Supaya dilihat orang. Supaya dipuja puji. Dianggap dewa. Dianggap nabi. Dianggap orang suci.”

“Ratu pekok, semua kebijakannya membingungkan. Isuk dele sore tempe. Plin plan. Nggak punya pendirian. Sekarang narasinya melawan pagebluk, besok berdamai sama pagebluk. Sekarang rakyat dilarang keluar rumah, besok yang muda-muda diijinkan keluar rumah. Tapi saat rakyat keluar rumah, mereka ditangkap. Dipidana. Ditakut-takuti. Sementara ratusan orang dari seberang sana malah dibiarkan bebas masuk ke sini,” umpat Bagong.

“Pepatah mengatakan Welgeduwelbeh sama dengan kakean gludug kurang udan. Bicara banyak, suka mengobral janji muluk. Tapi kerja nggak becus. Sebenarnya dia bukan ratu, melainkan boneka yang dipasang di dampar kerajaan. Yang namanya ksatria sejati, kalau salah akan mengakui kesalahannya dan akan turun dari dampar kekuasaan tanpa diminta. Karena ini boneka, kalau salah pasti tidak akan mengakui kesalahannya. Maklum, boneka kan tidak punya mulut. Boneka kalau bicara sudah diatur ritmenya. Tidak bisa boneka mengakui kesalahan terus turun sendiri. Caranya ya harus diturunkan. Namanya saja boneka,” tegas Bagong.  

“Bagong, kamu jangan salah. Prabu Welgeduwelbeh ini sangat peduli dengan orang-orang dari seberang. Mereka bebas masuk ke sini asal bayar pajak tinggi. Dan, mereka sudah bayar. Kita bisa mengambil keuntungan dari mereka. Karena itu mereka bebas mau masuk kerajaan mana,” jawab Durna.

“Itu namanya diskriminasi yo nyuk!” Seru Bagong.

“Apa itu diskriminasi. Badhokan apa itu?” Tanya Durna.

Badhokan buat jejeli cangkemmu,” jawab Bagong sekenanya.

Melihat Durna kuwalahan menghadapi Bagong, Sengkuni turut dalam perdebatan. Menurutnya,

Bagong jangan terlalu emosi menanggapi kebijakan Prabu Welgeduwelbeh dan Prabu Duryudana. Sebab, keduanya bekerja untuk rakyat.

“Prabu Welgeduwelbeh berjuang untuk rakyat. Dia menugaskan Prabu Duryudana untuk perang melawan pagebluk. Tujuannya mulia. Jadi tidak sepantasnya kebijakan ratu dimentahkan,” kata Sengkuni lirih. Nadanya benar-benar diatur. Dia tidak mau terjebak dalam keadaan rumit seperti Durna. Sebaliknya, semua orang sebisa mungkin terhipnotis dengan kata-katanya.

“Ratu Welgeduwelbeh paham bagaimana penderitaan rakyat. Karena itu untuk mengatasi pagebluk, negara butuh biaya sangat banyak. Bahkan kalau perlu kita berhutang sebanyak-banyaknya pada negeri seberang. Soal bagaimana membayar hutang, itu urusan belakangan. Yang penting uang masuk negara, kita bekerja dulu untuk rakyat. Tentu, biaya itu bisa juga diambilkan dari pajak rakyat,” lanjut Sengkuni.

Namun alih-alih meredakan situasi, ucapan Sengkuni justru semakin membuat Bagong panas.

“Utang, katamu,” heran Bagong, “Kamu kira ini negara milik mbahmu. Cangkemmu kalau bicara ditata dulu, Sengkuni. Jangan asal hasut sana sini. Aku tahu semua kebijakan membingungkan Welgeduwelbeh akibat dari ulahmu. Cangkummu itu licik. Penuh tipu muslihat. Seharusnya orang pertama yang mati dalam perang Baratayudha nanti adalah kamu,” tandas Bagong.

Mendengar bentakan Bagong, Sengkuni tidak lagi melanjutkan kata-katanya. Dia memilih diam. Sebab, situasi semakin tidak terkendali.

“Hei Bagong, jangan mengucap sembrono sama pejabat Ngastina. Kowe bisa dihukum pakunjara,” ancam Durna tidak terima dilecehkan Bagong.

Suasana kian memanas. Bagong dan Durna tidak mau saling mengalah. Bahkan mulai saling umpat, saling tantang-tantangan.

Para Pendawa memilih diam. Tak mau masuk dalam ranah konflik. Lagipula selama ini Ngamarta, Dwarawati dan Mandura tidak mau tunduk pada Prabu Welgeduwelbeh. Namun untuk melawan Durna, mereka juga harus menjaga tata krama. Sebagai ksatria Ngamarta, tidak pantas mereka terlibat dalam perdebatan seperti itu.

Sebaliknya, kalau Bagong berteriak-teriak seperti itu justru dianggap wajar. Sebab Punakawan adalah perwujudan rakyat. Yang namanya rakyat boleh mengkritik penguasa. Rakyat boleh marah bila penguasa tidak becus bekerja, apalagi sampai kebijakan yang dibuat penguasa merugikan rakyat. Bahkan rakyat juga punya hak menurunkan ratu dari kursi kekuasaan.

“Jadi kamu berani melawan Begawan Durna. Tak kasih senjata Cundamanik modar kowe,” Durna kembali mengancam Bagong.

“Apamu yang ditakuti. Kalau cuma melawan Durna, Bagong tidak gentar. Jangankan Durna, 100 Kurawa maju Bagong tidak gentar,” Bagong murka.

“Mana tempatnya neter kadigdayan. Ayo keluar. Jangan beraninya sembunyi di balik priyayi-priyayi agung Ngamarta,” sahut Durna dengan nada tinggi.  

“Ladalah, kahanan koyok ngene Baladewa diam saja,” teriak Bagong matanya tertuju pada Prabu Mandura.

“Setan iblis laknat, cangkeme sopo muni koyok ngono, berani sesumbar sama Baladewa,” Baladewa bangkit dari tempat duduknya. Berdiri cepat-cepat di depan Begawan Durna dan Patih Sengkuni seraya berkacak pinggang.

“Kowe nantang aku, hah. Berani sama Baladewa. Tadi sumbar apa sama Baladewa. Cundamanik lawannya Kyai Neggala dan Alugara. Wani nggak, hahhh!” Bentak Baladewa, mata mendelik.  

Bentakan Baladewa langsung membuat Durna ciut. Sengkuni yang berada di samping Durna segera berbisik, “Kakang Durna sudah tak bilangi kan, jangan buat perkara sama Bagong. Marahnya Bagong nggak seberapa. Tapi dia bisa mengakali orang lain untuk marah. Kalau Prabu Baladewa sudah marah, dia nggak bisa diajak berdiskusi dengan baik-baik. Maunya cuma perang. Bagong kok dilawan,” bisik Sengkuni.

“Lha bagaimana lagi, Dik Patih!” Seru Durna minta pendapat, tangannya gemeteran.  

“Ini masih Baladewa. Belum yang itu,” Sengkuni menunjuk Antaseno dan Wisanggeni, “Kedua lancur Pendawa ndugal kewarisan itu tidak banyak bicara. Tapi sekali sudah maju ke medan perang, hanya dua orang itu saja Ngastina bisa porak poranda. Keduanya ksatria pilih tanding. Disukai para dewa”.

“Belum lagi si jeliteng,” Sengkuni matanya mengarah ke Prabu Dwarawati, “orangnya kalem, tutur katanya halus, tapi dia senjata Cakra. Cundamanik nggak bakalan sanggup menandingi Cakra. Ayo wis pulang saja,” ajak Sengkuni.

Noviyanto Aji

Wartawan RMOLJatim