Ditangkapnya Panglima Serdadu Eks Trimatra Nusantara, Ruslan Buton oleh kepolisian dari Tim Gabungan Mabes Polri dan Polda Sultra, Kamis (28/5), menuai kecaman.
- Ganjar Ajak Pendukungnya Doakan Warga Grobogan yang Dilanda Banjir
- Gelar Baksos Operasi Katarak, GPK Bondowoso Sasar Ribuan Penderita
- Prabowo Digugat Rp 501 Miliar oleh Mantan Anakbuahnya
Pasalnya, penangkapan ini dinilai tidak tepat. Karena diduga Ruslan Buton ditangkap berkenaan dengan surat terbuka yang sebelumnya dia sampaikan kepada Presiden Joko Widodo.
Dalam surat terbukanya itu, Ruslan Buton meminta agar Presiden Jokowi mundur dari kursi Presiden RI.
"Polisi tak boleh seenaknya, menjemput seseorang atau rakyat yang telah membuat surat terbuka untuk mengkritisi kebijakan Presiden," kecam pengamat politik dari Universitas Al-Azhar Indonesia, Ujang Komarudin saat dihubungi redaksi, Jumat (29/5).
Menurutnya, Ruslan Buton mempunyai hak untuk mencapai kritikan ke pemerintah. Sebab hal tersebut diatur di dalam Pasal 28 Undang-Undang Dasar (UUD) 1945.
"Hak menyampaikan pendapat, baik melalui lisan maupun tulisan dijamin oleh konstitusi," tegas Ujang Komarudin.
Oleh karena itu, Direktur Eksekutif Indonesia Political Review (IPR) ini berharap, kepolisian bisa membedakan kritikan dan ujaran kebencian terhadap penguasa.
"Kritiskan boleh. Kritis itu harus. Kritis kepada siapapun tak masalah. Selama dilakukan secara konstruktif," tutur Ujang Komarudin.
"Yang tak boleh itu menghina. Menghina siapapun. Termasuk menghina Presiden. Jadi kita harus bedakan, mana rakyat yang kritis dan mana yang menghina," ujar dia menambahkan, seperti dimuat Kantor Berita Politik RMOL.
- Kabapas Jakpus Sayangkan Foto Dirinya Bersama HRS Beredar Luas, Itu Bukan Konsumsi Publik
- Kritik Kenaikan BBM, Untuk Apa Punya Menkeu Klaim Terbaik di Dunia?
- KPK Digeruduk Emak-emak di Hari Ibu, Tuntut Penyelesaian Kasus Korupsi Covid-19 hingga Bisnis PCR