Kesaktian Pancasila Kembali Diuji

TANGGAL 1 Juni resmi ditetapkan sebagai peringatan Hari Lahir Pancasila lewat Keputusan Presiden 24/2016. Presiden Joko Widodo menyampaikan keputusan ini melalui pidato pada peringatan Pidato Bung Karno 1 Juni 1945, di Gedung Merdeka, Bandung pada 1 Juni 2016.


Penetapan ini mengandung simbol bahwa Presiden Jokowi ingin menyampaikan kepada seluruh warga Indonesia bahkan dunia bahwa nilai-nilai Pancasila harus diteguhkan kembali sebagai bekal menghadapi situasi global. Apalagi saat ini, situasi dunia tak menentu dan tata politik republik Indonesia yang semrawut akibat kondisi kebangsaan yang sempat terkoyak.

Nampaknya hari kelahiran Pancasila ini perlu kita maknai kembali dan kita internalisasi dalam wacana kebangsaan secara berjamaah. Jika kita pelajari sejarah, “Kesaktian Pancasila” telah diuji dan lolos dari serangkaian tes peristiwa dari masa ke masa.

Pada masa orde lama misalnya, ujian terhadap ideologi Pancasila datang bertubi-tubi. Terlampau banyak kelompok kepentingan yang berupaya mengganti ideologi Pancasila.

Berbagai peristiwa itu diantaranya, pada tahun 1945-1950 sempat ada upaya untuk mendompleng ideologi Pancasila melalui pemberontakan PKI di Madiun yang dipimpin oleh Muso pada 18 September 1948. Pemberontakan tersebut ingin mengganti Pancasila dengan paham komunis, meskipun berujung kegagalan.

Kemudian 17 Agustus 1949, muncul Darul Islam/Tentara Islam Indonesia (DI/TII) yang dikomandoi oleh S.M Kartosuwiryo. Motif gerakan politiknya pun serupa dengan PKI yakni ingin mengganti Pancasila dengan penerapan Syari’at Islam.

Peristiwa ujian Pancasila pun berlanjut, sekitar tahun 1950-1959 ketika nuansa demokrasi liberal menyelimuti kepemimpinan Soekarno saat itu. Bangsa Indonesia menghadapi dinamika luar biasa karena kerap terjadi pemberontakan lokal di berbagai daerah.

Pemberontakan itu mulai dari Republik Maluku Selatan (RMS), Pemerintah Revolusioner Republik Indonesia (PRRI), hingga Perjuangan Rakyat Semesta (Permesta).

Beruntung persatuan NKRI yang berada di ujung tanduk masih bisa terselamatkan. Perjalanan Pancasila era Soekarno tidak usai disitu. Pada periode 1956-1965, saat itu otoritas nilai-nilai Pancasila digenggam oleh Soekarno dengan kepemimpinan negara yang bercorak demokrasi terpimpin.

Ujian besar datang bagi Pancasila dengan munculnya paham Nasakom (Nasionalis, Agama, Komunis). Paham itu digelindingkan Soekarno ke publik hingga berujung pada peristiwa berdarah G-30S. Semua tahu bahwa tragedi Gerakan 30 September benar-benar meninggalkan banyak luka sesama anak bangsa.

Di masa-masa itu, Pancasila telah muncul sebagai kekuatan nilai penyelamat situasi sulit bangsa Indonesia. Masa Orde Baru dan Reformasi juga tak kalah menariknya. Apalagi, Soeharto menjadikan Pancasila sebagai satu-satunya ideologi tunggal yang diakui negara sehingga semua elemen bangsa “wajib” menjalankan titah tafsir Pancasila menurut Soeharto.

Jargon demokrasi Pancasila sempat menjadi harapan baru bagi masyarakat. Masyarakat saat itu berkeyakinan akan ada perubahan politik karena track record Soeharto yang berhasil menciptakan stabilitas keamanan negara dalam waktu singkat pasca geger G-30S.

Namun seiring waktu, Orde Baru pada kenyataanya mempraktikan Pancasila dalam kehidupan bernegara justru bersifat otoriter. Tidak salah jika sistem kepemimpinan Soeharto lebih otoriter daripada era demokrasi terpimpin. Peristiwa pembungkaman, insiden orang hilang, korupsi merajalela, dan praktik otoritarian Soeharto ketika itu menggunakan jubah Pancasila.

Ada satu hal yang melekat pada generasi produk Orba yakni memfungsikan Pancasila sekadar menjadi hafalan tekstual. Pemandangan setiap warga negara menghafalkan Pancasila kerap disaksikan, Pancasila menjadi doktrin sehari-hari.

Saat era Orba itu, tidak perlu heran jika bapak atau ibu kita hafal di luar kepala butir-butir Pancasila. Tentu cara ini memiliki plus minus dalam rangkaian sejarah perjalanan bangsa kita.

Di masa pasca reformasi, justru tantangan Pancasila tidak lagi berhadapan dengan pemberontakan-pemberontakan fisik seperti masa lampau. Dua puluh dua tahun lahirnya reformasi membuat tantangan eksistensi ideologi Pancasila justru semakin deras. Apalagi di zaman yang serba bebas, teknologi tinggi, dan gempuran ideologi tandingan baik berasal dari dalam dan luar negeri.

Jika saya boleh mengibaratkan rumah Indonesia saat ini tidak hanya pintunya saja yang dibuka, tapi jendela hingga lubang ventilasi dapur dibuka "mablak". Semua pihak bisa bebas berinteraksi secara luas di dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Tantangan Pancasila itu seperti angin yang bisa masuk seenak jidat.

Kondisi seperti ini menjadikan semua arus pemikiran bebas lalu lalang dan berseliweran di negara ini.

Maka tidak mengherankan jika saat ini muncul kaum ekstrimis hingga golongan neoliberalis kerap mewarnai wacana ideologi bangsa. Bisa jadi itu adalah efek dari gerakan transnasional yang memang diimpor masuk ke Indonesia.

Ini menjadi satu pekerjaan rumah yang cukup serius untuk disaring dengan wacana nilai-nilai Pancasila.

Tantangan selanjutnya muncul dari situasi zaman serba cepat dengan bantuan teknologi mutakhir yang mau tidak mau di-absorb (diserap) oleh generasi milenial. Di tengah arus serba bebas dan kecanggihan teknologi, bangsa Indonesia harus segera menyiapkan diri generasi terbaiknya.

Targetnya adalah jangan sampai Bangsa ini kebobolan dengan serbuan ideologi lain yang tidak sejalan dengan Pancasila.

Tentu kokohnya Pancasila sangat kita inginkan. Saya sendiri masih mempercayai bahwa Pancasila masih ‘sakti’ apabila kita sendiri mampu menginternalisasi nilai-nilai luhur menjadi praktik budaya masyarakat Indonesia.

Kita semua tahu bahwa Pancasila dirumuskan oleh para pendiri bangsa dan para ulama yang memiliki ketulusan hati dan keikhlasan dalam berjuang. Saya meyakini negara Indonesia ini juga masih dijaga oleh para leluhurnya, tinggal bagaimana kita menyikapi dalam konteks bernegara yang baik.

Diakui atau tidak, nilai-nilai luhur Pancasila inilah yang mampu menjadi magnet perekat kebhinekaan kita. Pancasila inilah yang masih menjadikan bangsa Indonesia masih utuh dari Sabang sampai Merauke, dari Miangas sampai Pulau Rote.

Suatu anugerah yang luar biasa yang dilimpahkan Tuhan kepada kita semua. Pancasila telah membuat seluruh warga bangsanya setia memilih menjadi saudara sebangsa setanah air dalam bingkai kemajemukan Indonesia Raya.

Terakhir, saya sarankan cara mudah mencintai Indonesia raya, tidak perlu membaca buku berjilid-jilid takut kalau ngga kuat nanti otaknya “njegleg”, cukup mendengarkan lagu Bang Haji Rhoma Irama yang berjudul “250 juta”. Silakan didengarkan dengan khusyuk dan diserap maknanya, sembari menyeruput kopi dan pisang goreng. Setidaknya kita akan menyadari bahwa Indonesia adalah negara kaya dengan keragaman suku, agama, ras dan golongannya.

Moh. Agus Fuat

Penulis adalah Wasekjen PB PMII dan aktif di bidang gerakan santri usahawan dengan mendirikan prototipe bisnis Kopi Abah