Optimisme Temuan Obat Covid-19

REKTOR Universitas Airlangga (UA) Prof. Muhammad Nasih mengumumkan sendiri hasil temuan perisetnya yang menggemparkan ilmuan Indonesia (12/6). Bagaimana tidak, sejumlah tahapan uji kepatutan obat belum dilakukan, press release sudah ditebarkan. Wajar kalau sejumah ilmuan menoleh sambil mengernyitkan alis.


Rektor UA mengumumkan lima macam kombinasi obat; loprinavir-ritonavir-azitromisin, loprinavir-ritonavir-doxixiclin, loprinavir-ritonavir-klaritomisin, hidroksiklorokuin-azitromisin dan hidroksiklorokuin-doksisiklin.

Sejumlah besar ilmuan Indonesia bahkan di kalangan UA sendiri, terutama dari kalangan medis-kedokteran ragu untuk menunjukkan dukungan. Bukankah uji in vivo pada manusia belum sempurna dilakukan. Tetapi obat yang dimaksud telah diumumkan secara luas atas nama UA, Badan Intelijen Negara, dan Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB), UA-BIN-BNPB Covid-19 (12/6).

Secara umum, apakah seseorang sependapat atau belum, merupakan masalah wajar dalam dunia medis atau dalam bidang apa pun. Tengok saja di Amerika Serikat (AS), remdesivir yang diklaim sebagai obat manjur atasi Covid-19 belum memberikan dampak efektifitas yang hebat, bahkan bagi negara itu sendiri. Terbukti kasus positif Covid-19 terus meningkat semenjak obat itu dideklarasikan kepada dunia (2/5).

Badan Administrasi Pangan dan Obat-obatan Amerika (FDA) memastikan remdesivir sebagai obat yang bisa digunakan untuk pasien SARS-CoV-2 (Covid-19) (2/5). Sejak diumumkan, Gilead sebagai produsen remdesivir telah mendapatkan ijin untuk memproduksinya secara luas.

Sampai hari Minggu kemarin, (14/6) Worldometers merilis informasi 10 besar negara dengan kasus terbanyak di dunia. Nomer satu adalah Amerika Serikat dengan rincian 2.142.224 kasus, 117.527 meninggal dunia, 854.106 sembuh. Di nomer berikutnya berurutan; Brazil, Rusia, India, Inggris, Spanyol, Italia, Peru, Jerman, ditutup Iran.

Satu setengah bulan setelah obat itu diijinkan untuk diproduksi, terbukti remdesivir belum menunjukkan dampak penurunan Covid-19, bahkan Amerika menunjukkan rangking tertinggi perolehan kasus. Dari sini press release Rektor UA bisa dinilai wajar.   

Jumat (12/6) lalu muncul informasi sangat menarik dari diskusi webinar para guru besar pakar etik penelitian Indonesia.  Webinar yang dilakukan atas prakarsa Fakultas Kedokteran UA ini melibatkan pakar etik penelitian nasional yang bereputasi internasional. Mereka mengaku bahwa patofisiologi, perjalanan pasti SARS-CoV-2 sejak mulai hadir, selama di dalam tubuh manusia, sampai ketika korban positif Covid-19 meninggal dunia masih belum jelas secara pasti.

Patofisiologi SARS-Cov-2 belum jelas dipahami oleh seluruh ilmuan, nasional dan internasional. Olah karenanya wajar kalau seluruh tata laksana pencegahan, pengelolaan selama terinfeksi, protokol terapi, penanganan pada korban meninggal masih menjadi upaya serius para paneliti untuk menemukan yang terbaik.

Problem utamanya adalah pandemi Covid-19 sedang terjadi, sehingga upaya yang belum sepenuhnya jelas ini pun sedikit “dipaksakan” daripada tidak sama sekali.  

Optimisme dan Sembuh

Renè Descartes, lahir 31 Maret 1596 di kota kecil la Haye, Perancis, tekenal dengan quote-nya, Cogito Ergo Sum, aku berpikir maka aku ada. Aku adalah apa yang menjadi keyakinanku. Setelah berlalu masa yang panjang (1974), quote itu diulang dengan kalimat yang lebih bernuansa optimistis dalam Bahasa Inggris, you can if you think you can. Kalimat optimisme ini disampaikan oleh Dr. Norman Vincent Peale yang terjemah bebasnya adalah, kamu bisa jika kamu yakin bisa.

Tentang optimisme di bidang medis Dr. Bruno Klopfer pernah melaporkan contoh kasus limfoma maligna (tumor ganas kelenjar getah bening) yang dirawatnya. Sejumlah tumor besar terdapat di sekujur tubuh pasien. Dada pasien dipenuhi cairan, sulit bernafas.

Kondisinya sangat menghawatirkan. Dalam keyakinan Klopfer pasien itu akan meninggal dalam dua minggu ke depan, jika seluruh perawatan dilepaskan kecuali oksigen. Langkah terakhir yang dilakukan Klopfer adalah menginjeksi pasien dengan Krebiozen. Obat eksperimental yang kemudian diumumkan bahwa obat itu mubazir.

Kisah yang digambarkan Klopfer setelah injeksi itu:

Saya sangat takjub! Saya meninggalkannya dalam keadaan demam, sulit bernafas, kondisinya sangat lemah. Sekarang ia berjalan-jalan di sekitar ruangan-ruangan di rumah sakit. Dengan riangnya berbincang bersama para perawat, membawa pengaruh keceriaan kepada siapa pun yang mau mendengarkan.

Benjolan tumor itu meleleh seperti bola salju di dalam oven. Hanya dalam beberapa hari ukuran tumornya sudah separuh ukuran awal. Pastilah hal ini merupakan penyusutan yang lebih pesat dibandingkan tumor mana pun yang bisa didiagnosis dengan diagnosis tingkat tinggi. Tidak ada perawatan lain selain satu suntikan yang kemudian diketahui sia-sia itu”.

Boleh jadi optimisme Rektor UA selaku penanggung jawab Perguruan Tinggi (PT), apalagi telah diberikan kepercayaan oleh pemerintah, lebih menunjukkan semangat perjuangannya yang melebihi tahapan riset obat.

Tinggal siapa pun yang mau berusaha menangkap optimisme itu melalui dukungan yang membangun, meluruskan hal yang masih diperlukan, serta menambahkan hal lain yang butuh penyempurnaan.  

Katakanlah penemuan periset UA baru dalam tahap awal, sebagai ilmuan yang mementingkan kerjasama, sukakah memilih upaya saling mendukung menuju tahapan berikutnya?

Jika belum bergabung dalam satu tim, bisa jadi solusi positif merupakan usaha elegant daripada membuka pintu pesimisme dan mem-posting ujaran yang memicu ketegangan.

Bukankah kerja keras UA-BIN-BNPB Covid-19 bermuara kepada penanggulangan pandemik, dunia dan Indonesia khususnya. Jika belum sejalan boleh jadi usulan positifnya bagaimana?

Abdurachman
Gurubesar FK Universitas Airlangga, yang juga Past President of Indonesia Anatomists Association (IAA), dan Executive Board Member of APICA