Ketua MTI: RUU Ciptaker Mirip Rezim Orba, Terlalu Sentralistik

Rancangan Undang-Undang Cipta Kerja (Ciptaker) atau omnibus law dinilai tidak reformis.


Hal ini disampaikan Ketua Majelis Profesi Pengurus Pusat Masyarakat Transportasi Indonesia (MTI), Muslich Zainal Asikin pada Kantor Berita RMOLJatim, Jumat (10/7).

“RUU Ciptaker bertentangan dengan konstitusi. Hal ini juga tidak sesuai substansi gerakan reformasi yang anti sentralisasi seperti rezim orba,” kata Muslich.

Muslich menjelaskan pihaknya baru saja mengikuti rapat dengar pendapat (RDP) dengan wakil rakyat terkait RUU Ciptakerja Bidang Transportasi. Dalam rapat itu diketahui hampir semua pakar dan anggota menolak isi RUU tersebut.

Peneliti Senior Pustral Universitas Gadjah Mada (UGM) ini menyebutkan alasan penolakan RUU beragam. Namun yang utama adalah mempersulit aksesibilitas masyarakat.

“Ijin-ijin ditarik semua ke pusat. Dari mulai terminal bus type A, jembatan timbang dan sebagainya. RUU Ciptaker mempersulit aksesibilitas masyarakat. Dunia usaha daerah makin sulit. Banyak orang pergi ke Jakarta "semu". Hanya bikin boros perekonomian. Ujungnya tarif mahal. Karena biaya untuk mengurus mahal, sulit dan lama. Cost of investasinya tinggi. Akhirnya cost of transportasi tinggi. Tarif transportasi jadi mahal,” terangnya.

Menurut Muslich, dengan aturan omnibus law ini pemerintah pusat seakan-akan mau ambil semua kewenangan ijin yang selama ini dipegang daerah.

“Apakah pemerintah pusat hebat? Gaklah. SDMnya sama aja. Banyak SDM berpendidikan tinggi dan berpangkat tinggi. Tapi yang kerja SDM rendahan juga sama seperti di daerah. Saya

tahu itu sebab saya berhubungan dengan mereka,” jelasnya.

Lanjut Muslich, jika pemerintah berniat melakukan pemerataan pendapatan atau income, harusnya RUU Citaker ini direvisi substansinya. Kalau tidak bisa sebaiknya dibatalkan saja.

“Sebab RUU ini sama sekali bukan untuk pemerataan. Padahal reformasi kan visinya desentralisasi dan dekonsentrasi. Tapi RUU Ciptakerja ini justru warnanya sentralistik,” demikian Muslich.