Unik, Masjid Namira Surabaya Saldonya Selalu Nol Rupiah

Masjid Namira di Lamongan/RMOLJatim
Masjid Namira di Lamongan/RMOLJatim

Masjid Namira bukan masjid biasa. Masjid ini sudah menjadi ikonik dengan nuansa Timur Tengah. Makkah dan Madinah, dua kota ini yang melatarbelakangi pembangunan masjid Namira di Jalan Raya Raya Mantup, Kilometer 5, Desa Jotosanur, Kecamatan Tikung, Kabupaten Lamongan, Jawa Timur.


Masjid ini dibangun oleh pasangan Helmy Riza dan Eny Yuli Arifah. Pembangunan masjid ini tidak ada campur tangan pemerintah, melainkan dibangun oleh orang asli Lamongan.  Ada yang bilang nama masjid diambil dari nama salah seorang putri Helmy-Eny yakni Ghassani Namira Mirza. Sementara menurut takmir masjid, nama Namira diambil dari nama salah satu masjid yang ada di Padang Arofah Arab Saudi.

Dengan suasana yang bersih dan asri menambah kekhasan masjid yang dibangun tahun 2013 itu. Sehingga para musafir yang sedang melintas di Kabupaten Lamongan merasa terketuk untuk mampir beribadah maupun berselfie ria.

Masjid awalnya memiliki luas 1 hektare dan mampu menampung 500 jamaah. Namun pada perkembangannya, masjid ini diperluas dan dibangun lagi kurang lebih 2,7 hektare dan mampu menampung jamaah hingga tiga kali lipat dari bangunan sebelumnya.

Ketika memasuki masjid, kita akan disuguhkan pemandangan kiswah berukuran besar di bagian depan mihrab imam yang sengaja didatangkan dari Masjidil Haram, berdiri kokoh dan dilindungi kaca. Kiswah-kiswah berukuran kecil pun juga dipajang di sekeliling area dalam masjid.

Salah satu pengunjung asal Jombang, Muhammad Alfarabi mengaku sangat takjub akan keindahan dan kemegahan masjid yang berdiri sebelum masuk Kota Lamongan. Keindahan itu nampak dari Jalan Raya Tikung dengan menara yang khas menjulang ke langit yang di desain kekinian.

“Masjid Namira sangat ikonik dan sangat nyaman untuk beribadah. Ada banyak fasilitas tersedia, terlebih desain yang kekinian dan sangat bagus, sehingga tak jarang jamaah pasti menyempatkan diri berswapoto, mengagumi kemegahan masjid," ungkap Alfarabi dikutip Kantor Berita RMOLJatim.

Bagian dalam masjid Namira/Net

Salah seorang jamaah yang biasa beribadah di masjid Namira, Faisol mengaku senang beribadah di masjid ini karena suasana dan nuansanya yang khas. Faisol mengaku bisa merasakan suasana beribadah seperti di tanah suci meski belum pernah ke tanah suci.

“Suasana khas dan arsitekturnya mengingatkan kita akan masjid-masjid di tanah suci,” terangnya.

Jamaah asal Sidoarjo, Mayang mengaku jika rindu Baitulloh, ia bersama keluarga sengaja datang ke Masjid Namira.

“Kalau kangen Masjidil Haram, saya dan keluarga sengaja datang ke masjid ini. Benar-benar bisa merasakan nuansa Mekkah dan Madinah kalau sudah ada di sini,” jelas Mayang.

Menurut informasi, kepengurusan masjid memiliki tiga bidang. Pertama, bidang idarah yang di bawahnya terdapat seksi perencanaan, seksi administrasi, dan seksi dokumentasi. Selanjutnya, ada bidang imaroh yang membawahkan seksi peribadatan, seksi pendidikan, dakwah, sosial kemasyarakatan, majelis taklim, perpustakaan, remaja masjid, dan pemberdayaan perempuan.

Terakhir, ada bidang rikyah. Di bawahnya terdapat seksi keamanan, seksi pemeliharaan bangunan, lingkungan hidup, serta peralatan dan perlengkapan.

Bangunan masjid terbagi menjadi dua bangunan. Bangunan pertama digunakan untuk taman pendidikan Al Quran, sedangkan bangunan kedua digunakan sebagai tempat salat dan pengajian.

***

Yang menarik dari Namira, yakni tata cara pengelolaan masjid yang “tidak biasa”. Ya, sistem pengelolaan Namira bagi sebagian orang yang pernah singgah, dinilai sangat profesional dan layak dijadikan panutan bagi masjid-masjid lain di Indonesia. 

Ya, kabarnya biaya perawatan masjid Namira setiap bulan menghabiskan Rp 200 juta. Ini jika mengacu pada jumlah petugas hingga untuk keperluan membayar rekening listrik dan untuk kebutuhan air bersih. Imam di masjid ini sengaja dipilih para penghafal Alquran yang memiliki gaya bacaan seperti hafiz dari Arab Saudi.

Tapi tahu tidak, jika masjid Namira saldonya selalu kosong. Padahal banyak jamaah yang datang dan bersedekah. Sementara pengurus masjid mengaku bangga jika saldonya 0.

Kenapa bisa begitu? Padahal di saat banyak masjid di Indonesia menyimpan dana infak hingga berjuta-juta rupiah, Namira malah membuat saldonya kosong.

Kiswah masjid Namira yang didatangkan langsung dari Masjidil Haram/Net

Usut punya usut, menurut pengurus masjid yang enggan disebutkan namanya mengatakan, uang sedekah jamaah harus kembali ke jamaah.

“Kami takmir malu kalau uang jamaah menumpuk di kotak infaq,” katanya.

Menurut dia, saldo masjid nol rupiah menandakan takmir kreatif karena selalu punya program untuk jamaah masjid. Sebaliknya, jika masjid punya saldo “berlimpah” berarti itu masjid gagal.

“Itu berarti takmirnya miskin kreativitas. Inilah prinsip kami,” seru dia.

Jika masjid-masjid di Indonesia tidak membuka pintunya pada jam-jam tertentu dengan alasan menjaga keamanan, seperti takut infaq masjid dicuri orang dan lain sebagainya. Masjid Namira justru kebalikannya. Pintu masjid malah dibuka selama 24 jam. Para musafir boleh rehat dan tiduran di teras. Dan bagi yang sedang iktikaf disediakan tenda untuk menginap tidur, dan makanan sahur bagi yang mau berpuasa.

Seperti pengakuan seorang musafir dari Surabaya, Budi Lesmono. “Saya waktu itu kemalaman seusai melakukan perjalanan dari Semarang ke Surabaya. Saya lantas mampir ke masjid (Namira). Saat itu waktu sudah menunjukkan pukul 01.00. Saya juga sudah kecapekan dan ngantuk. Penginnya sholat malam dan lesehan. Setiba di masjid, saya pikir tutup tapi ternyata buka selama 24 jam. Tidak biasanya ada masjid yang membuka pintu 24 jam. Saya juga dapat istirahat sebelum kembali melanjutkan perjalanan,” terang Budi.

Menurut Budi, di dalam masjid memang terdapat satpam. Tapi tugas satpam bukan untuk menjaga uang infaq.

“Saya pikir siapa yang mau mencuri infaq masjid, toh memang tidak ada uangnya. Kata satpam itu, percuma kalau maling masuk masjid Namira, sebab tidak ada yang bisa dicuri. Soalnya masjid ini tidak ada saldonya,” cerita Budi.

Diakui takmir masjid, Namira sebenarnya dibanjiri donatur. Setiap acara-acara tertentu, seperti pengajian, banyak donatur datang dari berbagai daerah. Dan lagi-lagi, takmir masjid harus berpikir keras bagaimana menghabiskan uang itu.

Salah satu terobosan yang dibuat, yakni mendatangkan imam salat, khususnya salat Tarawih, dari Timur Tengah pada bulan Ramadan. 

Selain itu takmir dan Yayasan Namira berusaha melayani jamaah agar bisa menjalankan ibadah secara kusyuk sekaligus memberi ilmu. Sehingga, jamaah bisa puas menjalankan ibadah sekaligus bisa menambah ilmu keagamaan.

Yang menarik, takmir masjid juga membuat terobosan dengan menggunakan mesin absensi sidik jari elektronik. Namun, jangan dikira mesin tersebut untuk absensi para petugas masjid. Mesin sidik jari itu untuk merekam data anak-anak yang mengikuti program salat berjamaah.

Kreativitas takmir masjid ditunjukkan dengan menggiatkan “Gerakan Anak Cinta Masjid” melalui “Program Aku Cinta Masjid”.

Program ini untuk merangsang anak agar rajin salat berjamaah. Untuk setiap anak yang salat berjamaah akan mendapatkan satu poin. Khusus salat Subuh berjamaah, nilainya dua poin. Bagi yang berhasil mengumpulkan 90 poin setiap bulan, jamaah akan mendapatkan beasiswa Rp 100 ribu per bulan.

Tak hanya itu, 10 peserta dengan poin terbanyak setiap bulan, akan mendapatkan tambahan beasiswa lagi masing-masing Rp 100 ribu.

Dengan program ini, setiap peserta akan mudah terlihat tingkat kehadirannya dalam salat berjamaah. Petugas masjid pun tak perlu susah payah mendata anak yang salat setiap saat karena semua data terekam di mesin sidik jari.

Guna menggiatkan aktivitas salat Subuh berjamaah, masjid ini juga memiliki Warung Subuh Gratis. Program tersebut berupa menggelar sarapan bersama setiap Minggu di teras masjid. Jamaah bisa memilih sendiri jenis makanan kesukaan. Dari nasi bungkus, nasi jagung, lontong sayur, mi instan, aneka gorengan, hingga minuman teh, kopi, dan susu jahe.   

“Makin habis makin datang donatur yang lebih besar. Kami hanya ingin agar sedekah dari jamaah segera berubah jadi pahala. Justru kalau uangnya ngendon saja, kami sebagai takmir merasa berdosa. Sedekah mereka terlambat jadi pahala karena belum ada kegiatan yang diwujudkan dari uang yang kita terima. Makanya motto kami: usahakan saldo bisa nol,” demikian takmir.

Tidak bisa dipungkiri, masjid Namira memiliki visi sebagai pusat penyatuan umat dalam ibadah, dakwah, pendidikan, dan manajemen menuju masyarakat madani. Sementara misinya adalah mengembangkan ibadah dan dakwah, mengembangkan pendidikan akhlakul karimah, mengembangkan manajemen masjid, dan mengembangkan fasilitas dan sarana-prasarana. Sementara moto masjid adalah ikhlas dalam melayani umat dan profesional. Jadi, apakah Anda tertarik mengelola masjid di lingkungan Anda seperti Masjid Namira?