Musuh Besar Demokrasi

Moh. Trijanto/Istimewa
Moh. Trijanto/Istimewa

MUNGKIN beberapa tahun terakhir ini, para penguasa di belahan dunia manapun sangat sadar mereka tidak bisa membendung arus informasi. Seperti biasa dalam politik, jika tidak bisa mengalahkan lawan, maka harus memeluknya, bekerjasama, dan menggunakannya untuk kepentingannya.

Itulah yang terjadi dalam media sosial. Penguasa memakai media sosial dengan sangat efektif. Di banyak negara, taktik ini berhasil membungkam demokrasi.

Kita tentu tahu bahwa Donald Trump memenangkan Pilpres di Amerika tahun 2016 karena media sosial. Dia dibantu Rusia. Sebuah strategi politik yang sangat cerdik. Sejak saat itulah para penguasa di dunia, khususnya para tiran dan diktator, belajar untuk bagaimana menguasai media sosial untuk kepentingan pelestarian kekuasaan mereka.

Pendeknya, media sosial menjadi alat politik yang sangat penting—dan efektif. Tidak ada pemilihan umum yang dilakukan tanpa media sosial. Twitter, Facebook, Instagram, dan tentu saja WhatsApp (yang dimiliki oleh Facebook) menjadi medium kampanye yang harus dikuasai para politisi.

Apakah kita sudah mengalami ini di Indonesia? Sepertinya sudah dimulai sejak tahun 2014. Begitu banyak politisi Indonesia yang memiliki infrastruktur media sosial.

Mungkin sudah 2 kali pemilihan presiden di negeri ini (2014 dan 2019) telah membawa peran media sosial ke tingkat yang lebih tinggi.

Ini adalah periode naiknya kekuatan strategis media sosial lewat 'agency’ yang bernama buzzer dan influencer. Merekalah yang membentuk opini dan membuat informasi yang menguntungkan politisi yang mereka dukung.

Seringkali kita menyaksikan bagaimana para buzzer dan influencer ini sangat aktif. Mereka berperang membela kandidatnya (membela yang bayar!) dengan kegigihan seperti seekor anjing menjaga anak-anak yang baru lahir. Hasilnya, kita tahu, pemilihan kita menjadi sangat ‘toxic’, sangat beracun.

Pemilu yang seharusnya menjadi wujud demokrasi yang beradab, di tangan para buzzer menjadi sangat brutal dan biadab. Perkawanan pecah, keluarga tercerai berai, bahkan komunitas menjadi berantakan akibat agitasi, propaganda, dan provokasi.

Bahkan setelah pemilihan umum selesai, peranan buzzer dan influencer tidak menyurut. Hampir setiap pejabat memeliharanya.

Apalagi buzzer dan influencer kini menjadi usaha solutif paling menjanjikan di tengah pagebluk pandemi corona. Mereka hanya tetap kerja di rumah sambil pegang handphone.

Maka, patut diduga buzzer dan influencer sekarang sudah secara resmi dilembagakan secara formal. Kebijakan dan keputusan pemerintah sekarang dijaga oleh para buzzer. Merekalah yang bertugas membungkam kritik dan menciptakan realitas yang lebih sesuai dengan versi penguasa.

Penguasapun makin bertingkahlaku dengan membuat kebijakan yang lebih “made for social media”. Kalau bisa, kebijakan pemerintah harus instagramable, harus indah di instagram dan menarik banyak like dan followers.

Tidak mengherankan jika pemerintah sekarang ini sangat terobsesi dengan golongan milenial—yang selalu dipersonifikasikan sebagai orang muda, kaya, sukses, dan punya perusahan start up. Seakan negara ini ada hanya untuk para milenial. Seakan warga negara yang hidup bernafas makan dan berak itu tidak ada. Warga negara tidak lagi berbentuk fisik, namun mereka semua hanyalah netizen.

Apakah konsekuensinya? Menurutku sih sangat besar. Media sosial adalah sebuah bubble of realities (gelembung kenyataan). Ingat bahwa saat ini kita semua sedang hidup di sana. Tapi, persoalannya menjadi sangat lain ketika bubble of realities ini menjadi alat pemerintahan, menjadi teknik dan instrumen kekuasaan.

Penguasa bisa saja memperlihatkan sikap anti-korupsinya dengan bermain sinetron (drama). Sementara di sisi yang lain, mereka melemahkan semua platform anti-korupsi. Semua platform anti-korupsi menjadi jinak oleh dramatisasi anti-korupsi yang tanpa drama itu.

Penguasa memang sedang hidup dalam gelembung realitas itu. Namun, saya ingin mengingatkan secara tegas, bahwa barang siapa yang hidup dalam gelembung harus siap dihempaskan ketika gelembung itu pecah.

Penulis adalah ketua Komite Rakyat Pemberantas Korupsi (KRPK)