Burden Sharing Sampai 2022 Membahayakan Ekonomi Nasional, Memicu Resesi Lebih Dalam

Achmad Nur Hidayat/Net
Achmad Nur Hidayat/Net

SKEMA burden sharing BI-Pemerintah yang diperpanjang sampai 2022, mengabaikan pernyataan sebelumnya tentang one off policy hanya satu tahun yaitu 2020. Persoalan kredibilitas memuat kembali tentang komitmen penanganan Covid-19 dan pemulihan ekonomi sekaligus. 

Menteri Keuangan membuat kejutan pada Jumat pekan lalu. Dalam video conference Sri Mulyani Indrawati mengatakan bahwa pembagian beban alias burden sharing antara pemerintah dengan Bank Indonesia (BI) akan diperpanjang hingga 2022. 

Padahal saat skema burden sharing BI diketahui publik bersifat one off policy, yaitu hanya sampai 2020 atau 1 tahun saja. 

Alasan pemerintah memperpanjang skema burden sharing adalah karena pemerintah membutuhkan pembiayaan yang pasti dari BI seiring pelebaran defisit Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) di atas 3% yang telah ditentukan hingga tiga tahun ke depan (2020-2022). 

Pemerintah menjelaskan bahwa skema burden sharing diperpanjang sampai 2022 sesuai dengan UU Nomor 2 tahun 2020 yang akan terus dilaksanakan sampai 2022. 

Masalah Debt Monetization dan Fiskal yang Pruden 

Kebijakan skema burden sharing yang berlangsung lama akan menjadi kebijakan yang dikenal sebagai debt monetization. Debt Monetization oleh bank sentral di masa lalu menjadi polemik karena telah menjadikan kebijakan fiskal pemerintah menjadi tidak prudent. 

Ancaman dari debt monetization tersebut adalah inflasi dan nilai tukar yang tidak terkendali. Hal tersebut dapat menciptakan efek bola salju yang mengkhawatirkan bagi perekonomian. 

Dampak dari Skema Burden Berkepanjangan Membahayakan Perekonomian 

Para investor melihat monetisasi utang Pemerintah melalui Bank Indonesia merupakan tindakan yang berisiko tinggi karena dapat menyebabkan sudden shock terhadap arus modal dan pelemahan nilai tukar. 

Investor asing melihat bahwa pembelian SBN rupiah oleh BI akan menyebabkan minat mereka menjadi berkurang. 

Adalah moral hazard akan terjadi dalam pembiayaan defisit APBN dimana belanja negara menjadi tidak efektif dan juga dapat menyebabkan independensi BI teramputasi. 

Skema burden sahring yang berkepanjangan akan menyebabkan penurunan sovereign credit, kehilangan kepercayaan investor dan memicu pelemahan nilai tukar rupiah. 

Secara histori, saat BI dimandatkan membeli SBN di pasar primer pada Juni lalu, data transaksi aliran modal menunjukkan dari 29 Juni 2020 sampai 3 Juli 2020, terjadi aliran modal keluar (outflows) sebesar Rp 8,39 triliun, terdiri dari outflows SBN Rp 6,80 triliun dan saham Rp 1,59 triliun. 

Sementara data settlement, total outflows sebesar Rp 4,41 triliun, terdiri dari outflows SBN Rp 2,38 triliun dan saham Rp 2,02 triliun. Keluarnya aliran modal tersebut mendorong kepada pelemahan rupiah sekitar 1,8% selama Juli 2020 (mtd). Selama tahun 2020, Rupiah melemah sekitar 3,6% (ytd). 

Skema Burden Sharing BI-Pemerintah Menyebabkan Inflasi Tidak Terkendali di 2022 

Berdasarkan simulasi diperoleh bahwa Pembelian SBN oleh BI untuk Public Goods sebesar Rp 397,6 triliun pada tahun 2020 meningkatkan inflasi pada tahun 2021 sekitar 4,88% hingga 6,69%. 

Pembelian SBN oleh BI untuk Public Goods, UMKM, dan Korporasi sebesar Rp 574,6 triliun pada tahun 2020 meningkatkan inflasi tahun 2021 sekitar 5,26% hingga 8,15%. Kenaikan inflasi masih berlanjut pada tahun 2022 menjadi sekitar 3,26% hingga 4,13%. 

Untuk informasi inflasi tahun 2020 diprediksi sekitar 2.49% tanpa pembelian SBN oleh BI. Bila memperhitungkan pembelian SBN oleh BI, inflasi tahun 2020 menjadi 3.35-3.65%. 

Inflasi 2022 dapat mencapai 8.15% dengan asumsi skema burden sharing BI-Pemerintah hanya terjadi satu tahun, 2020 saja. Namun Inflasi 2022 dapat mencapai 9,38-10.38% bila skema burden sharing BI-Pemerintah diperpanjang sampai 2022. Bahkan dampak inflasinya masih terdampak sampai 2024 dengan penambahan inflasi sekitar 3.29%. 

Kesimpulan 

“Burden Sharing” sebagai permasalahan kompleks dan serius. Tidak hanya menyangkut “pembagian beban” atas bunga utang Pemerintah. Tapi berdampak negatif pada kredibilitas kebijakan fiskal dan moneter yang selama ini telah diakui dan diapresiasi. Juga menyangkut “beban politik” antara pemerintah sekarang dan mendatang. 

Jelas sekali, bahwa Burden Sharing yang diperpanjang sampai 2020 akan berdampak negatif terhadap inflasi, nilai tukar, yield SBN, dan konfiden investor. Dampaknya dapat menyebabkan stabilitas makro akan terguncang dan akhirnya akan menyebabkan resesi yang lebih dalam. 

Oleh karena itu atas nama kepentingan nasional, Otoritas keuangan perlu mitigasi risiko resesi dan risiko defisit neraca keuangan baik dari sisi kebijakan moneter (“exit strategy”) maupun dari sisi kebijakan fiskal. 

Pakar Kebijakan Publik Narasi Institute