BAGONG NJAMBAL (24)
KRESNA dan Bagong tiba di Ngamarta. Sepi. Nyenyet. Hanya segelintir prajurit yang berjaga.
Basudewa bertanya ke prajurit. Tidak mendapat jawaban memuaskan. Sejak Pandawa keluar dari Ngamarta dan perang melawan Ratu Kembar, sampai sekarang belum kembali. Padahal Ratu Kembar sudah dikalahkan Semar.
Basudewa lantas berkata pada Bagong, “Bagong, aku kembali dulu ke Dwarawati. Aku mau panggil Sencaki dan Udawa untuk bantu mencari Pandawa,” kata Kresna.
Bagong nampak kecewa. Sebab, dia kini sendirian.
“Ndoro kan bisa mencari Pandawa sama saya,” jawab Bagong.
“Bagong, kalau aku mencari Pandawa sama kamu susah ketemu. Kalau Sencaki bisa bergerak cepat. Lagipula Sencaki adalah senopati Dwarawati. Dia bisa menjaga ratunya. Kalau ada apa-apa di tengah jalan, aku tidak perlu repot-repot bertarung,” ujarnya.
Bagong bingung. Seperti tidak terima ditinggalkan Kresna.
“Ndoro ini titis Dewa Wisnu. Digdaya. Punya senjata cakra, punya kaca paesan, punya aji pameling, punya aji kawrastawan dan punya kembang cangkok wijayakusuma yang bisa menghidupkan orang mati. Kok tidak mau perang. Apa takut?”
“Husst, Bagong. Jangan ngawur gawan ngawur. Apa kamu pernah lihat Ratu Dwarawati perang. Tidak kan. Jadi biarlah seperti itu!” Elak Kresna.
“Halah, Ndoro takut perang kan. Terus ke mana-mana bawa Sencaki karena senopati itu doyan perang. Iya kan!” Bagong menuding-nuding Kresna.
“Wis embuh, sak karepmu, Bagong. Aku pamit. Jangan lupa tugasmu,” Kresna mengingatkan Bagong.
“Tugas apa, Ndoro?”
“Welgeduwelbeh.”
Sebelum dijawab, Kresna lantas menghilang dari hadapan Bagong.
Bagong celingukan. Heran. Kresna rupanya juga bisa menghilang seperti Semar.
“Oala, gak Semar, gak Kresna, yo yo, awas kalau ketemu lagi. Tak lempar telek lencung (kotoran hewan),” wanti-wanti Bagong.
Di tengah kesendiriannya, sesosok turun dari langit. Berdiri di belakang Bagong.
“Waru kencong waru doyong, pak pak pong buk bolong, kali code sopo sing gawe, Bagong,” sosok itu memanggil Bagong dengan bijaksana.
Bagong menoleh dan mendapati sosok itu dengan terkaget-kaget.
“Udussst, ini kok ada ceret di sini,” Bagong terbelakak. Bicaranya asal njambal.
“Eh, ceret lambemu. Bagong ojo duwe panyakrabawa elek sama orang. Ojo gawe kewirangan. Aku dewa,” sahutnya.
“Sampeyan dewa kok elek dan cebol!”
“Eh, Bagong ojo celometan. Tak sabdo jadi munyuk!”
“Ampun, Pukulun. Jangan ubah saya jadi munyuk, ubah saja saya jadi Arjuna,” celetuknya.
Sosok yang kemudian dikenal sebagai Betara Narada itu sempat naik pitam, “Oh, Bagong setan,” umpatnya.
Seketika itu emosi Narada dibuat reda. Buru-buru Bagong menimpali, “Dewa gak boleh marah. Nanti jadi manusia lagi lho!”
“Waru kencong waru doyong, pak pak pong buk bolong, kali code sopo sing gawe, wis… wis… kalau sama Bagong semua kahanan jadi ambyar,” Narada mengelus dada.
“Eh, waru gembol…waru gembol…sumo rante…sumo rante…howelo…howelo…!”
“Bagong asu, malah menirukan omongan Begawan Durna!” Seru Narada.
“Ampun, Pukulun. Saya sudah tahu kalau sampeyan Dewa Narada,” sahut Bagong.
“Kok Batara Yamadipati tidak diajak, Pukulun!”
“Buat apa kamu cari Yamadipati, Bagong,” kata Resi Kanekaputra, julukan Narada.
“Kalau sampeyan tidak sama Yamadipati, sebaiknya balik saja ke kahyangan!”
“Lho…lho…piye toh ini, dewa malah diusir.”
“Lha aku butuhnya sama Yamadipati, kok yang turun malah ceret!” Seru Bagong.
“Bagong, kamu ada urusan apa dengan Yamadipati?”
“Aku mau minta tolong, Pukulun. Aku mau Yamadipati mencabut nyawa Welgeduwelbeh,” pinta Bagong.
Batara Narada lantas menjelaskan bahwa tidak semudah itu dewa mencabut nyawa manusia. Kalau belum waktunya Yamadipati tidak bisa mencabut nyawa sembarangan, meski itu seburuk-buruknya manusia.
“Sekarang aku mau menugasi kamu, Bagong. Kamu pergi ke Ngastina. Temui Kurawa. Bilang pada mereka untuk menghentikan angkara murka yang telah diperbuat. Kalau tidak mau, hajar!”
Mata Bagong langsung terbelalak mendengar ucapan Narada.
“Sampeyan sinting ya. Kurawa jumlahnya 100. Belum prajurit-prajuritnya. Sedangkan Bagong cuma batur. Mana bisa mengalahkan mereka,” greget Bagong.
“Jangan khawatir Bagong, kamu tak kasih kasekten. Aku manjing ke dalam ragamu. Kalau sudah begitu, kamu akan sakti, tiada yang bisa menandingi,” ucap Narada.
"Bener, Pukulun tidak bohong. Wah Bagong nggeleleng. Welgeduwelbeh bisa tak hajar kowe!”
Bagong pun disuruh memejamkan mata. Mengheningkan cipta. Tangan diletakkan di pundak. Setelah itu Bagong menahan nafas. Tidak lama kemudian, Batara Narada masuk ke raga Bagong.
“Bagong, sekarang buka matamu!” Narada berkata dari dalam tubuh Bagong.
Pelan-pelan Bagong membuka mata. Dia sudah tidak mendapati Batara Narada di hadapannya. Tapi kata-katanya sangat dekat.
“Pukulun di mana?”
“Aku manjing di tubuhmu, Bagong!”
“Eh iya Pukulun. Terus saya bisa apa sekarang?”
“Kamu bisa terbang seperti Kresna. Kamu bisa ambles ke bumi seperti Antasena. Tubuhmu kuat seperti Werkudara. Kamu bisa berganti-ganti wujud,” seru Narada.
Sejenak Bagong memperagakan kesaktiannya. Dan benar, dia bisa terbang dan ambles ke bumi. Dia bisa berubah wujud sesukanya.
“Saya percaya sekarang Pukulun. Lantas tugas saya apa ke Ngastina?” Tanya Bagong.
“Duryudana dan sonto Kurawa membuat onar pasca sepeninggal Pandawa. Dunia tidak lagi imbang. Hanya ada keburukan. Rakyat diadu domba. Mayapada kacau. Kebijakan yang diterapkan Welgeduwelbeh merugikan rakyat kecil. Ini harus dihentikan,” tandasnya.
“Siap berangkat, Pukulun. Hei, Kurawa. Sekarang kalian tak aturi jogo jagang sing jero, benteng sing kandel, negara Ngastina akan aku bumihanguskan,” teriak Bagong kemudian melesat merambah dirgantara secepat kilat.
Hanya dalam sekejab Bagong tiba di kerajaan Ngastina. Sejumlah prajurit langsung menghadang. Bagong tidak menyia-nyiakan kesempatan. Sekalian mencoba kesaktian baru, seluruh perajurit dihajar hingga tidak tersisa.
“Hei, Duryudana. Sonto Kurawa. Keluar kalian. Jangan sembunyi,” tantang Bagong.
Memasuki kerajaan Ngastina, Bagong melihat Duryudana ditemani Kurawa. Mereka menyambut Bagong dengan pandangan hina.
“Ini siapa ada manusia matanya besar, mendonong kayak telur ceplok, masuk kerajaan tanpa unggah ungguh?” Heran Duryudana.
“Ampun anak ratu, ini adalah Bagong,” sahut Durna yang berdiri di samping ratu.
“Hei Bagong, kenapa kamu buat onar di kerajaan Ngastina. Apa kamu sudah bosan hidup. Kamu ini hanya abdi,” celetuk Sengkuni.
“Terserah aku. Wong cilik bisa berbuat semaunya. Mau kencing di kerajaan ini, bebas, kamu mau apa!” Tantang Bagong.
“Bagong ini wong kere. Anaknya Semar Badranaya. Tidak punya tata krama. Diusir saja,” perintah Sengkuni.
“Udussst, jangan sembarang mengusir orang. Istana ini bukan milik Ratu Duryudana. Para Kurawa juga tidak berhak berada di sini. Kalian ini diberi amanah sama rakyat. Harusnya amanah itu dijaga dengan baik. Tapi kerja kalian hanya menyusahkan rakyat. Terus-terusan memupuk watak angkara budi candala,” timpal Bagong.
“Bagong, jaga ucapanmu. Apa maksudmu kami menyusahkan rakyat!” Begawan Durna maju mendekati Bagong.
“Lihat kebijakan yang kalian perbuat. Rakyat sekarang sedang diserang pagebluk. Kalian bukannya membantu mengatasi pagebluk, justru malah bikin kebijakan yang membuat susah rakyat.”
“Susah darimana. Kita justru menyederhanakan aturan agar bisa dinikmati rakyat!” Seru Durna.
“Menyederhanakan lambemu suwek, Dur. Ini namanya mencari untung di atas penderitaan rakyat. Petani, pedagang, buruh, pelajar, akan dirusak oleh aturan yang kalian buat. Pagebluk mungkin bisa menghapus beberapa orang hingga satu generasi. Tapi aturan yang kalian buat akan mengancam tujuh generasi,” ucap Bagong dengan nada tinggi.
“Cangkemmu yang baik kalau ngomong, Bagong. Jaga nada bicaramu. Kalau ngomong sama ratu jangan njambal. Ingat, kamu berada di negara Ngastina,” Durna mengingatkan.
“Terserah aku. Ini cangkem-cangkemku sendiri, terserah mau ngomong apa. Jawata (dewa) menciptakan titah (manusia) punya mulut untuk menyampaikan kebenaran,” balas Bagong.
“Oh, waru gembol…waru gembol…sumo rante…sumo rante…howelo…howelo…Bagong edan. Anak ratu, Bagong tidak usah diladeni. Kita usir saja dia!” Seru Durna.
“Waru kencong waru doyong, pak pak pong buk bolong, kali code sopo sing gawe, kalian mau mengusir aku, silahkan kalau bisa,” Bagong menantang.
“Oh Bagong edan, ucapan Batara Narada dipakai. Kamu ini sebenarnya kangsupan siapa, kok jadi edan begini?” Sengkuni menyahuti.
“Kangsupan Betara Narada,” Bagong terkekeh-kekeh.
Jawaban itu dikira guyonan. Seketika seisi kerajaan menertawai Bagong.
“Wis gak usah guneman tanpa guna, sekarang aturan itu mau dihapus atau tidak!” Ancam Bagong.
“Kalau tidak, kamu mau apa?” Balas Durna.
“Perang!”
“Hah, kamu berani melawan Kurawa!” Kaget Durna.
“Kurawa itu budhek, Kurawa itu buta, Kurawa itu bisu,”
Mendengar jawaban Bagong, semua Kurawa langsung berdiri. Kompak senjata dikeluarkan dari sarungnya.
“Bagong, jangan menghina Kurawa. Kamu belum pernah merasakan pusakaku Cundo Manik. Hancur lebur tubuhmu!” Ancam Durna.
Dengan santai Bagong menjawab. Bahwa apa yang dikatakannya sesuai kenyataan. Kurawa memang budhek, buta, dan bisu karena tidak mau mendengar dan melihat penderitaan rakyat. Saat rakyat menuntut kemakmuran, Kurawa jadi bisu.
“Ratu Tanah Jawi selalu dekat dengan kawula. Tirulah Ratu Ngamarta. Dia sangat disayangi rakyatnya. Tapi Ratu Ngastina malah sebaliknya. Bisanya hanya janji muluk-muluk. Duryudana janji mau menyingkirkan pagebluk. Nyatanya tidak becus mengatasi pagebluk. Rakyat tidak butuh janji. Apalagi janji Welgeduwelbeh. Janjinya sundul langit tapi tidak satu pun yang kelakon. Rakyat tidak minta apa-apa dari pemimpin. Rakyat hanya mau diayomi dan didengar aspirasinya. Dan Kurawa sebagai perwakilan rakyat justru berkhianat. Baik Welgeduwelbeh, Duryudana maupun Kurawa, kini mbidhek semua,” tutur Bagong.
“Rakyat tidak butuh bronopicis (harta). Maunya rakyat adalah kesejahteraan. Negeri ini gemah ripah loh jinawi, toto tentrem kerto raharjo. Negeri ini kaya alamnya, subur, tentram, guyup, dan rukun. Namun semua itu hilang oleh ulah bejat Welgeduwelbeh dan cecunguk-cecunguknya. Semua yang kalian lakukan patpatgulipat. Rakyat diadu domba dengan aturan-aturan yang tidak jelas. Kalian bisanya hanya memupuk bondo dunyo. Sebagai pemimpin dan wakil rakyat, yang ada di otak kalian hanya urusan derajat dan pangkat. Sementara rakyat dibuat menderita tujuh turunan,” tegas Bagong.
Ucapan Bagong membuat suasana kerajaan Ngastina memanas. Para Kurawa tidak terima disebut pengkhianat, meski nyatanya memang demikian.
Mendengar ucapan anak Semar berapi-api tanpa bisa dihentikan, Sengkuni langsung memerintahkan Kurawa untuk menangkap dan membunuh Bagong.
“Kurawa, siap-siap rudoparipekso Bagong. Jangan kasih ampun!” Perintah Sengkuni.
“Ya, ternyata begitu cara kalian memperlakukan wong cilik. Kedok kalian sudah kelihatan. Ayo, mana papane wong neter kadikdayan,” Bagong tidak keder sama sekali.
“Ketiban awu anget jangan sebut nama Bagong. Ayo kalian para Kurawa maju kalau gak mau tinjung akherat nyawamu,” tantang Bagong seketika itu merangsek keluar dari istana Ngastina disusul Kurawa.
Penulis adalah wartawan Kantor Berita RMOLJatim
ikuti terus update berita rmoljatim di google news