Intervensi Kemendikbud Dalam Menyelesaikan Kasus Plagiarisme Di USU, Perlukah?

Gurubesar Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara, Prof Edi Warman/Net
Gurubesar Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara, Prof Edi Warman/Net

DALAM kasus self-plagiarism Dr Muryanto Amin, S.Sos., M.Si., Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia dan Majelis Wali Amanat Universitas Sumatera harus objektif.

Jangan sampai keluar dari koridor Peraturan Perundang-undangan yang berlaku, khususnya Peraturan Pemerintah 16/2014 Tentang Statuta Universitas Sumatera. Jangan sampai pihak Kementerian Dikbud dan MWA-USU tergelincir dan mengambil kebijakan serta keputusan yang berujung pada situasi yang lebih buruk.

Patut dicermati secara hati-hati bahwa, memang ada aturan dalam Peraturan Pemerintah 16/2014 Tentang Statuta USU, yang dalam Pasal 27, ayat (1) huruf f, mengatakan bahwa, "MWA menangani penyelesaian tertinggi atas masalah yang ada di USU". Selanjutnya Pasal 27 (2) berbunyi, "Dalam hal penyelesaian masalah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) f, tidak dapat diselesaikan, masalah diselesaikan oleh Menteri."

Jadi ada dua tahapan, tahap pertama selesaikan dulu permasalahan USU pada tingkat MWA. Pada tahap kedua jika hal itu tidak dapat diselesaikan pada tingkat MWA, barulah persoalan itu diselesaikan oleh Menteri. Akan tetapi obyek permasalahan yang hendak diselesaikan itu harus juga dicermati lebih dahulu, apakah persoalan itu  memang layak diserahkan kepada MWA dan Menteri.

Kalau itu persoalan ketidakterimaan atas penjatuhan sanksi etik, itu bukan persoalan USU, itu persoalan pribadi subyek melakukan pelanggaran etik itu. Sama dengan jika salah seorang dosen USU dinyatakan oleh Rumah Sakit USU dalam surat keterangannya terdeteksi positif Covid-19, lalu yang bersangkutan menolak, apakah itu masuk dalam ranah permasalahan USU?

 Begitulah masalah tentang ada tidaknya perbuatan plagiarisme yang dilakukan oleh sivitas akademika USU. Sebab hal itu telah diputus berdasarkan kewenangan Komisi Etik dan Kewenangan Rektor yang otonom dengan status USU sebagai Perguruan Tinggi Badan Hukum.

Jika persoalan ada atau tidaknya pelanggaran etik termasuk pada ranah Kemendikbud dan MWA-USU, maka ini sama artinya kedua lembaga ini telah "mengangkangi" keberadaan Komite Etik dan Rektor USU. Padahal peristiwa seperti itu bukan yang pertama kalinya diputus di Universitas Sumatera Utara.

Harus dicatat Komite Etik adalah satu badan khusus yang diberi kewenangan untuk memeriksa perkara pelanggar etik dan norma akademik di lingkungan USU di mana Rektor sendiri tidak ikut menjadi anggota. Keputusan Rektor yang didasarkan pada keputusan Komite Etik bersifat final dan mengikat, dan Kementerian serta MWA bukanlah lembaga banding yang akan memeriksa ulang keputusan itu.

Jika itu yang dilakukan, maka itu sama artinya Kementerian Dikbud dan MWA-USU memporak-porandakan sistem pengelolaan manajemen USU yang sudah dibangun selama bertahun-tahun. Mungkin langkah berikutnya, Komite Etik USU sudah saatnya untuk dibubarkan.

Persoalan Yang Masuk Dalam Ranah MWA Dan Kemendikbud

Jika demikian halnya, manakah masalah USU yang tidak terselesaikan yang harus diselesaikan oleh Kementerian dan MWA? Untuk menjawab itu rujuk kembali tupoksi MWA dan Kementerian Dikbud. Tidak semua persoalan USU menjadi ranah perdebatan yang harus diselesaikan oleh MWA dan Kemendikbud.

Menyimak kasus yang sedang dihadapi oleh USU saat ini yang menurut hemat saya yang masuk pada ranah MWA dan Kementerian adalah bagaimana menyikapi calon rektor terpilih yang sudah diputuskan melanggar etika publikasi ilmiah/etika akademik.

Dalam syarat calon rektor menurut Pasal 49 huruf c, h, dan m Peraturan Majelis Wali Amanat USU 16/2016 yang pada intinya menyatakan bahwa rektor, harus memenuhi persyaratan khusus yaitu memiliki moral dan etika yang baik; tidak pernah diberikan sanksi akademik karena melakukan plagiarisme dan tidak pernah melakukan perbuatan tercela/tidak terpuji.

Inilah yang harus diputuskan oleh MWA-USU terlebih dahulu. Setelah Dr. Muryanto Amin, S.Sos., M.Si., dijatuhkan sanksi melanggar etik oleh Rektor USU sebagaimana  tertuang dalam Keputusan Rektor USU 82/UN5.1R/SK/KPM/2021, tanggal 14 Januari 2021, langkah apa yang harus diambil oleh MWA-USU? Ini dulu yang harus diselesaikan pada tingkat MWA.

Apakah mengangkat pelaksana tugas rektor, atau mengangkat pejabat sementara rektor, pembukaan pendaftaran pencalonan rektor baru sampai ada rektor definitif, dan seterusnya. Jika hal ini tidak dapat diselesaikan di tingkat MWA, baru kemudian diselesaikan pada tingkat Menteri. Menurut hemat saya ini akan segera selesai pada tingkat MWA, apalagi Menteri adalah salah seorang anggota MWA secara ex-officio.

Jadi jangan lagi dibuka soal kasus pelanggaran etik Dr. Muryanto Amin, S.Sos., M.Si. yang sudah final dan mengikat. Sebab kalau itu dibuka lagi perdebatannya akan panjang.

Alasan saya untuk mengakhiri itu karena langkah-langkah yang diambil rektor dan komite etik telah mengikuti koridor dan peraturan perundang-undangan yang berlaku di USU. Sebagai memperkaya kita semua dapat dirujuk kembali uraian saya di bawah ini.

Dasar Keputusan

Rektor mendasari keputusannya sedikit-dikitnya telah mengacu pada 5 (lima) peraturan terkait, yaitu: Pertama, Peraturan Menteri Pendidikan Nasional 17/2010 tentang Pencegahan dan Penanggulangan Plagiat di Perguruan Tinggi; Kedua, Peraturan Kepala LIPI 5/2014 Tentang Kode Etika Publikasi Ilmiah, tanggal 18 September 2014, yang dimuat dalam Berita Negara Republik Indonesia tahun 2014 Nomor 1385;

Ketiga, doktrin dan pendapat ahli, antara lain dari Assoc. Prof. Dr. Henry Soelistyo Budi, SH.,LL.M. Ahli tentang etika dan hukum plagiarisme, Prof. Tajuddin, yang pernah memberikan kesaksian tentang kasus plagiat di Universitas Gajah Mada dan Dr. Lukman Hakim, ST., M.Hum., Sekretaris LLDIKTI Wilayah VI Jateng, Kemendikbud dan juga pakar publikasi jurnal ilmiah, Kemenristek/BRIN;

Keempat, jurisprudensi atau putusan terdahulu yang pernah diputuskan oleh Rektor USU sebelumnya; Kelima peraturan rektor 37/2017 tentang Komite Etik, tanggal 3 Oktober tahun 2017.

Pelanggaran Etik Bukan Pelanggaran Hukum

Kasus self-plagiarism, double publication, salami publication atau publikasi ganda memang tidak ada diatur secara tegas dalam Peraturan-Peraturan Menteri Pendidikan Nasional 17/2010 tentang Pencegahan dan Penanggulangan Plagiat di Perguruan Tinggi, akan tetapi itu bukan peraturan satu-satunya yang berlaku di Indonesia khususnya menyangkut publikasi ilmiah.

Pemerintah ada menerbitkan peraturan khusus tentang hal itu, yakni Peraturan Kepala LIPI 5/2014 tentang Kode Etika Publikasi Ilmiah, tanggal 18 September 2014, yang dimuat dalam Berita Negara Republik Indonesia tahun 2014 Nomor 1385.

Peraturan yang disebut terakhir ini adalah peraturan yang harus dijadikan rujukan baik oleh Editor in Chief, Editor (pengelola jurnal), maupun penulis dalam mempublikasikan karya ilmiahnya. Peraturan Kepala LIPI ini mengikat secara etik pada setiap orang yang akan menerbitkan naskahnya.

Sebagaimana diketahui Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) adalah lembaga yang mengelola International Serial Data System (ISDS) yang di Indonesia berada di bawah kendali LIPI. Jadi LIPI adalah lembaga yang diberikan kewenangan oleh pemerintah untuk menerbitkan ISSN (International Standard Serial Number), yakni kode yang dipakai secara internasional untuk terbitan berkala.

LIPI dalam aturannya memuat tentang etika publikasi yang pada intinya para penulis, pengelola jurnal diharuskan untuk menjunjung tiga nilai etik dalam publikasi yaitu: 1. Kenetralan, bebas dari pertentangan kepentingan dalam publikasi, 2. Keadilan, yakni memberikan hak kepengarangan kepada yang yang berhak sebagai pengarang/penulis, dan 3. Kejujuran, yakni bebas dari duplikasi, fabrikasi, falsifikasi, dan plagiarism (DF2P) dalam publikasi.

Ketentuan etik lebih lanjut dimuat dalam Bab V Kode Etika Pengarang Jurnal Ilmiah butir 5.2.1. pada pokoknya menyatakan bahwa pengarang harus membuat pernyataan bahwa karya tulis yang diserahkan untuk diterbitkan adalah asli, belum pernah dipublikasikan di manapun dalam bahasa apa pun, dan tidak sedang dalam proses pengajuan ke penerbit.

Etika inilah yang dilanggar oleh Dr. Muryanto Amin, S.Sos., M.Si. yang dalam pertimbangan Rektor termasuk dalam unsur yang memberatkan, karena yang bersangkutan di samping menjabat sebagai Dekan pada Fakultas Ilmu Sosial dan Politik USU, yang bersangkutan juga adalah Editor in Chief pada jurnal Politeia, pada Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik USU, Publisher Talenta USU.

Sanksi yang dijatuhkan oleh Rektor USU, adalah sanksi pelanggaran etik, bukan sanksi pelanggaran hukum.

Oleh karena itu, jika Peraturan Menteri Pendidikan Nasional 17/2010 tentang Pencegahan dan Penanggulangan Plagiat di Perguruan Tinggi, tidak tegas atau belum tegas mengatur tentang hal itu, akan tetapi norma yang dimuat dalam Peraturan Kepala LIPI 5/2014 Tentang Kode Etika Publikasi Ilmiah, tanggal 18 September 2014, yang dimuat dalam Berita Negara Republik Indonesia Tahun 2014 Nomor 1385, membuat kasus ini menjadi terang benderang.

Bahwa yang dilanggar oleh Dr. Muryanto Amin, S.Sos., M.Si., adalah etika tentang publikasi ilmiah. Karenanya tidak ada kekeliruan dalam Keputusan Rektor Nomor: 82/UN5.1R/SK/KPM/2021, tanggal 14 Januari 2021 tentang penjatuhan sanksi pelanggaran etik yang dilakukan oleh Dr. Muryanto Amin, S.Sos., M.Si.

Dengan adanya ketentuan Etik Publikasi Ilmiah yang termuat dalam Peraturan Kepala LIPI 5/2014 Tentang Kode Etika Publikasi Ilmiah, tanggal 18 September 2014, yang dimuat dalam Berita Negara Republik Indonesia tahun 2014 Nomor 1385, maka tidak ada lagi alasan bahwa hukum positif tidak ada mengatur tentang hal itu.

Oleh karena itu tidak ada perdebatan tentang self-plagiat, sekalipun tidak diatur secara tegas dalam Peraturan Menteri Pendidikan Nasional 17/2010 tentang Pencegahan dan Penanggulangan Plagiat di Perguruan Tinggi.

Self-plagiarism, double publication, atau salami publication, atau publikasi ganda, seumpama kue yang sudah kedaluwarsa yang diberi label bertanggal baru. Itu kejahatan luar biasa yang tidak terampuni. Senada dengan perumpamaan itu, meminjam istilah Dr. Henry Soelistio Budi, self-plagiarism adalah kejahatan tak berdarah dalam dunia akademik.

Penyelesaian Oleh Kementerian

Pada Rapat Majelis Wali Amanat tanggal 14 Januari 2021, ada semacam rekomendasi atau saran bahwa penyelesaian kasus pelanggaran plagiarisme atas nama Dr. Mutryanto Amin, S.Sos., M.Si. diserahkan penyelesaiannya ke Mendikbud.

Menurut hemat saya, ini adalah langkah yang tidak tepat atau keliru, karena USU adalah Perguruan Tinggi Negeri Badan Hukum yang otonom, di mana kelembagaan tertinggi  yang menyelesaikan persoalan internal universitas ada di tangan MWA, di mana menteri merupakan salah seorang Anggota MWA secara ex-officio, sama dengan keberadaan Gubernur Provinsi Sumatera Utara dan Rektor Universitas Sumatera Utara.

Dari total 21 orang anggota MWA, Ibu Dr. Kartini Sjahrir Pandjaitan adalah sebagai Ketua yang secara kolektiof kolegial harus mengambil keputusan, bukan diserahkan kepada Kementerian yang merupakan salah seorang anggota MWA. Oleh karena itu, MWA jangan sampai keliru dalam mengambil keputusan  dan memposisikan lembaga tertinggi universitas ini, sesuai dengan Pemerintah 16/2014 tentang statuta USU.

Bahwa mengenai Keputusan Rektor terkait penjatuhan sanksi pelanggaran etik dan moral akademik sepenuhnya itu merupakan kewenangan rektor. Keputusan itu bersifat final dan mengikat.

Perlu diketahui bahwa kasus yang sama sudah pernah diputuskan oleh Rektor terdahulu dan dijatuhi sanksi yang sama. Jika kasus-kasus sebelumnya tidak pernah diserahkan kepada Kementerian untuk penyelesaiannya, tentu akan menimbulkan tanda tanya, mengapa terhadap kasus ini Kementertian turut mencampurinya, bahkan terkesan mengambil alih.

Tentu ini sama artinya Kementerian tidak menghormati Keputusan Rektor, dan mengenyampingkan keberadaan MWA dan tidak menjaga netralitas yang mengurangi kewibawaan USU dan hak-hak otonom yang dimiliki USU sebagai Perguruan Tinggi Badan Hukum.

Memang ada aturan dalam Peraturan Pemerintah 16/2014 Tentang Statuta USU, dalam Pasal 27, ayat (1) huruf f, MWA menangani penyelesaian tertinggi atas masalah yang ada di USU. Selanjutnya Pasal 27 (2) berbunyi dalam hal penyelesaian masalah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) f, tidak dapat diselesaikan, masalah diselesaikan oleh Menteri.

Mencermati bunyi ketentuan Pasal 27 ayat (1) huruf f, jelaslah bahwa setiap ada persoalan di USU yang tidak terselesaikan, maka penyelesaian tertinggi dapat diputuskan oleh MWA.

Jika dihubungkan dengan kasus plagiarisme yang dilakukan oleh Dr. Muryanto Amin, S.Sos, M.Si, sebenarnya persoalan itu sudah diselesaikan oleh rektor, tentunya MWA dan semua pihak harus menghormati keputusan rektor. Apalagi ranah sengketanya sepenuhnya berada dalam koridor kewenangan rektor. Sementara itu posisi MWA berada pada posisi pengawas umum.

Sebagai pengawas umum, MWA tentu tidak arif untuk tidak dikatakan tidak berwenang mengoreksi Keputusan Rektor yang dalam regulasinya disebutkan bersifat final dan mengikat. Bukankah regulasi itu menyangkut pelanggaran etik yang ditujukan kepada sivitas akademika USU yang sebelumnya juga dirujuk dalam kasus-kasus yang sama?

Bukankah juga regulasi itu ditujukan untuk membangun USU yang lebih bermartabat dan lebih bermarwah secara akademik? Bukankah regulasi itu telah mengantarkan dosen dan mahasiswa kita pada kualitas akademik yang bertanggung jawab, jujur dan memiliki integritas.

Bukankah itu juga yang dimaksud dalam regulasi yang diterbitkan oleh Kepala LIPI dalam peraturannya 5/2014 Tentang Kode Etika Publikasi Ilmiah, tanggal 18 September 2014, yang dimuat dalam Berita Negara Republik Indonesia tahun 2014 Nomor 1385?

Apakah pihak Kementerian dan MWA masih saja melihat kasus ini sebagai sebuah sengketa yang harus diselesaikan oleh Kementerian atau bahkan sudah memenuhi kualifikasi force major (darurat)? Rasanya sangat naif dan terlalu berlebihan, kalau tak boleh disebut memang ada nuansa politis untuk kepentingan tertentu.

Hal beginilah yang perlu diingatkan di tengah Mas Menteri mengumandangkan Merdeka Belajar-Kampus Merdeka, akan tetapi masih ada muatan kepentingan yang bertentangan dengan prinsip Kampus Merdeka-Merdeka Belajar itu.

Jangan kotori "Gagasan Menteri" yang selama ini sudah disahuti oleh pemimpin USU dengan bukti-bukti prestasi yang ditorehkannya. Oleh karena itu menurut hemat saya, Kementerian tak perlu mengambil alih penyelesaian mengenai pelanggaran etik dan etika akademik ini.

Jangan berikan contoh tidak baik bagi kalangan sivitas akademika USU dalam melahirkan karya-karya ilmiah akademik di masa datang. Bukan tidak mungkin setelah ini para dosen akan menduplikasi atau memfabrikasi atau mengkloning tulisannya untuk kemudian dijadikan salah satu syarat untuk kenaikan pangkat dan memohon insentif di Universitas. Tentu hal itu tidak kita harapkan.

Oleh karena itu sekali lagi, kami ingatkan pihak Kementerian dan Majelis Wali Amanat harus hati-hati dan objektif dalam mendudukkan kasus ini, jangan digantungkan pada faktor-faktor lain. Hendaknya ini murni dipandang sebagai perbuatan hendak menegakkan etika dan norma akademik, terkhusus lagi penegakan etika publikasi ilmiah, sesuai Peraturan Kepala LIPI 5/2014 Tentang Kode Etika Publikasi Ilmiah, tanggal 18 September 2014, yang dimuat dalam Berita Negara Republik Indonesia tahun 2014/1385, yang pada intinya tulisan yang dipublikasikan  itu, bebas dari publikasi, fabrikasi, falsifikasi dan plagiarisme (DF2P).

Oleh karena itu, Kementerian tak perlu mengambil alih penyelesaian mengenai pelanggaran etik dan etika akademik ini. Karena hal itu telah diselesaikan dengan baik melalui badan resmi bentukan universitas, yakni Komite Etik Universitas Sumatera Utara.

Mungkin yang perlu adalah, ketika calon rektor terpilih telah terbukti melakukan pelanggaran etika akademik, alangkah apa yang harus dilakukan ke depan agar tidak terhadi kekosongan kepemimpinan di USU.

Semoga kita tidak meninggalkan warisan dan preseden buruk bagi anak cucu kita di Universitas Sumatera Utara yang kita cintai ini.

Prof. Dr. Edi Warman

Gurubesar Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara