Hindari Ketimpangan Ekonomi, Organisasi Nirlaba Berharap Orang Kaya Harus Menyumbang Dengan Adil

Organisasi nirlaba asal Inggris, Oxfam mengeluarkan laporannya terkait masalah kemiskinan dan ketimpangan ekonomi di dunia saat ini, di tengah pandemi Covid-19.


Laporan yang dirilis pada Senin (25/1), sebelum pertemuan Forum Ekonomi Dunia (WEF) itu menunjukkan, 1.000 orang terkaya di dunia berhasil menutup kerugian mereka pada awal pandemi karena kenaikan kembali pasar saham.

Sebaliknya, butuh waktu lebih dari satu dekade bagi orang-orang termiskin di dunia untuk memulihkan kerugian mereka, seperti dikutip dari AP.

Menurut Oxfam, dampak pandemi Covid-19 akan menyebabkan peningkatan terbesar ketimpangan global yang pernah tercatat, kecuali pemerintah mengatur ulang ekonomi mereka.

"Ekonomi yang dicurangi menyalurkan kekayaan kepada elit kaya yang keluar dari pandemi dalam kemewahan, sementara mereka yang berada di garis depan pandemi, asisten toko, petugas kesehatan, dan pedagang pasar, berjuang untuk membayar tagihan dan menyediakan makanan di atas meja," jelas Direktur Eksekutif Oxfam International, Gabriela Bucher.

Berdasarkan data dari Forbes untuk Daftar Miliarder 2020, Oxfam menyebut, 10 orang terkaya di dunia mendapatkan tambahan setengah triliyn dolar sejak pandemi. Padahal, ekonomi global lebih kecil.

Sementara itu, dengan menggunakan data yang khusus disediakan oleh Bank Dunia, Oxfam mengatakan bahwa dalam skenario terburuk, tingkat kemiskinan global pada 2030 akan lebih tinggi dibandingkan sebelum pandemi melanda, dengan 3,4 miliar orang masih hidup dengan kurang dari 5,50 dolar AS per hari.

Bucher mengatakan, perempuan, minoritas ras dan etnis yang terpinggirkan menanggung beban krisis tersebut dan lebih mungkin didorong ke dalam kemiskinan hingga sulit mendapatkan perawatan.

Untuk itu, Bucher mendesak pemerintah untuk memastikan bahwa setiap orang harus memiliki akses ke vaksin dan sukungan keuangan. Kebijakan dunia pasca pandemi juga harus fokus pada pengetasan kemiskinan dan perlindungan planet.

"Mereka harus berinvestasi dalam layanan publik dan sektor rendah karbon untuk menciptakan jutaan pekerjaan baru dan memastikan setiap orang memiliki akses ke pendidikan yang layak, kesehatan, dan perawatan sosial," jelas Bucher.

"Mereka (juga) harus memastikan individu dan perusahaan terkaya menyumbangkan bagian pajak yang adil untuk membayar untuk itu," tambahnya.

"Langkah-langkah ini tidak boleh menjadi solusi band-aid untuk masa-masa sulit tetapi 'normal baru' dalam ekonomi yang bekerja untuk kepentingan semua orang, bukan hanya beberapa orang yang memiliki hak istimewa," imbuh Bucher.

Pekan ini 25 hingga 29 Januari,, para elit bisnis dan politik dunia akan berkumpul pada pertemuan WEF secara virtual.

Mereka yang akan bergabung termasuk Presiden China Xi Jinping, Perdana Menteri India Narendra Modi, Kanselir Jerman Angela Merkel dan Presiden Afrika Selatan Cyril Ramaphosa. Para kepala eksekutif hingga aktivis lingkungan seperti Greta Thunberg juga akan hadir di sana.