Media Bisa Berakhir, Pers Tak Akan Pernah Mati

Ilham Bintang / net
Ilham Bintang / net

ADA hal penting dan mendasar yang kurang disadari oleh sebagian wartawan saat ini. Yaitu kurangnya kesadaran untuk melihat bahwa dunia telah berubah.

Dua hari lalu dalam rapat pleno PWI Pusat, selain meng-update persiapan peringatan Hari Pers Nasional (HPN), Ketua Umum Atal Depari juga menyodorkan topik diskusi menarik mengenai kondisi pers yang memprihatinkan dewasa ini.  

Ada yang menginginkan supaya negara hadir melalui subsidi pemerintah kepada media mainstream. Perjalanan bangsa bisa berbahaya jika media mainstream yang bekerja secara profesional dengan menerapkan prinsip kerja jurnalistik secara profesional dibiarkan mati satu persatu digantikan oleh media sosial.

Ada beberapa yang saya setuju dari pendapat itu, ada yang tidak.

Secara legalistik formal, UU Pers No 40/1999 itu sudah menutup pintu keterlibatan pemerintah mengatur kehidupan pers. Itu memang menjadi komitmen insan pers pascareformasi untuk mencegah terulangnya kooptasi pers seperti zaman Orde Baru maupun Orde Lama.

Saya menguraikan bahwa profil UU Pers itu dirancang sedemikian rupa: berikan kesempatan orang pers mengatur dunia mereka sendiri.

Berbeda dengan UU Pokok Pers sebelumnya, di mana pengoperasiannya memerlukan PP dan Permen yang di masa Orde Baru menjadi celah pemerintah mengkooptasi pers. Bantuan pemerintah sebesar apapun tidak akan mungkin gratis, seperti ungkapan "tidak ada makan siang gratis".

Saya sudah menulis beberapa artikel yang menyanggah pendapat pers dan kewartawanan sudah mati dikalahkan oleh netizen dan media sosial.

Media memang bisa mati, tapi pers tidak akan pernah mati. Demikian juga wartawannya. Never die.

Apa yang terjadi sekarang adalah fenomena disrupsi atau shifting dari platform cetak dan broadcasting ke media digital. Artinya, medianya yang mati, digantikan oleh platform baru, yaitu media digital.

Pada 8 Februari 2020 di tengah perayaan HPN di Banjarmasin, saya juga bicara ini pada pengukuhan JMSI. Saya mengatakan, sebagai wartawan saya belum pernah merasakan nikmat seperti sekarang, media sosial menyediakan halaman seluas samudera untuk kita isi dengan konten digital. Karya jurnalistik tentu saja termasuk di dalamnya.

Seluruh perangkat kerjanya berada di satu tangan berupa smartphone. Mesin itu tidak mengenal jam kerja dan deadline. Tengah malam ada ide tinggal ketik, begitupun waktu bangun subuh.

Tidak ada birokrasi panjang seperti di media cetak maupun broadcasting. Bahwa, kita belum memahami bisnisnya itu hanya persoalan waktu, karena platform ini juga baru.

Wartawan pendahulu kita juga dulu begitu. Ketika menerbitkan surat kabar di awal-awal, belum ketemu kiatnya,

belum ketemu bisnisnya.

Perhatikan saja koran-koran zaman dulu, belum banyak iklan sehingga fokus pada karya jurnalistik yang sarat dengan semangat perjuangan. Tidak ada beban. Rasanya mereka juga belum mengenal gaji.

Dalam diskusi di forum PWI kemarin, saya minta tunjukkan media mainstream mana saja di Indonesia yang tidak membuat versi digital dari penerbitannya? Bahwa baru satu dua berhasil mendapatkan koin, sekali lagi itu semata soal waktu.

Koran Tempo tutup 1 Januari 2021. Tapi secara bersamaan mereka terbitkan versi digitalnya, tinggal melangganinya saja. Murah dan praktis. Sebelum itu Kompas dan Majalah Tempo juga sudah melakukan hal sama.

Media mana yang mau dibantu? Sementara kita tahu 90 persen media itu milik para konglomerat.

Suara Pembaruan akan menyusul tutup per 1 Februari 2021. Ini bukti baik, penerbitnya bergelimang uang pun menyerah. Artinya, bukan karena persoalan modal yang membuat media cetak mati.

James Ryadi pemilik Suara Pembaruan tentu telah menyadari percuma membakar-bakar uang, melawan arus deras digitalisasi sekarang. Tentu saja ia pun menyadari mindset publik pembaca juga sudah berubah.

Membaca berita media dalam versi cetak saat ini buat sebagian orang seperti mengunyah daun sirih, begitu jadulnya. Mereka sudah sangat praktis, nonton film dan nonton berita pun lewat ponselnya.

Tadi pagi, tiba-tiba Peter F Gontha menelpon saya, membawa topik sama untuk dibahas.

"Dulu kita beli barang melalui online kita sabar menunggu sebulan. Makin maju, paling tahan kita menunggu seminggu, dan sekarang kita hanya mau menunggu sekian jam. Satu dua tahun lagi, barang yang menjadi kesukaan kita tiba-tiba muncul di depan pintu, sebelum diorder," cerita dia.

Satu jam kami ngobrol. Dia menawarkan kerjasama untuk membuat TV platform baru. "Semua koran akan mati, televisi juga, bahkan Detik pun tidak sedigdaya dulu karena pesaing bermunculan," kuncinya.

Sehari sebelumnya, saya juga diskusi dengan Bung Fachry Muhammad, praktisi radio yang sukses. Dia menyambung topik sama.

Pers dan wartawan never die. Saya bilang lagi begitu.  Secara sederhana saya contohkan, wartawan itu ibarat penyanyi senior yang mengalami penggantian platform dari piringan hitam, kaset, CD, dan entah apa lagi teknologinya yang berkembang sekarang dan yang akan datang.

Toh perkembangan teknologi itu tidak mengebiri bakatnya, keindahan vokalnya, tidak juga membuat rusak ekonominya.

Ayolah berubah, ayolah cepat beradaptasi.

Sayang, masih banyak wartawan yang sudah puluhan tahun medianya tutup, dan praktis semenjak itu pula tidak lagi menulis apapun, tetapi secara gagah mengaku wartawan, mengantongi kartu pers dan bahkan duduk sebagai pengurus organisasi wartawan berperiode- periode.

Disrupsi media lalu menjadi alasan barunya mengutuki keterpurukan media.

Ayo, bangkit kawan. Dengar Wilson Churchill: "Daripada terus menerus mengutuki kegelapan, lebih baik mulai nyalakan lilin." 

Penulis adalah wartawan senior yang dijuluki sebagai pelopor jurnalistik infotainment