Pakar ITS Soroti Soal Bencana Banjir Bandang

Ilustrasi/Dok ITS
Ilustrasi/Dok ITS

Awal tahun ini, Indonesia kembali menghadapi berbagai bencana alam, salah satunya adalah bencana banjir. Setelah Kalimantan Selatan, kawasan Puncak di Kecamatan Cisarua, Kabupaten Bogor juga diterjang banjir bandang, 19 Januari lalu.


Melihat fenomena tersebut, peneliti senior dari Pusat Penelitian Mitigasi Kebencanaan dan Perubahan Iklim (MKPI) Institut Teknologi Sepuluh Nopember (ITS) Dr Ir Amien Widodo MSi menyoroti soal banjir ini.

Amien turut mengkritisi berita banjir bandang yang datang dari kawasan Puncak, Bogor. Pasalnya, kata Amien, apabila gunung berhutan lebat, maka air hujan semusim akan terserap ke dalam tanah dengan kuantitas sebanyak lebih dari 80 persen.

“Air serapan itu yang menjadi sumber air bersih, setelah melalui filter alami di dalam tanah dan dikeluarkan melalui mata air,” jelasnya. melalui keterangan tertulis yang diterima Kantor Berita RMOLJatim, Senin (1/12).

Mata air yang disinggungnya, selain dapat dimanfaatkan sebagai sumber air minum juga memiliki peran penting dalam proses suplai air sungai yang terletak di sekeliling gunung.

Kebermanfaatan hutan asli di pegunungan, menurut Amien, sangat mempengaruhi tata iklim, tata air, dan tata angin. Energi dari air hujan yang jatuh akan dapat ditahan kanopi hutan dan masuk lewat serasah hingga meresap ke tanah. Air suplai ini akan memberi asupan pada ekosistem, baik kepada makroorganisme maupun mikroorganisme. Sehingga, dapat terwujud variasi sumber daya hayati di sana.

“Tetumbuhan inilah yang kemudian menjaga stabilitas tanah dengan sistem perakarannya,” ungkapnya. 

Tanpa bantuan akar serabut yang menahan struktur tanah, dan tanpa akar tunjang yang menjadi angker (paku) di dalam tanah, banjir yang mungkin semula kecil dapat berubah menjadi bencana banjir bandang.

Seperti banjir yang menerjang Bogor beberapa waktu lalu, yang menyebabkan 900 warga Bogor diungsikan itu bukan sekadar banjir air, melainkan banjir yang diikuti lumpur dan ranting-ranting pohon. Akibat tidak adanya sistem perakaran yang menahan tanah, tanah di daerah lereng pun tererosi.

“Di luar air yang terserap, air hujan akan mengalir di permukaan,” paparnya. 

Jika air mengalir ke arah sungai, sedangkan tanah dalam kondisi mudah tererosi, maka sungai akan mengalami pendangkalan. Akibatnya, lumpur dari dasaran sungai lama-kelamaan akan ikut mengalir bersama air dan lapisan yang tererosi lainnya.

Menengok ke belakang, banjir bandang di Indonesia sejak 2002 hampir setiap tahun terjadi dan menyebabkan banyak kerugian. Dari tahun ke tahun, kata dosen Departemen Teknik Geofisika ITS ini, manusia semakin bertambah banyak dan merambah kawasan yang semestinya tidak

boleh dihuni.

“Peralihan fungsi hutan asli di pegunungan, yang semula hutan kini merupakan kawasan wisata dengan sejumlah hotel, permukiman, dan perkebunan,” sebutnya memberikan permisalan. 

Hal itu disebutkannya untuk mewakili beberapa tindakan manusia yang bisa menjadikan tanah gunung terancam tidak terlindungi serta menjadikannya tidak stabil.

Oleh sebab itu, dikatakan Amien, peran pemerintah sangat dibutuhkan sebagai upaya pengembalian fungsi kawasan puncak gunung. Dari kacamatanya, kawasan pegunungan saat ini sudah beralih fungsi secara masif, sistemik, dan terstruktur. 

“Saya sangat menyayangkan kawasan hutan lindung dan daerah resapan air sekarang semakin menciut,” ujarnya.

Ia berharap agar pemerintah di daerah rawan bencana, khususnya bencana banjir dan longsor, dapat mempertegas aturan terkait penggunaan lahan di daerah yang semestinya merupakan bagian dari hutan asli. 

“Selama bagian puncak gunung tidak berhutan alias gundul, siap-siap mengucap selamat datang kepada banjir di kemudian hari,” ucapnya.

Menjadi sesuatu yang kurang bijak, menurutnya, bila menyikapi bencana yang mungkin merugikan dengan menyalahkan alam. Amien mengungkapkan akan ada hikmah di setiap kejadian. Jika hanya dengan menyalahkan alam tanpa introspeksi kesalahan apa yang pernah

dilakukan, maka hanya akan mengulang kesalahan dan terus menuai kepedihan.