Maraknya kader PDIP tersandung kasus korupsi tak lepas dari jabatan ketua umum yang diduduki terlalu lama oleh satu orang.
- Kemenkes Keluarkan Sertifikat Vaksin Internasional, Bisa untuk Haji dan Umrah
- Mahfud MD Sebut 99 Organisasi Masuk Daftar Teroris, Natalius Pigai: Yang Terdaftar di PBB Hanya Ada Dua
- Ahmad Yani: Moeldoko Ingin Jalan Pintas Tanpa Membuat Partai Baru
Hal itu disampaikan oleh Presidium Gerakan Pro Demokrasi Indonesia, Andrianto menanggapi kembalinya kader PDIP ditangkap KPK, yaitu Nurdin Abdullah yang menjabat sebagai Gubernur Sulawesi Selatan.
Menurut Andrianto, ada dua hal yang beririsan terkait kasus korupsi di tubuh para kader PDIP. Yaitu, PDIP merupakan partai politik yang ngotot terhadap revisi UU KPK, di mana revisi UU dianggap memperlemah kerja KPK.
Yang kedua adalah, status PDIP sebagai partai politik penguasa membuat banyak kepala daerah bergabung ke partai tersebut.
"Pola rekrutmen yang asal-asalan paling kentara. Apalagi, Ketum PDIP (Megawati Soekarnoputri) yang terlama sehingga tidak ada kaderisasi yang mumpuni. Cenderung feodalistik dan sentralistik," ujar Andrianto kepada Kantor Berita Politik RMOL, Minggu (28/2).
Sehingga, Andrianto berharap ke depan harus ada aturan di UU yang mengatur agar ketua umum partai politik cukup dua kali menjabat.
"Sehingga parpol bisa jadi sumber kaderisasi yang baik," pungkas Andrianto.
Dalam enam bulan terakhir ini, KPK telah menangkap empat kader PDIP. Yaitu, Juliari Peter Batubara (JPB) saat menjabat sebagai Menteri Sosial dalam kasus dugaan suap bantuan sosial (bansos) sembako.
Selanjutnya, Andreau Misanta Pribadi yang merupakan Stafsus Edy Prabowo saat menjadi Menteri Kelautan dan Perikanan dalam kasus suap izin ekspor benih bening lobster. Lalu, Wenny Bukamo yang menjabat sebagai Bupati Banggai laut dalam perkara dugaan suap pengadaan barang dan jasa di Banggai Laut.
- Program Makan Siang Gratis Mampu Serap Hasil Panen Petani
- Anggaran MPR Dipotong Sri Mulyani, Gerindra: Jangan Anggap Kecil Kerja MPR
- Mahfud MD Bantah Soeharto Dihapus dari Sejarah Serangan Umum 1 Maret