Rahmi (1)

Foto ilustrasi by Agus Wicaksono
Foto ilustrasi by Agus Wicaksono

SETYO bergegas menaiki bukit, sore itu. Berjalan perlahan, sambil memotong ranting dahan kopi, yang sudah ditanamnya, sejak tiga tahun lalu.

Raut wajahnya terlihat cerah. Dia terus tersenyum, tatkala melihat hamparan buah kopi yang ranum, memerah. 

Setelah setengah jam berjalan, dia.pun sampai diatas bukit. Lelaki itu berteduh di bawah gubuk, memamdamg matahari yang sinarnya memerah di ufuk barat.

"Wonten nopo mas kok ngelamun," kata Pak Mukari, perawat kebun kopi yang mendampingi Tyok.

"Mboten wonten nopo nopo pak," kata Setyo sambil memaksa semyum.

Ya, raut wajah Setyo yang mulanya berbinar, berubah redup. Tatkala memandang kebarat, sore itu.

Dari jauh nampak sinar mentari mulai temggelam, tetapi terlihat begitu indah.

Ya, rupanya, Setyo kembali terfikir Rahmi, wanita bermata tajam, yang dikenalnya beberapa tahun lalu.

Dia pun mengambil ponselnya. Melihat profil Whastup Rahmi, yang bertahun tahun tetap memutih. 

Setyo terus memandanginya, hingga matahari terbenam dan hari mulai gelap.

Memamg, Rahmi adalah wanita bermata tajam yang begitu menggores hatinya. Pandangan dan tatapannya masih terus diingat, meski hampir lima tahun Setyo tidak bersapa. 

Ya, di bulan Januari 2025, Setyo kembali mengingat Rahmi.

"Besok kan hari ulang tahunnya," kata Setyo dalam hati.

....

Kerana Rahmilah,  Tyo merubah hidupnya. Menjauh dari pusat keramaian. Memilih hidup menjadi petani, di lereng gunung Anjasmoro, yang sangat sunyi.

Tak terasa empat tahun sudah. Ia meninggalkan semuanya. Semua teman temannya, profesinya sebagaj pekerja kantoran dan hingar bingar kota pahlawan yang menempanya sejak masih kuliah.

Semua itu ditinggalkan, karena dja tak sanggup mengingat ketajaman mata Rahmi. Ya, meski hanya beberapa kali ke kota itu, bagi Setyo, Rahmi serasa mengisi semua sudut kota.

Perpisahan di penghujung tahun 2020 lalu begitu menyakitkan. Seakan membuatnya tidak bisa bernafas. Bwgitu sesak, seperti ditutup dalam ruangan tanpa oksigen.

Saat Rahmi, tak menbalas pesan, acuh dan memblokir akun whatssup, terasa sangat berat baginya.

Bisa dibayangkan, Rahmi yang setiap hari menemaninya bercanda, bergurau dan bahkan mgerumpi harus tiba tiba menghilang, tanpa bekas.

Ketajaman mata Rahmi bagi Tyok seperti candu, yang membuat dia sering sakauw seperti pengguna narkoba.

Senja pun tiba. Setyo mulai bergegas menuruni bukit. Dengan menggunakan senter, dia melangkahkan kakinya. Melewati jalan setapak yang dibuat rapi, mengitari bukit hingga turun ke pedesaan.

Meski gelap, Setyo tak membutjhkan waktu lama untuk turun. Setengah jam kemudian, dia sudah sampai rumah. Tepat saat adzan maghrib berkumandang.

Dia pun masuk kedalam rumah. Melepas sepatu both dan mengambil teko yang brrisi air minum. 

Moncong teko itu diarahkan ke mulutnya.

"Glek glek glek"

Setyo menenggak hampir separuh isi air putih. Dia pun duduk melepas lelah.

Sambil memejamkan mata, Setyo pun merebahkan tubuhnya yang lelah. Memandang langit langit rumah sambil menerawang, dengan tatapan kosong.

Rupamya, dia kembali mengingat Rahmi. Wanita yang sudah bertahun tahun tak dijumpainya. 

"Piye kabarmu nduk, sehat ta," kata Setyo dalam hati.

"Semoga kamu sehat sehat selalu ya neng kono," ucap Setyo lirih, mendoakan Rahmi.

Tiba-tiba dari jauh, suara Pak Mukari memanggil.

"Monggo mas, ten langgar," katanya.

Setyo pun begegas melepas pakaian kotornya dan menuju kamar mandi. Tak lama kemudian, dia sudah memakai sarung dan peci, lantas menuju langgar kecil, tak jauh dari rumahnya.

Sejenak, Setyo pun memendam ingatan akan Rahmi. Menyimpannya dalam lubuk hati. 

Ibarat, ingatan itu dimasukkan dalam kotak kecil disudut hatinya. Untuk kemudian dibukanya kembali, saat hatinya ingin mengenang wanita itu.

Setyo kini memang benar benar menepi. Sudah hampir empat tahun hidup sebagai petani kopi, di dekat hutan.

Dia mengelola dua hektar lahan perhutani. Lahan itu ditanami aneka macam tanaman, mulai kopi, pisang, coklat, apukat hingga jahe merah.

Tak jauh dari dekat rumahnya, dia juga membuka peternakan kecil. Ada beberapa jenis kambing, mulai sanen, merino, texel dan boer.

Semua itu dikembangkan dengan menggunakan pola integrated farming. Menganut sistem pertanian dan peternakan organik, yang sudah dipelajarinya selama bertahun tahun.

Andai saja tidak ada guncangan bathin pada tahun 2020 lalu, mungkin impian itu masih dipendamnya. Mungkin dia masih hidup di kota. Menghabiskan rutinitas sebagai pekerja kantoran.

Kala itu, hatinya patah. Remuk redam. Hingga, dia terfikir untuk menepi dan menjauh, menyembuhkan luka yang merobek hatinya.

Tatkala Rahmi pergi dan menghindar, Setyo seperti layang layang putus. Kehilangan konsentrasi dan fokus.

Hatinya hancur. Jiwanya kering. Dia seperti kehilangan gairah, untuk melanjutkan sisa hidupnya.

Dengan berat hati, dia memutuskan menepi. Meninggalkan semua yang sudah dirintisnya bertahun tahun. Memilih menepi, meski banyak yang menentangnya.[bersambung]