Status Quo Pilihan Terbaik Untuk Selesaikan Situasi di Semenanjung Korea 

Pemerhati hubungan internasional Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta, Teguh Santosa/Repro
Pemerhati hubungan internasional Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta, Teguh Santosa/Repro

Situasi di Semenanjung Korea menjadi salah satu perhatian dunia. Selain melibatkan Korea Utara dan Korea Selatan, isu ini juga turut menjadi kepentingan Amerika Serikat (AS), China, Rusia, dan Jepang.


Di tengah rumitnya hubungan bilateral dan politik dalam negeri dari Korea Utara dan Korea Selatan, pertarungan pengaruh kekuatan eksternal menjadi masalah besar. 

Melihat situasi ini, pemerhati hubungan internasional Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta, Teguh Santosa menyebut pilihan terbaik untuk Semenjanjung Korea saat ini adalah status quo. 

"Saya merasa, bagi China (juga), lebih baik status quo. Status quo itu pilihan terbaik bagi Korea Utara, bagi Korea Selatan, bagi China, dan Amerika Serikat," ujarnya dalam diskusi virtual RMOL World View pada Rabu (14/4). 

"Karena kalau misalnya ada upaya untuk meng-Amerika-kan Korea Utara, China pasti keberatan. Sama seperti ada upaya untuk men-China-kan Korea Utara, Amerika Serikat akan keberatan," jelasnya. 

Hubungan Korea Utara dan Korea Selatan

Menurut Teguh, Korea Utara dan Korea Selatan memiliki hubungan yang khas, di mana perubahan rezim akan sangat berpengaruh dalam interaksi keduanya. 

Di Korea Selatan, ia mengatakan, jika partai konservatif yang berkuasa, maka hubungan dengan Korea Utara akan memburuk. 

Sebaliknya, jika partai demokrat progresif yang berkuasa seperti saat ini, maka hubunngan dua Korea berjalan ke arah yang lebih baik. 

Namun saat ini, Korea Selatan sendiri akan menghadapi pemilihan umum pada tahun depan, di mana Presiden Moon Jae-in akan digantikan. 

"Konstitusi Korea Selatn tidak membolehkan presiden memimpin satu kali, hanya satu periode. Maka ada presiden baru," jelas Sekjen Perhimpunan Persahabatan Indonesia-Korea Utara itu. 

Jika mengacu pada situasi politik dalam negeri di Korea Selatan, Teguh mengungkap, saat ini pihak konservatif tengah menghadapi perpecahan internal. 

Sementara untuk partai berkuasa, belum ada figur yanng dapat menggantikan Moon Jae-in. 

"Yang ada sekarang justru mantan jaksa agung yang tampil sebagai oposisi. Tapi dia bukan dari partai konservatif atau progresif. Jadi kita belum tahu yang akan berkuasa," lanjutnya. 

Kekuatan Eksternal

Di sisi lain, menurut Teguh, Korea Utara memandang situasi di Semenanjung Korea sendiri tidak dapat terlepas dari AS. 

Di bawah kepemimpinan mantan Presiden Donald Trump, AS mengambil langkah besar dengan melakukan berbagai pertemuan dengan Korea Utara meski tidak berakhir sukses. 

Tetapi di era kepemimpinan Joe Biden saat ini, Teguh menyebut, AS tampaknya akan mengambil langkah berbeda dengan Trump, yang berarti lebih keras terhadap Korea Utara. 

Hal itulah yang membuat Pyongyang, kemungkinan akan melakukan lebih banyak tindakan seperti latihan militer maupun uji coba senjata. 

"Paling penting Korea Utara hendak memperlihatkan pada dunia internasional bahwa mereka bukan sitting duck dan juga bukan lame duck," pungkasnya.