Ijtihad Dalam Membangun Negara Islami

Pengamat Politik Islam dan Demokrasi, Muhammad Najib/Net
Pengamat Politik Islam dan Demokrasi, Muhammad Najib/Net

PASCA keruntuhan Kesultanan Turki Usmani, sebagai akibat lanjutan dari kekalahannya dalam Perang Dunia Pertama, sejumlah negara dengan mayoritas penduduk Muslim mendapati dirinya dalam keadaan terjajah atau paria di bawah bayang-bayang penjajah Barat.

Bagi sejumlah kalangan, Turki Usmani dianggap sebagai Khilafah Islamiah, meskipun banyak fihak berbeda pendapat, mengingat Turki Usmani secara substansial tidak sepenuhnya mewarisi nilai-nilai Islam dalam kehidupan bernegara, sebagaimana dicontohkan Khulafahu Rasyidin, dan secara empiris tidak semua negara Muslim berada di bawah payung Kesulthanan Turki Usmani, disamping adanya Khilafah Islamiah yang lain seperti Maroko.

Pasca Perang Dunia Kedua, satu-persatu negara-negara Muslim menyatakan merdeka dan lepas dari penjajah, baik melalui proses diplomasi maupun perang kemerdekaan. Negara-negara ini baik secara sukarela maupun terpaksa kemudian mendirikan negara bangsa.

Perpaduan antara landasan teoritis yang tersedia dan realitas sosial politik yang dihadapi, kemudian melahirkan ijtihad para ulama dan para pejuang kemerdekaan dalam membentukan negara ideal yang mungkin bisa diwujudkan.

Menurut Abdul Aziz dalam bukunya: Negara Rasional (LKIS, 2021), setidaknya ada sejumlah model negara hasil dari ijtihad ini, antara lain: Maroko, Mesir, Pakistan, Saudi Arabia, Iran, dan Indonesia.

Bila menggunakan kerangka pikir ini, maka daripada masing-masing berusaha memaksakan kehendaknya untuk diikuti, yang kemudian menimbulkan pertentangan, bahkan perang tidak berkesudahan, dengan korban kerusakan fisik, hilangnya nyawa, banjir pengungsi yang memalukan, dan kemiskinan yang memilukan, mengapa ijtihad ini tidak dilanjutkan.

Dengan demikian, setiap negara akan fokus pada bagaimana mensukseskan negaranya sendiri Pada saat bersamaan dapat belajar dari pengalaman negara lain, dimana kelebihan dan kekurangannya, termasuk di dalamnya yang berupa keberhasilan maupun kegagalannya.

Bangsa Mesir dan Pakistan yang diwakili tokoh-tokoh Muslimnya, memiliki kesamaan dalam hal keleluasaannya untuk memilih bentuk negara, kemudian menetapkan bentuk negara-bangsa dengan merujuk keberhasilan sejumlah negara di Eropa sebagai model.

Pertanyaannya kemudian, bagaimana meletakkan nilai-nilai ideal Islam dalam bernegara? Abdul Aziz dengan merujuk pada gagasan seorang cendekiawan Muslim yang juga aktivis politik Mesir bernama Al Tahtawi, yang berpendapat bahwa nilai-nilai Islam terkait negara  bersifat rasional dan universal, dengan demikian dapat diadopsi sebagai bagian dari hukum positif.

Bila ditarik lebih jauh, maka gagasan ini akan bertemu dengan pemikiran cendekiawan Muslim abad pertengahan yang bernama Ibnu Khaldun, yang menulis buku: Mukaddamah. Gagasan Ibnu Khaldun dalam kaitan ini disebut dengan "Negara Rasional".

Indonesia sebagai negara -bangsa dalam proses pembentukannya, meskipun memiliki kesamaan akan tetapi dalam batas tertentu memiliki perbedaan. Salah satu perbedaan yang menonjol adalah keterlibatan seluruh komponen bangsa, termasuk minoritas nonmuslim melalui tokoh-tokohnya.

Karena itu, Pancasila sebagai landasan ideologis negara-bangsa Republik Indonesia, ditempatkan sebagai kalimatun sawa (titik temu) diantara warga negaranya oleh Nurcholish Madjid.

Perintah untuk kembali ke kalimatun sawa (titik temu) di antara penganut agama yang berbeda, tercantum dalam Al Qur'an surah Ali Imran, ayat 46, menjadi sangat penting sebagai landasan religius bagi umat Islam. Menurut sejumlah tafsir, kalimatun sawa dimaknai sebagai kalimat Tauhid.

Pada saat bersamaan, semangat persatuan di antara umat Islam di seluruh dunia, diwadahi dalam bentuk Organisasi Konferensi Islam (OKI), yang sekretariatnya berkedudukan di kota Jeddah, Saudi Arabia.

Muhammad Najib

Penulis merupakan Pengamat Politik Islam dan Demokrasi