Ada Upaya Manipulasi Opini Publik Di Media Sosial Ditandai Adanya ‘Tsunami’ Tweet

Direktur Center for Media and Democracy Lembaga Penelitian, Pendidikan dan Penerangan Ekonomi dan Sosial (LP3ES), Wijayanto/Net
Direktur Center for Media and Democracy Lembaga Penelitian, Pendidikan dan Penerangan Ekonomi dan Sosial (LP3ES), Wijayanto/Net

Direktur Center for Media and Democracy Lembaga Penelitian, Pendidikan dan Penerangan Ekonomi dan Sosial (LP3ES), Wijayanto memaparkan sejumlah hal yang menggambarkan tantangan baru yang dihadapi pers di tengah disrupsi 4.0.


Wijayanto menekankan, pers sekarang ini menjadi sukar eksistensinya di mata publik. Sebabnya, makna (esensi) dari keberadaan (eksistensi) pers atau media kini justru membantu amplifikasi manipulasi opini publik di ruang maya.

"Ada upaya manipulasi opini publik di media sosial yang juga berhubungan dengan media mainstream. Manipulasi tersebut ditandai dengan adanya 'tsunami' tweet di media sosial," ujar Wijayanto dalam diskusi yang digelar untuk memperingati hari kebebasan sipil sekaligus 30 tahun Deklarasi Windhoek seperti dilansir Kantor Berita Politik RMOL, Senin (3/5).

Sebagai contoh, Wijayanto melihat banyak mention atau tagar yang dipakai pengguna akun Twitter dari pemberitaan media mainstream mengenai isu KPK Taliban dan pada kasus revisi UU KPK baru-baru ini.

Selain itu, media mainstream juga seringkali berbalik mengamplifikasi isu-isu atau opini publik yang tengah ramai diperbincangkan pengguna media sosial ke dalam pemberitaan media.

"Pada kasus revisi UU KPK, ada 250 artikel di media daring yang mengamplifikasi isu yang berkaitan dengan KPK dan Taliban (di media sosial)," tuturnya.

Dari fenomena tersebut, Wijayanto menegaskan bahwa media mainstream berpotensi tidak berhasil membuat publik mempercayai sesuatu. Justru menurutnya, isu yang ada di media mainstream selalu berhasil membuat publik memikirkan satu isu.

Lebih fatalnya lagi menurut Wijayanto, ketika narasi yang dimanipulasi oleh media mainstream masuk ke dalam ruang diskusi publik, maka akan menjadi wacana yang dianggap benar oleh masyarakat.

"Isu manipulasi publik ini menjadi sangat berbahaya, karena melibatkan pasukan siber yang dibayar untuk menyukseskan hal tersebut," kata Wijayanto.

"Bahkan dari hasil riset, pasukan siber tersebut dapat dikatakan sebagai cyber-mercenary karena dikoordinaskan dan dibayar oeh oknum-oknum politisi," tandasnya.