51 Persen Keluarga Miskin Sulit Membeli Beras Saat Pandemi 

Foto ilustrasi/Net
Foto ilustrasi/Net

Lembaga Riset Institute for Demographic and Poverty Studies (IDEAS) memotret kerawanan pangan menjadi krisis paling serius yang dihadapi keluarga miskin di masa pandemi.


Direktur IDEAS, Yusuf Wibisono mengatakan, hasil surveinya merupakan potret keluarga miskin di lima wilayah aglomerasi utama di Indonesia. Yaitu Jakarta Raya (Jabodetabek), Semarang  Raya, Surabaya Raya, Medan Raya dan Makassar Raya.

"Dari 1.013 responden, sebesar 72,8 persen mengaku pernah merasa khawatir tidak memiliki cukup makanan untuk dimakan, 44,6 persen mengaku pernah makan lebih sedikit dari yang seharusnya karena tidak memiliki uang,” ujar Yusuf Wibisono dilansir Kantor Berita Politik RMOL, Jumat (7/5).

Bahkan yang lebih memilukan menurut Yusuf, terdapat 20 persen respondennya yang mengaku pernah lapar tetapi tidak bisa makan karena tidak memiliki uang. Selalin itu, ada 10,7 persen yang mengaku pernah tidak makan sepanjang hari karena tidak memiliki uang.

Sementara itu, surveinya juga mencatat sebesar 80,8 persen responden mengaku bahwa keluarganya terdampak kebutuhan pangan akibat pandemi. Dari 819 responden yang terdampak ini, mayoritas mengaku tidak mampu atau sulit membeli daging, ikan, susu dan telur.

“Yang mengejutkan, 51,8 persen diantaranya mengaku mulai kesulitan membeli beras dan sembako,” ungkap Yusuf.

Dari 82,5 persen responden yang menyatakan menghadapi kesulitan dalam memenuhi kebutuhan pangan di masa pandemi, respon paling umum yang dilakukan keluarga miskin adalah beralih ke pangan yang lebih murah.

“Untuk memenuhi kebutuhan akan pangan mereka beralih ke pangan yang murah seperti mie instan dan tempe, mengurangi konsumi pangan hewani dan makanan non pokok, seperti daging, ikan, susu dan buah, hingga mengurangi frekuensi makan harian dan berutang untuk membeli makanan,” papar Yusuf.

Lebih lanjut, Yusuf menyebutkan respon krisis yang dihadapi masyarakat keluarga miskin. DI mana, mereka melakukan berbagai upaya untuk bertahan dalam pusaran pandemi. Misalnya mencari kegiatan ekonomi yang penghasilannya tidak menentu.

“Dari 61,9 persen responden yang menyatakan pekerjaan dan penghasilannya terdisrupsi oleh pandemi, respon paling banyak yang dilakukan keluarga miskin adalah mencari pekerjaan sampingan 32,7 persen mencari pekerjaan baru 28,1 persen, menjalankan usaha mandiri 20,6 persen hingga beternak dan berkebun 8,9 persen,” tutup Yusuf.