Catatan Harian Ketua Golkar Jatim Selama Ramadan, Padukan Falsafah Jawa Dan Keislaman

Ketua DPD Golkar Jatim, M. Sarmuji/tangkapan layar
Ketua DPD Golkar Jatim, M. Sarmuji/tangkapan layar

Bulan suci Ramadan merupakan bulan yang penuh berkah serta kemuliaan, itulah yang mendasari Ketua DPD Golkar Jatim, M. Sarmuji mengisi hari-hari sepanjangn Ramadan dengan membagikan sebuah catatan harian. 


Uniknya, konten dalam catatan yang ditayangkan di akun Youtube Golkar Jatim TV menjelang berbuka puasa itu memuat perpaduan nilai-nilai keislaman dengan falsafah jawa. Meski dikemas dengan kalimat yang ringan, namun tetap memiliki kedalaman makna dalam implementasinya. 

Sarmuji menjelaskan maksud dibalik perpaduan falsafah jawa dengan nilai keislaman dalam setiap episode dakwahnya. Diantaranya, untuk menegaskan bahwa Islam juga ramah terhadap kearifan lokal. 

"Dengan mengangkat falsafah Jawa dan memberikan penguatan perspektif Islam itu menunjukkan bahwa ada universalitas nilai-nilai Jawa dan Islam. Keduanya bisa saling menguatkan," kata Sarmuji sesaat lalu.

Sarmuji juga menangkap fenomena kekinian yang sedang terjadi di masyarakat modern. Fenomena-fenomena yang terjadi akhir-akhir ini sudah ditangkap oleh leluhur orang Jawa lalu muncul petuah, ungkapan, kata bijak dalam tembang-tembang yang dinyanyikan seperti dandhanggulo, asmarandhana, pangkur dan sebagainya. 

Misalnya, dalam catatan harian ke-8 M. Sarmuji mengangkat tema Wutah Wutuh (tumpah tapi utuh) yang bermakna apapun yang didermakan dan dibelanjakan kepada orang lain, maka akan dikembalikan utuh seperti yang didermakan bahkan dilebihkan oleh Allah SWT. 

“Kita menyaksikan dalam kehidupan sehari-hari orang yang rajin berderma tidak menjadi miskin, bahkan kehidupannya menjadi lebih berkah dan hartanya justru bertambah,” ujarnya. 

Sarmuji memperkuat ungkapan Wutah Wutuh ini dengan mengutip firman Allah SWT dalam Surat Al Baqarah ayat 272: “wa maa tunfiquu min khairin yuwaffa ilaikum wa antum laa tuzlamuun” yang artinya Dan apa pun harta yang kamu infakkan, niscaya kamu akan diberi (pahala) secara penuh dan kamu tidak akan dizhalimi (dirugikan). 

Dalam catatan harian yang ke-25 Sarmuji mengangkat etos keberanian masyarakat Jawa dalam ungkapan Sadhumuk Bathuk, Sanyari Bumi, Ditohi Pati (sepegangan dahi, seukuran jari di bumi akan dibela sampai mati). 

Ungkapan ini menunjukkan bahwa masyarakat Jawa meskipun halus perangainya, tetapi jika berhubungan dengan mempertahankan hak dan kebenaran maka akan dipertahankan hingga nyawa sebagai taruhannya. 

“Ungkapan Sadhumuk Bathuk, Sanyari Bumi, Ditohi Pati ini masyhur dalam cerita Pangeran Diponegoro ketika memutuskan berperang karena Kolonial Belanda telah menginjak harga diri kerajaan dengan rencana membangun Jalan di atas makam leluhur Diponegoro. Perang Diponegoro adalah perang yang paling berat bagi Belanda, hingga Belanda harus berhutang sangat banyak untuk membiayai perang ini. Nilai Jawa dan Nilai Islam tentang kesyahidan menjadi bantalan moral bagi masyarakat Jawa untuk berperang melawan Belanda pada waktu itu.” Cerita Anggota Komisi IX DPR RI ini. 

Sarmuji bahkan tidak segan nembang atau melantunkan tembang Jawa. Dalam catatan harian dengan topik "adigang, adigung, adiguna" Sarmuji melantunkan tembang Gambuh gubahan Pakubuwono IV yang berisi kiasan bagi orang yang memiliki sifat sombong dan mengagungkan diri sendiri. 

Dengan fenomena akhir-akhir ini Sarmuji juga meminta masyarakat Indonesia terutama Jawa Timur untuk mengedepankan mencari persamaan-persamaan yang memungkinkan untuk hidup berdampingan, bukan malah mengedepankan perbedaan yang menjadikan harmonisasi hidup menjadi rusak. 

Nilai keislaman dan nilai lokal budaya akan saling memperkuat jika berangkat dari keinginan saling memahami. 

"Kita harus berorientasi pada persamaan-persamaan nilai bukan berarti memaksa untuk harus sama. Dan ternyaa jika kandungan nilainya relatif sama justru bisa saling memperkuat agar bisa dipahami masyarakat, khususnya masyarakat Jawa Timur,” demikian Sarmuji.