Penonaktifan 75 Pegawai KPK Dinilai Bermuatan Subyektif, Presiden Didesak Ambil Sikap 

Foto ilustrasi/Net
Foto ilustrasi/Net

Pergerakan Penganut Khittah Nahdliyyah (PPKN) menilai penonaktifan 75 pegawai KPK yang dinyatakan tidak lolos tes wawasan kebangsaan (TWK), banyak muatan subyektifnya daripada obyektifnya.


"Ini sangat mungkin untuk kesekian kalinya rakyat disuguhkan penyingkiran yang patut diduga dilakukan secara subyektif terhadap kesatria-kesatria pemberantas korupsi di KPK untuk membuat kegaduhan demi kegaduhan yang sangat mungkin juga untuk mengalihkan perhatian dari kondisi negara yang sedang dipertanyakan pengelolaannya," kata Ketua Harian PPKN, Tjetjep Mohammad Yasin dalam keterangan tertulisnya yang diterima Kantor Berita RMOLJatim, Rabu (12/5).

Dikatakan Gus Yasin sapaannya, bahwa teroris yang sesungguhnya di NKRI adalah korupsi. Karena itu dugaan penyingkiran pegawai KPK yang berkualitas dan berintegritas dengan menggunakan TWK, jelas hanya membuat kegaduhan dan menurunkan kepercayaan rakyat.

"Ini akan meruntuhkan wibawa Presiden yang sudah komitmen memperkuat KPK. Karena itu PPKN mendesak Presiden dan juga DPR untuk segera mengambil sikap," tegasnya. 

Dalam penonaktifan 75 pegawai KPK, lanjut Gus Yasin, yang paling bertanggungjawab ada Ketua KPK, Firli Bahuri. Pasalnya, Firli dianggap sudah terbukti melanggar kode etik dan pedoman bergaya hidup mewah.

"Kenapa bukan Firli Bahuri yang sudah terbukti melanggar kode etik dan pedoman bergaya hidup mewah yang dinonaktifkan? Tentu kalau dinilai secara moral sudah tidak lolos wawasan kebangsaannya. Maka mewakili keresahan rakyat, PPKN meminta Presiden dan DPR untuk bertanggungjawab menyelesaikan masalah yang berhubungan dengan nasib 75 pegawai KPK," tandasnya.