PDIP Lebih Memilih Puan Ketimbang Ganjar, Begini Penjelasannya 

Dari kiri: Gubernur Jawa Tengah, Ganjar Pranowo dan Ketua DPR RI Puan Maharanni/Net
Dari kiri: Gubernur Jawa Tengah, Ganjar Pranowo dan Ketua DPR RI Puan Maharanni/Net

Meski Gubernur Jawa Tengah, Ganjar Pranowo memiliki elektabilitas tertinggi calon presiden (capres) setelah Gubernur DKI Jakarta, Anies Baswedan dalam survei Litbang Kompas, Namun tidak serta merta membuatnya mendapat restu dari PDIP.


Direktur Eksekutif Oversight of Indonesia's Democratic Policy, Satyo Purwanto menganalisa rivalitas antara Ganjar dengan sejumlah kader moncer PDIP lainnya. Utamanya, Ketua DPR RI Puan Maharani yang dia anggap tampil sebagai seorang yang masuk kategori pilihan capres menurut asal partai yang sama.

"Meski ada Tri Rismaharini yang saat ini menjabat Mensos, akan tetapi popularitasnya masih jauh dari Puan apalagi dengan Ganjar. Karena mereka berada dalam satu partai yang sama dan hanya bisa membandingkan ketiganya di PDIP juga," ujar Satyo dilansir Kantor Berita Politik RMOL, Minggu (16/5).

Tetapi tidak bisa dipungkri, Satyo mengakui kalau dalam beberapa survei terakhir nama Ganjar selalu dapat mengungguli popularitas Puan. Bahkan, posisi Ganjar berada jauh di atas Ketua DPR RI tersebut yang juga trah Soekarno dan calon suksesor Megawati di PDIP.

"Jika dibandingkan Puan, perjalanan karir politik Ganjar berbanding terbalik, dia tak memiliki banyak kemudahan seperti Puan, harap maklum karena cucu Soekarno dan anak Ketua Umum," jelas Satyo.

"Sedangkan Ganjar merangkak dari bawah, hanya kader biasa dan menjadi anggota DPR sejak 2004 hingga 2013 lantas mencalonkan diri sebagai Gubernur Jawa Tengah pada 2013 dan menang dua periode hingga sekarang," sambungnya.

Meski begitu, Satyo memandang Ganjar tidak bisa otomatis diusung oleh parpol yang populer dengan partai 'Wong Cilik' tersebut, untuk maju ke Pilpres 2024.

"Mengapa? Ada beberapa sebab yang bisa diungkap. Pertama popularitas Ganjar tidak tinggi-tinggi amat, masih kalah moncer ketimbang popularitas Anies Baswedan dan posisinya tak jauh beda dengan Prabowo dan Ridwan Kamil atau Risma," kata Satyo.

Pertimbangan kedua, kata Satyo, kultur dinasti politik yang masih terus di pupuk oleh PDIP dan trah Soekarno bahkan kini Jokowi pun melakukan hal yang sama, adalah satu pertimbangan khusus yang menentukan peluang Ganjar semakin tipis ikut kontestasi 2024.

"Megawati tentunya memiliki alasan kuat untuk meneruskan kekuasaan politik dari Jokowi ke suksesornya yang tentunya tidak boleh lebih berpengaruh dari trah Soekarno karena akan berdampak terhadap soliditas dan masa depan PDIP, maka kemungkinan kuat dukungan itu akan diberikan kepada Puan ketimbang ke Ganjar," terang Satyo.

"Jika dibandingkan dengan Pilpres 2014 tentu beda, saat itu popularitas dan elektabilitas Jokowi tidak ada yang sanggup menandingi, meski Megawati ada kemungkinan maju lagi namun pernah kalah 2 kali oleh SBY maka karena pertimbangan harus menang pilpres yang diusung pada akhirnya adalah Jokowi," pungkasnya.