Demokrat Tidak Ingin Pasal Penghinaan Presiden Khianati Amanat Reformasi

Anggota Komisi III DPR RI Didi Irawadi/Net
Anggota Komisi III DPR RI Didi Irawadi/Net

Rencana memasukkan pasal penghinaan presiden dalam RKUHP jangan sampai mengancam keberlangsungan demokrasi, khususnya dalam kebebasan menyampaikan pendapat.


Anggota Komisi III DPR RI Didi Irawadi berharap demokrasi selalu dijaga sebagai amanat reformasi saat berakhirnya era Orde Baru pada tahun 1998.

"Kita sudah komitmen sejak 1998, demokrasi itu kita junjung tinggi, mari kita jaga dengan baik," ujar Didi dalam serial webinar Tanya Jawab Cak Ulung bertema ‘Polemik Pasal Penghinaan Presiden’ yang digelar Kantor Berita Politik RMOL, Kamis (10/6). Turut hadir sebagai pembicara dalam acara ini, peneliti ICJR Dustira Dirga.

Di era kekinian, kata Didi, kebebasan pendapat terlalu bias makna. Saat orang menyampaikan kritik, lalu kemudian diartikan sebagai satu ucapan penghinaan.

Dia mencontohkan, saat ada acara salah satu stasiun televisi yang tiba-tiba diberhentikan penayangannya di saat sedang kencang mengkritik pemerintah.

"Kalau kita lihat belakangan ini, ada media-media yang dilarang tayang ya, ada satu acara yang sangat terkenal, itu saya heran juga kenapa sampai sebegitu khawatirnya kekuasaan itu," jelasnya.

"Padahal di era lalu 10 tahun di era Pak SBY nggak pernah satu media pun dilarang, media yang sangat terkenal ada acaranya saya sebut saja Indonesia Lawyers Club, kok tiba-tiba hilang? Ini kan rahasia umum," imbuh legislator Partai Demokrat ini.

Didi menyarankan agar wacana memasukkan pasal penghinaan presiden ini dikaji ulang. Setidaknya, untuk membahas seberapa penting pasal itu diaktifkan dan pengaruhnya pada demokrasi.

"Menurut saya pasal ini dikaji dengan baik lah, jangan buru-buru, jangan sedikit-sedikit orang diancam karena menghina presiden," tandasnya.