Hidup Di Negeri Preman

Ilustrasi/Net
Ilustrasi/Net

Para preman dan organisasinya memainkan peran yang tidak bisa dipandang sebelah mata, kondisi ini merupakan konsekuensi dari gerak laju perkembangan kehidupan perkotaan.

Begitu Ian Douglas Wilson mencoba mengurai penjelasannya mengenai "Politik Jatah Preman: Ormas dan Kuasa Jalanan di Indonesia Pasca Orde Baru", 2018. Penjelasannya tersusun ke dalam 315 halaman yang berurutan.

Dalam kajian Wilson, terdapat faktor latar belakang historis yang tidak terpisahkan dari keberadaan "penjahat kecil" ini pada proses mewarnai kehidupan sosial politik tanah air.

Rentang kajian Wilson ini mengingatkan kita pada konsep implikatif dari sebuah demokrasi yang mengandung kecacatan dengan melahirkan: para Bandar, Bandit, dan Badut.

Semua yang terlahir tersebut, menjadi ancaman bagi kehidupan demokrasi itu sendiri.

Akar Sejarah

Sepanjang kisahnya, kelompok yang membarter imbalan dengan nyali dan keberanian ini, hadir untuk menjadi penjaga kepentingan pemilik kekuasaan.

Para jago ini berfungsi untuk memberi perlindungan yang tidak gratis. Terjadi transaksi dan pertukaran.

Sebutan untuk jagoan itu bisa banyak macam, karena pusat kajian Wilson dilakukan di Jakarta, maka istilah centeng dan jawara menjadi kata penggantinya.

Mereka terlibat dalam proses ekonomi-politik. Preman merupakan lesapan kata vrijman yakni orang merdeka.

Pilihan kata itu kemudian melekat pada sosok individu ataupun kelompok yang berada di luar struktur kekuasaan, namun memiliki daya cengkram ke tingkat masyarakat melalui kekuatan represi fisik secara langsung.

Sesuai penelitian Wilson, babak pergulatan tripartit antara negara, publik dengan aktor kekerasan non negara sebagaimana para preman ini disebut, dikaji secara dinamis dalam kehidupan sosial.

Wilayah risetnya adalah Ibukota Jakarta yang menjadi magnet utama serta representasi pola interaksi kehidupan perkotaan di tingkat nasional. Sebuah kota yang menjadi percampuran banyak hal.

Dalam telaah politik, kehadiran aktor kekerasan nonnegara merupakan bentuk kegagalan dari proses konsolidasi aparatus represif negara secara mutlak. Hal itu mengakibatkan terbentuknya fungsi kekerasan swasta.

Elemen radikal bebas ini hidup dalam atmosfer kekosongan peran negara untuk memberikan jangkauan perlindungan secara menyeluruh. Lebih dari itu, juga terjadi simbiosis mutualisme yang saling menguntungkan antara keduanya.

Kelompok preman ini menawarkan rasa bebas dari gangguan, memberikan ruang jaminan dan kepastian keamanan, sebagai celah atas luputnya kemampuan negara untuk hadir di tengah publik.

Maka titik tolak Wilson mencoba melihat konstruksi peran para preman dan kumpulannya pada dua momentum besar, yakni (i) era konsolidasi kekuatan Orde Baru, (ii) era reformasi dan kejatuhan Orde Baru.

Tarik Ulur Relasi

Abu-abu. Ruang keterhubungan antara para preman dan pemangku kuasa terjalin secara samar, tidak bersifat langsung, bukan garis komando, bahkan sangat cair secara situasional.

Momentum puncak dari kekuatan Orde Baru berhadapan dengan para preman dikenal sebagai operasi Petrus -penembakan misterius di sekitar 1980-an. Kala itu tato menjadi identifikasi simbolik pada kelompok kriminal ini.

Para preman dan gerombolannya, dalam perspektif pembangunan adalah kelompok tersisih yang tidak menikmati dampak keberhasilan pembangunan.

Mayoritas di antaranya berpendidikan rendah dan miskin, maka bentuk kuasa jalanan adalah soal persabungan nyawa. Hidup mati dalam makna yang sesungguhnya.

Setelah Petrus, para preman menjadi lebih jinak dan dapat dikendalikan. Kelompok preman ini kemudian mulai mengubah diri menyikapi kondisi yang berbeda. Mereka menjadi kaki tangan dari instrumen legal dengan sebutan beking.

Tidak berhenti di situ, para preman mulai mengorganisir diri dalam struktur baku, bahkan mulai melegalkan diri melalui jalur administrasi hukum negara dalam payung yang sah.

Mereka bertindak sebagai aktor di depan layar, dari sutradara yang tidak terlihat dan menjadi beking kegiatan yang dilakukannya.

Lambat laun, posisi tersebut mendapatkan titik lompat di ruang politik. Tidak lagi sekedar mengandalkan otot.

Kemampuan untuk merekrut anggota, membangun solidaritas, hingga menggerakkan massa menjadi keunggulan dari format baru organisasi preman ini. Hal ini kemudian membuatnya menjadi lebih memiliki daya tawar.

Tidak hanya soal jatah preman yang dihitung, tetapi juga akses ke posisi strategis yang dekat dengan urusan publik menjadi area negosiasi.

Namun begitu, Orde Baru masih mampu memainkan tali kekang untuk mengambil kendali.

Pada akhirnya, kondisi berubah selepas reformasi 1998. Terjadi dekonstruksi atas sentralisasi kendali yang sebelumnya dalam kekangan Orde Baru.

Kini semua pihak memainkan caranya, ketika terjadi proses transisi kekuasaan yang seolah menjadi ruang hampa legitimasi aktor politik formal, para aktor informal mendapatkan panggungnya.

Sebagian memainkan simbol rekatan etnisitas, khususnya di Jakarta dengan nama Betawi sebagai entitas penduduk lokal. Selain itu juga dimunculkan sentimen kelompok keagamaan.

Pertarungan antar kelompok preman juga terjadi, untuk menegaskan dominasi dan memperjelas batas wilayah kekuasaan. Dibungkus secara retorik, meski kerap pula terjadi bentrok fisik.

Bandit Jalanan

Keseluruhan uraian Wilson menarik untuk dipelajari, dikaitkan pula dengan Teori Bandit Mancur Olson, yang berbicara tentang keterkaitan ekonomi dan pemerintahan.

Transformasinya dimulai dengan: (i) kategori bandit berpindah (roving bandit) -fase anarki, (ii) bandit menetap (stationary bandit) -kondisi tirani dan (iii) format demokrasi.

Meski pada akhirnya, demokrasi pun membawa cacat bawaan di dalamnya, maka para bandit tidak hilang begitu saja, mereka menjadi bagian integral dalam kehidupan sosial bernegara.

Satu hal yang pasti, para bandit jalanan memainkan sisi kelam karakter jalanan juga dapat dimaknai secara berbeda, yakni mereka menjadi wajah dari elemen publik yang tercecer.

Ketimpangan yang menganga membuat kerja dengan otot lebih dominan dibanding otak. Karena itu menjadi anggota serta bagian dari kelompok organisasi preman, justru merupakan harapan untuk bisa mempertahankan kehidupan.

Pada sisi yang lain, secara ironi preman berdasi memainkan sisi terang para pengambil kebijakan yang mematok jatah dari anggaran bantuan sosial, mematutkan diri dengan gelar akademik kehormatan, serta seperangkat aturan pelindung diri atas kritik publik.

Perbedaan di antara kedua jenis bandit ini terbilang tipis, yang satu hidup dari ancaman fisik, sementara jenis yang lain menghidupi dirinya dari akses besarnya pada pintu kebijakan. 

Setali tiga uang, kita memang dikepung para preman terorganisir!

Yudhi Hertanto

Program Doktoral Ilmu Komunikasi Universitas Sahid