Catatan Perjalanan Jakarta-Bandung Di Masa Genting Pandemi

Ilham Bintang saat berkunjung ke Bandung/Ist
Ilham Bintang saat berkunjung ke Bandung/Ist

IMBAUAN Gubernur Jawa Barat, Ridwan Kamil, yang meminta warga Jakarta tidak berkunjung ke Bandung sampai seminggu ke depan, cukup efektif. Saat kami tiba Bandung Rabu (16/6) pukul 09.30 WIB pagi, pintu tol Pasteur amat lengang. Suasana seperti habis perang.

Di hari biasa antrean di pintu tol itu mengular, butuh waktu sekitar setengah jam lepas dari situ. Hati kami pun plong, seplong pintu tol Pasteur ini.

Semalam kami diliputi kecemasan saat memutuskan tetap ke Bandung. Kami membayangkan akan menghadapi pencegatan seperti ketika larangan mudik lebaran baru lalu.

Kami sudah siapkan beberapa jawaban jika ditanya petugas di daerah pencegatan. Terkasuk siap mental jika jawaban ditolak dengan konsekuensi diminta putar arah kembali Jakarta.

Seminggu ini kondisi pandemi di Tanah Air memang genting. Indonesia dikepung varian baru Covid-19. Jenis virus Alfa, Beta, dan Delta dari India yang terkenal ganas sudah masuk di Tanah Air.

Virus Delta, paling gahar di antara varian baru itu. Penularan 3-5 kali lebih cepat dari virus Covid-19 biasa. Tidak menunggu waktu 12 hari yang tertular bisa terenggut jiwanya. Korban di Bangkalan Madura dan Kudus, Jawa Tengah, korban cuma dua hari terpapar jiwanya pun tak tertolong.

Secara angka-angka, peningkatan pandemi diupdate terus oleh Satgas Covid19. Seluruh Pulau Jawa peningkatan tertular sangat tinggi, berkali lipat dari sebelumnya.

Jakarta alami peningkatan lebih 400%. Urutan kedua, Jawa Barat, menyusul Jawa Timur dan Jawa Tengah --provinsi yang Gubernurnya dua minggu ini gencar diberitakan luas kandidat kuat sebagai calon Presiden 2024 menggantikan Presiden Jokowi yang "expired".

Update data kasus Covid-19 di hari kami berangkat ke Bandung lebih 12 ribu kasus. Hampir 80% sumbangan Pulau Jawa. Tak heran jika menimbulkan kepanikan para pejabat negara. Gubernur seluruh provinsi di Jawa itu kembali mentas di layar televisi mengeluarkan imbauan dan macam-macam instruksi.

Wartawan senior Zulkarimen Nasution, pengajar Pasca Sarjana Komunikasi Universitas Indonesia sempat melontarkan kritik pedas kepada para pejabat itu. Utamanya kepada pers terkait itu.

Dalam tulisan "Jurnalisme Minus Kepekaan Sosial" (Ceknricek.com, Senin 14 Juni), Zulkarimen menggugat pers yang di tengah kegalauan masyarakat hadapi keganasan virus, malah sibuk menggoreng topik Capres 2024, yang waktunya masih amat jauh. Sudah begitu, sumbernya dari hasil polling lembaga survei yang lebih banyak ideologinya bisnis.

Sempat Batal

Keperluan kami ke Bandung sebenarnya menengok tiga cucu yang sebulan lalu pindah ke Kota Kembang mengukuti penugasan orangtuanya. Kondisi genting pandemi mau tidak mau mempengaruhi kami untuk batalkan keberangkatan.

Malamnya, saya mengontak pihak Hotel Intercontinental Dago Pakar, Bandung. Hotel ini sengaja dipilih karena satu wilayah tempat tinggal cucu. Tidak ada pembatasan untuk beredar di satu wilayah itu, apalagi memang bukan termasuk zona merah yang dikenakan pambatasan mobilitas di Bandung.

Kenapa pilih menginap di hotel? Ini juga bagian mentaati protokol kesehatan. Kami harus membatasi kontak biarpun dengan anak cucu yang tinggal berbeda kota. Selain itu di rumah anak ada pembantu suami istri yang masih mondar mandir ke pasar. Kami harus perhitungkan situasi itu.  

Booking hotel melalui Booking.com lupa saya perhatikan vouchernya. Ternyata tidak bisa dicancel, diubah tanggalnya, maupun refund. Maka malam itu saya kontak pihak hotel untuk menyampaikan kemungkinan membatalkan kunjungan. Di luar dugaan pihak hotel merespons empati.

Intinya: mereka memaklumi keadaan. Voucher tidak hangus, bisa digunakan kapan saja. Clear. Cucu-cucu (3D: Dastan, Darsiv, Dahim) tidak saya beritahu tentang kemungkinan pembatalan. Artinya, mereka menganggap kami tetap akan menemui dia. Kami memang tak sampai hati mau menyampaikan itu. Inilah persoalan yang selalu dihadapi siapa saja dalam menghadapi cucu.

Kami akhirnya memutuskan berangkat, tentu dengan kesiapan mental, pun kalau diminta putar balik petugas setiba di tempat pencegatan.

Kami tiba di kawasan Dago pukul 10.00 WIB. Waktu check in pukul 15.00 WIB. Saya telepon hotel lagi. Luar biasa hotel ini. Mereka bisa majukan waktu check in. Mereka minta waktu satu jam saja untuk menyiapkan kamar.  Termasuk untuk penyemprotan disinfektan. Itu salah satu protokol kesehatan mereka.

Semenjak pandemi, Hotel Intercontinental Dago Pagar memang membatasi tamu maksimal 50 % dari kamar yang tersedia.

Drop

Imbauan Gubernur Jabar Selasa (15/6) membuat tamu di hotel di hari kami menginap hanya 25%.

"Banyak tamu mendadak cancel," kata resepsionis.

Bukan hanya hotel, juga restoran alami serupa. Di resto Coca Suki Dago kami alami sendiri waktu makan malam di sana. Hanya keluarga kami, delapan orang, yang menjadi tamu di resto yang berkapasitas 200 orang itu.

Saya sempat menulis di wall FB, "Seperti resto ini dibooking untuk kami saja".

Catatan saya di sini, begini. Meskipun alami kondisi pahit tapi layanan hotel dan resto tidak berkurang. Malah, saya menangkap kesan mereka berusaha maksimal memastikan kenyamanan tamu-tamunya.

Hotel Intercontinental, misalnya. Walaupun bookingan saya tidak bisa cancel dan tidak ada refund, mereka tidak berlakukan aturan itu. Percaya atau tidak, petugas hotel malah meng-upgrade kamar dua tingkat dari tipe bookingan kami sebagai complimentary.

Tidak cuma itu. Ketika habis berenang, cucu sarapan di resto mereka bikin surprise lagi. Ketika saya mau bayar, kasir bilang 3 cucu itu free of charge karena usianya masih 8 tahun.

Jangan tanya bagaimana mereka menjaga protokol kesehatan. Tiap hari tamu dikirimi paket masker dan hand sanitizer. Di pintu masuk dan lobby hotel bersebaran hand sanitizer. Begitu pun di depan lift.  Petugas ramah ramah, mulai dari tukang parkir, security, room boy, sampai petugas front office.

Suatu kali kami kehabisan parkir di depan lobby hotel. Lalu kami menuju lapangan parkir yang jaraknya sekitar 500 meter. Begitu turun dari kendaraan, mobil golf sudah menjemput kami untuk diantar ke lobby.

Semua pelayanan itu amat berkesan dan membekas. Saya percaya pelayanan tersebut akan berfungsi sebagai "PR" efektif buat hotel itu.

Saya ingat kisah PR sabun Sunlight di masa Perang Dunia I yang menjadi pelajaran elementer bagi studi jurusan PR. Hanya Sunlight satu-satunya brand yang terus beriklan di masa itu, di masa yang amat sulit. Setelah PD I berakhir, makanya Sunlight lah paling berjaya. Dia memetik hasilnya. Setelah perang, orang sedunia cuma tahu satu merek sabun. Ya, Sunlight itu.