Nak, Ibu Sedang Melacur! (2)

Cover by Denny NJA
Cover by Denny NJA

Membagi Perhatian

Perempuan ini, berdiri berjajar di depan rumah-rumah kotak. Ia seperti perempuan lain yang ada di situ. Menunggu dan menunggu.

Malam itu, Stasiun Wonokromo lagi ramai. Banyak laki-laki. Banyak perempuan. Yang perempuan menjajakan diri.

Cuma yang membedakan dari perempuan ini dengan lainnya hanya satu: ia bekerja sambil membawa si kecil. Kalau ada tamu yang akan menyewa tubuhnya, si kecil dititipkan dulu ke teman-temannya.

Irfan nama anak laki-lakinya. Usianya belum genap setahun. Tapi, dia sudah cukup merepotkan. Kerjanya nangis. Kalau tidak karena lapar, ya kedinginan.

Setiap malam perempuan itu harus meninabobokan dia sampai tidur. Kadang, saat larut dia baru bisa tidur.

Mungkin karena bising. Mungkin juga Irfan sering masuk angin karena sering keluar malam.

Irfan, paling suka tembang-tembang yang keluar dari mulut ibunya. Ya, bukan lagu yang enak. Sekedar gumaman sang ibu cukup membuatnya merasa nyaman.

Dengan penuh kasih dia gendong buah hatinya. Wajahnya ditutupi selendang; menjaga agar tidak kena angin malam. 

Nah, saat seperti itu dia biasanya menangis. Kalau tidak kedinginan, ya kelaparan. Tapi, ia kan tetap harus keluar. Kalau tidak, dari mana perempuan itu dapat uang buat makan.

Ia harus melakukan itu. Ini sebuah pilihan. Entah, pilihan siapa. Diakah? Kondisikah? Waktukah? Takdirkah?

“Rik!” Seseorang memanggil.

Itu panggilan pelayan warung. Dia memanggil Rika. Perempuan ini berusia kira-kira 40an.

Rika menyambut dengan tolehan leher 90 derajat. Seorang lelaki duduk di bangku kosong dengan sebuah rokok dalam jejalannya.

Rambut jarang di atas tempurung kepalanya. Kedua alisnya yang tebal bersatu dan kumisnya yang tak terawat dan telah tercukur di atas bibirnya yang menempel di sana sehingga ia tak bakal kehilangan kumis itu.

Rika mengamati lelaki yang sedang duduk di sampingnya dari kepala sampai kaki. Pakaiannya kusut. Tak tampak berkelas.

Celana sobek bagian lutut, seolah-olah ingin menyerupai dandanan rocker.

Kakinya hanya beralas sandal jepit. Ujung tumitnya pecah-pecah. Jari-jari kaki membengkak. Pun jari tangan sebesar bohlam lampu.

Kuli, Rika berpikir.

Montir, pikirnya lagi.

Atau tukang becak, atau tukang tambal ban, mungkin juga.

Asal bawa uang, Rika bersedia mendekat. Kalau tidak, uh, jauh-jauh-lah kamu.

“Dia mencarimu!” Pelayan itu tanpa sungkan.

“Kenal, Bu?” Sambut Rika dengan senyum beku di bibir.

Pelayan menggeleng. Ia menyibukkan diri dengan dagangannya seolah-olah cuek dengan keadaan sekeliling Stasiun Wonokromo.

Rika mendekat, tak lupa si kecil dibawanya. Ia kini harus membagi perhatian. Antara mengawasi anak, dan…melayani lelaki. Tidak gampang. Terutama kalau anaknya belum tidur.[bersambung]